Wednesday, 5 January 2022

Tuntutlah Sesuatu

 Tuntutlah SESUATU


Suatu ketika saya bertemu dengan dua orang teman perempuan, kami semua sudah menikah. Setelah basa basi obrolan berlanjut menjadi curhatan.

Teman yang datang paling akhir cerita tentang suaminya yang sangat jauh dari harapan. 


Dia ingin suaminya bisa menjadi imam di keluarga. Dalam arti sebenarnya, sebagai imam sholat baik di rumah maupun mengajak anak berjamaah di masjid.


Namun sampai 16 tahun menikah, tidak sekalipun suaminya mau mengimami sholat berjamaah di rumah. Apalagi mengajak anak ke masjid.


Berulang ulang ia menceritakan kekecewaan pada suaminya, sampai saya terhanyut dan ikut merasakan betapa lelah berada di posisi beliau. Bertahun tahun berharap dan sudah melakukan berbagai usaha tapi bertepuk sebelah tangan. Pengen tos sama Hayati rasanya, bikin hashtag #hayatilelahbang.


Tak lama, teman saya itu pamit karena suatu urusan. Saya dan teman lain belum beranjak karena ingin melanjutkan perbincangan. Setelah teman saya itu pergi saya berkomentar, “iya ya, kasihan juga dia. Capek banget ya kalau begitu”.


Tapi balasan teman yang masih bersama saya diluar dugaan. Membuat saya berpikir ulang dan akhirnya dapet inspirasi #bikintulisanini. Kata teman saya itu:


“Aku kok ngebayangin jadi suaminya, lebih capek lagi ya..Enam belas tahun dikomplen terus sama istri, dituntut terus gak pernah diapresiasi..”.


Glegh.


Ingatan saya melayang ke tahun tahun awal pernikahan. Dimana topeng pangeran sempurna milik suami saya sudah terbuka. Dimana harapan saya tentang dirinya yang ideal mulai menjadi bumerang untuk saya sendiri.


Saya sering menangis bertanya pada Tuhan, mengapa suami saya tidak sesuai harapan? Maklum, waktu itu belum baca buku Yakin Dia Jodohmu? Jadi belum nemu jawaban #eeaa.


Pernah seusai sholat malam, saya bikin surat curhat. Saya tulis semua kekecewaan saya. Saya tulis tuntutan tuntutan saya. Dua lembar penuh bolak balik. Suami saya cuma diam saat membacanya. Tidak ada tanggapan #mungkindialelah.


Sampai di tahun keempat pernikahan, selesai berdoa di suatu malam, saya kembali berpikir, apa maksud Allah mempertemukan saya dengan suami? 


Saya baru sadar, dosa dan aib saya pun banyak. Apa layak selama ini saya menuntut suami demikian tinggi? Bukankah segala sesuatu di sisi Allah ada ukurannya? Dia pasti sudah mengukur saya dan suami. Ibarat tu***rware dengan tutupnya, sudah pas dengan pasangan masing masing.


Saya mulai melakukan kilas balik. Kebaikan suami sudah begitu banyak. Terlalu banyak jika disandingkan dengan kekurangan saya sebagai istri.

Saat itu pula, Allah mempertemukan saya dengan satu demi satu teman yang curhat tentang pernikahan mereka.


 Dimana suaminya melakukan hal hal yang sangat mengerikan buat saya.

Hal hal yang sudah masuk kategori zalim karena melanggar syariat Allah.

Lalu saya malu sendiri. Kok bisa saya kufur nikmat dengan suami yang sudah sebaik ini?


Saya pun bertaubat. Sejak itu saya berusaha berdamai dengan diri sendiri.

Karena sejatinya saya berkonflik dengan diri sendiri. Dengan harapan yang terlalu tinggi, hingga lupa kebaikan suami.


Saya yang harus melapangkan hati. Karena terlalu fokus pada rumput tetangga, lantas lalai pada rumput di rumah sendiri.

Bukan suami yang tak kunjung berubah. Tapi saya yang harus berbenah.


Bukan berarti istri tidak boleh menuntut suami.


Saya setuju sama lagunya Tulus: Jangan cintai aku apa adanya Tuntutlah sesuatu agar kita maju ke depan.


Boleh saja menuntut, tapi syarat dan ketentuan berlaku.


Kalau dicerna baik baik Tulus bilang tuntutlah SESUATU.

SESUATU bukan SEBANYAK BANYAKNYA.


SESUATU itu berarti SATU hal yang membuat kita maju ke depan. Bukan bermacam tuntutan yang gak penting2 amat buat masa depan.


Bukan tuntutan kelewat langitan (yang sebetulnya) mungkin masih bisa digantikan dengan tuntutan lain yang lebih BAIK dan lebih MUDAH dilakukan.


Lagipula yang harusnya banyak tuntutan itu di pengadilan, bukan pernikahan.

Dalam pernikahan mah banyakin cinta dan kasih sayang ajah...#uhuk.


Gimana kalau tuntutannya cuma satu tapi KETINGGIAN?


Nah ini perlu saya sampaikan pesan Abah Ihsan. Menurut beliau, kita semua memulai dari titik yang berbeda ketika membangun rumahtangga.

Maka SESUAIKAN tuntutan dengan titik awal kita.


Tepatkah menuntut suami jadi imam hafal 30 juz padahal ia tak pernah diajarkan baca Alquran sejak kecil, misalnya.


Adakah tuntutan pengganti yang lebih tepat, lebih terjangkau dari titik awal pasangan? Daripada menuntut sesuatu yang terlalu sulit dicapai.


Maka selanjutnya jika tuntutan itu ada, sampaikan dengan CARA yang tepat. Tidak di muka umum apalagi lewat medsos. 


Sampaikan dengan bahasa cinta agar tidak menjadi tuntutan tetapi tuntunan.

Sampaikan bukan dengan rentetan kata penuh emosi jiwa. Apalagi dengan cara membandingkan suami tetangga.


Coba aja dibalik kalo suami yang ngomong ke istri:

Mah, kenapa sih kamu ga bisa kayak istrinya si Anu yang selalu cantik di rumah?

Bun kamu kok gak langsing langsing kayak emaknya Fulanah?


Gubragbragbragbrag....! Genderang perang dunia ketiga ditabuh!


Yang ada istri bukan baper lagi tapi berubah jadi macan laper siap memangsa pengganggu emosi jiwa..

Suami (anak dan siapapun) juga gak sukalah dibanding bandingin. Gak masuk pesan baiknya. Yang ada sakit hatinya.


Jadi ubahlah cara menuntut kita menjadi tuntunan penuh cinta. Misalnya, “Mas, kayaknya lebih sehat lho kalau kamu tidur cepat. Sering begadang bisa bikin penyakit, nih aku ada artikelnya”, share deh ke misua.


Pasti beda efeknya dari kalimat ini: “Mas kamu begadang melulu tuh ngapain sih! giliran pagi2 aku rempong butuh bantuan, kamu malah enak enak tidur!”.


Selanjutnya selain cara, WAKTU sangat menentukan efektivitas tuntutan yang kita sampaikan. 


Bayangkan kalau suami baru sampai di depan pintu sepulang kerja yang terdengar nada tinggi “Kamu tuh kebiasaan gak ngabarin pulang telat! Emangnya kamu masih bujangan apa!”.


Kenapa gak dipeluk dulu aja suaminya pulang dengan selamat, sambil bilang yang lembut, “aku seneng banget kamu udah pulang..”.


 Masalah kenapa pulang telat dan istri maunya gimana, disampaikan nanti setelah suami rebahan di kasur. 


Kuncinya memang empati. Sebelum bicara, tanyakan diri sendiri, sudahkah kita berusaha berada di posisinya?

Apa yang ia inginkan dalam situasi itu? Tepatkah disampaikan dengan cara ini, saat ini?

Atau ada cara dan waktu yang lebih baik?


Selain itu, jika kita menuntut suami (anak atau siapapun) untuk berubah, jadilah teladan. Buka juga telinga untuk mendengarkan. Jangan hanya mau didengarkan.


 Sebab bisa jadi, perilaku kita sendiri yang selama ini memancing respon perilaku yang tidak kita inginkan. 

Misalnya suami pulang kerja bukannya ngobrol sama istri malah asyik nonton tv. Kzl deh istri. Coba tanyakan dengan bahasa cinta, di saat yang tepat. 


Jangan jangan jawabannya: males ngobrol sama istri karena ujung ujungnya istri curhat terus nyalahin suami sambil nangis bombay. Padahal suami pengen istirahat dari penatnya urusan kantor. 

Muungkin curhatan istri malah lebih ditanggapi kalau ikut nonton sama suami, masuk ke dunianya dulu. Kalau udah ketawa atau seru seruan bersama, baru deh cerita. Pelan pelan aja. 

Ini berlaku juga buat ke anak. 


Lalu setelah tuntutan tersampaikan, pasrahkan pada Sang Pembolak balik hati. Langitkan doa dalam sujud saja. Tidak perlu tjoerhad kekinian di social media. Kecuali masalah sudah selesai lalu bermaksud berbagi hikmah.


Beningkan hati di hening sepertiga malam dari bermacam tuntutan yang menyiksa.


Jangan sampai capek sendiri karena menuntut terlalu tinggi. Jangan jangan nanti para suami bikin hestek #abangjugalelahhayati.


Mari alihkan energi dari fokus kekurangan menjadi fokus pada kebaikan. Jangan tambah lagi beban pikiran karena harapan yang berlebihan.


Ada kalanya harapan harus dilepaskan. Tuntutan dikurangi. Standar disesuaikan.

Jangan buat hidup jadi lebih rumit karena gagal berdamai dengan diri sendiri.

Gagal menyederhanakan persepsi. Gagal menangkap kebaikan di sekitar diri.


Mari berdoa agar Tuhan memampukan kita membedakan mana yang harus diubah dan mana yang hanya perlu diterima, dari diri sendiri maupun suami.


Selamat hari Jumat, selamat memilih untuk berdamai dengan diri sendiri.


Yunda Fitrian, penulis Yakin Dia Jodohmu?

Friday, 11 December 2020

MiniPro Writing Is Healing

 Menulis adalah menyembuhkan Mini Project

.

Ide minipro ini asalnya bukan dari saya. Tapi dicetuskan Uni Dian Onasis, salah satu anggota calon warga juga. Nah karena bola panas udah dilempar pake sebut nama saya, yaudah saya tangkep aja pake wajan. Kalo pake tangan kan kebakar nanti # apasih😁😜

.

Selanjutnya karena saya nggak sering onlen saya langsung aja apa yang bisa dilakuin ya dilakuin. (Nyontek) bikin list siapa yang mau ikutan, bikin WAG khusus buat tim yang mau jalan bareng.

.

Alhamdulillah, senangnya karena para calon warga di tim ini kompak semua. Ide ide bermunculan dengan rencana minipro kami. Yang awalnya hanya satu ide berkembang jadi 3 ide dengan 14 anggota yang kemudian dibagi-bagi.

.

Begitulah lalu setelah diskusi, inilah minipro kelompok kami. Naga-naganya sih pada pengen beneran dieksekusi😁kita lihat saja nanti. Demikian sekilas inpo tentang minipro. Semoga bermanfaat bagi yang membaca dan kami yang mengerjakannya😁

.

#miniproject

#kampungkomunitas

#ibuprofesional




Minipro, Miniatur Berkomunitas

 Minipro miniatur berkomunitas

.

"Rumah bukan belenggu. Tak sepatutnya potensi seorang perempuan layu ketika ia menjadi ibu", saya ingat betul kalimat yang diucapkan Pak Dodik Mariyanto di sebuah acara Ibu Profesional, meski sudah bertahun silam.

.

Beliau bercerita tentang fenomena para perempuan yang cerdas, dinamis, aktif, namun begitu berumahtangga hilang kecemerlangannya. Sibuk mengurus pekerjaan rumah yang tiada habisnya. Padahal sebenarnya, dari dalam rumah, kesempatan untuk berkarya bagi dunia tetap terbuka.

.

Pak Dodik dan Bu Septi telah membuktikan dalam rumah tangga mereka, bagaimana seorang ibu berkarya untuk dunia ketika ia bersungguh-sungguh menjalankan perannya. Saya nggak akan cerita tentang prestasi beliau berdua di sini, yang belum tahu dan penasaran biar diceritain om Gugel aja yak😁

.

Saya hanya ingin berbagi (dalam rangka menuntaskan tugas aliran rasa tiga🤭), bahwa saya berhutang inspirasi pada dua sosok ini. Pak Dodik dan Bu Septi telah menginspirasi saya tentang bagaimana memaknai peran sebagai ibu, yang sesungguhnya menjalankan misi dari Allah di bumi.

.

Tidak mungkin Allah menciptakan kita sia-sia. Termasuk ketika menjalankan peran sebagai ibu, dimanapun berada. Bergabung dengan Ibu Profesional, dengan izin Allah  telah membukakan hati saya untuk menjalani peran sebagai ibu tanpa merasa terbelenggu. Sebab berkarya dan berdaya adalah pilihan, bukan sebuah keberuntungan yang jatuh begitu saja dari langit.

.

Berkomunitas di Ibu Profesional memang telah menginspirasi warna warni hidup saya sebagai istri dan ibu. Tidak selalu sukacita, terkadang dalam perjalanan juga terselip rintangan yang menguji kesungguhan. 

.

Alhamdulillah, kebersamaan dengan sesama teman senasib di komunitas, membuat rintangan-rintangan bisa dilalui hingga hari ini. Miniproject yang ditugaskan di babak main 3 menurut saya adalah miniatur dari dinamika kehidupan berkomunitas di Ibu Profesional.

.

Bagaimana para anggota dengan latarbelakang berbeda, mau bekerjasama untuk satu tujuan. Berbagi pemikiran, perasaan, keinginan, dan kebutuhan untuk menyelesaikan satu target bersama. Perlu saling pengertian, inisiatif dan komunikasi positif.

.

Alhamdulillah minipro sudah kami selesaikan dengan baik. Semoga kami semua lulus dan bisa menjadi warga yang baik kelak, aamiin🤗💚. Sekian aliran rasa babak main tiga.

.

#aliranrasatiga

#babakmain3

#kampungkomunitas

#Ibuprofesional




Sunday, 19 April 2020

Ringkasan Materi E-Parenting bersama Ibu Yeti Widiati (1)

Ringkasan Materi E-Parenting bersama Ibu Yeti Widiati , psikolog.

Materi 1: Secure Attachment, Fondasi Dasar Perkembangan Anak

Pendahuluan: Pola asuh adalah pola interaksi orangtua/pengasuh dengan anak.

Hal yang mempengaruhi pola asuh:
Dari sisi orang tua:
*Karakter ortu
*latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, budaya
*pola asuh yang diterima dari orangtua sebelumnya
*cara pandang orang tua terhadap anak
Dari sisi anak:
*Urutan kelahiran
*jenis kelamin
*sifat anak
*usia anak
*kondisi kesehatan/ fisik

4 jenis pola asuh berdasarkan tuntutan dan dukungan:

Ada tuntutan dan ada dukungan: otoritatif
Tidak ada tuntutan dan ada dukungan: permisif
Ada tuntutan dan tidak ada dukungan: otoriter
Tidak ada tuntutan dan tidak ada dukungan: neglect/pengabaian


Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikologis.
Kebutuhan fisik mencakup makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan tubuh lainnya.
Kebutuhan psikologis mencakup 5 hal mendasar, yaitu:

1. Secure attachment: kelekatan yang sehat antara ortu/ pengasuh dengan anak. Anak yang memiliki secure attachment tumbuh menjadi pribadi yang nyaman dengan dirinya, bisa menyesuaikan diri dengan situasi sosial, mampu membangun hubungan yang sehat dengan orang lain

2. Autonomy: kesempatan untuk melakukan apa yang sudah mampu dilakukan sendiri.
Anak yang tercukupi kebutuhan autonomy-nya tumbuh menjadi anak mandiri, punya identitas dan berani menjadi diri sendiri, bisa membuat keputusan, mengambil pilihan dan bertanggung jawab terhadap setiap pilihannya.

3. Kebebasan mengungkapkan perasaan dan keinginan: anak diperbolehkan menyatakan apa yang ia rasa dan inginkan. Jika kebutuhan ini terpenuhi, anak tumbuh menjadi pribadi yang mampu mengenali dan mengelola emosi maupun keinginannya.

4. Bermain dan berespon spontan: anak memiliki kesempatan untuk bergerak aktif, bermain secara alami. Jika kebutuhan ini terpenuhi, rasa ingin tahu, keinginan belajar, kemampuan bereksplorasi akan tumbuh dalam diri anak.

5. Batasan dan aturan: anak dibimbing untuk mengenal apa yang boleh dan tidak, apa itu baik dan buruk, mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat. Terpenuhinya kebutuhan ini akan membuat anak menjadi pribadi yang paham nilai dan norma, belajar empati, dan mampu mengendalikan diri sesuai dengan prinsip hidup yang diyakini.

Secure attachment

Landasan terbentuknya secure attachment adalah terbentuknya trust dari anak pada orang tua atau pengasuh. Masa kritis terbentuknya trust ini adalah di usia 0-2 tahun.

Semasa dalam kandungan, semua kebutuhan bayi terpenuhi secara langsung tanpa ia perlu berusaha. Saat lahir, bayi perlu berusaha mengikuti nalurinya untuk memenuhi kebutuhannya.

Trust terbentuk jika pengasuh/ ortu merespon dengan cepat dan tepat kebutuhan bayi. Ia belajar bahwa ada sosok yang bisa memberikan kebutuhan dan rasa aman. Sebaliknya, bayi akan marah dan cemas jika pengasuh/ ortu lama atau bahkan tidak merespon kebutuhannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, secure attachment akan terpenuhi jika anak merasakan:
1. Disayangi dengan cinta tanpa syarat, orang tua/ pengasuh menunjukkan cinta bukan karena capaian anak melainkan karena ia layak dicintai
2. Diterima apa adanya, orang tua/ pengasuh memberi anak bimbingan dengan kasih sayang ketika keliru atau salah, bukan menolak anak
3. Diperhatikan, orang tua/pengasuh menunjukkan ketertarikan saat berinteraksi
4. Dihargai, orangtua/pengasuh fokus pada proses usaha anak dan mengungkapkan penghargaan

Untuk membangun secure attachment ada 5 hal yang perlu diperhatikan:
1. Proximity: kedekatan jarak, ada jarak riil dan jarak imajiner. Jarak riil adalah jarak dalam kenyataan atau fakta. Jarak imajiner adalah jarak psikologis antara manusia.
Bisa saja ortu dan anak dekat dalam jarak riil tapi jauh dalam jarak imajiner, atau sebaliknya.

2. Frekuensi: seberapa sering ortu dan anak berinteraksi.
3. Responsif: seberapa cepat dan tepat ortu merespon perilaku anak.
4. Intensitas: kualitas interaksi yang kongruen dan melibatkan panca indera.
5. Emosi positif: seberapa nyaman perasaan yang tercipta saat berinteraksi.

Anak yang tidak memiliki secure attachment bisa jadi menunjukkan perilaku bermasalah dalam perkembangannya. Jika itu terjadi, maka orang tua/pengasuh perlu melakukan kilas balik, apa yang bisa dilakukan untuk membangun kembali secure attachment dalam hubungannya dengan anak.

Friday, 21 February 2020

Memenangkan Hati Anak dengan Bermain

*Playtime is special. Playing
together with your child is not only
fun, but a critical time to support
your baby or toddler’s healthy
development.*


Ajakan bermain dari anak adalah kesempatan istimewa bagi orangtua. Ada begitu banyak keuntungan yang tak dapat ditukar dengan apapun, ketika kita bermain dengan anak.

🎉 Bermain adalah sarana menabung kelekatan, kedekatan emosi, dan kenangan indah bersama anak.

Saya sangat percaya, prioritas kita sebagai orang tua adalah meninggalkan kenangan manis dalam ingatan anak. Dalam kenangan manis itulah, kita membungkus bekal berupa nilai-nilai kehidupan, keimanan, dan kebaikan yang akan terpatri dalam hati anak.

Selain itu, kelekatan yang baik antara anak dan orang tua akan sangat bermanfaat bagi kesehatan mental anak. Anak yang tumbuh dengan kelekatan baik, akan lebih tangguh, mudah bersosialisasi, dan bisa menjalani hubungan yang sehat dengan orang lain.


🎉 Bermain adalah sarana anak belajar menguasai berbagai keterampilan, seperti keterampilan sosial, bahasa, hingga berpikir.


Dalam kegiatan bermain, anak belajar bergantian, menyampaikan perasaan dan pikiran, hingga belajar memecahkan masalah. Bagi anak, bermain adalah pekerjaan serius yang menyenangkan dan menantang.

Orang tua yang asyik adalah teman bermain pertama dan terfavorit bagi anak. Jangan lewatkan kesempatan berharga untuk bermain dengan anak, kapanpun kita bisa.

SAAT IBU LELAH BERMAIN

Bagaimana jika kita sedang lelah, sakit, atau sangat sibuk sehingga tidak bisa bermain dengan anak?

Tentu semua kondisi itu manusiawi. Terpenting, bagaimana menyampaikannya pada anak dengan cara yang baik.

Jangan sampai anak merasa kapok dan terluka karena ditolak satu-satunya orang yang paling diharapkannya.

Berikut ini beberapa cara yang bisa diterapkan saat kita sedang kurang fit untuk bermain dengan anak:

🎈 Sampaikan batasan pada anak sebelum benar-benar ingin menyudahi permainan, misal sekali lagi ya, ini terakhir. Habis ini kita istirahat dulu.

🎈Beri penanda yang bisa dimengerti anak, misalnya kalau jarum panjang sudah ke angka 5, sudah dulu ya mainnya.

🎈Jelaskan kondisi dengan kata-kata sederhana. Misalnya, Ibu sekarang mau siapin makan siang dulu ya, jadi nggak bisa main bareng lagi.

🎈 Tawarkan kegiatan pengganti, misalnya sekarang kamu bisa main mobil-mobilan atau boneka dulu ya. Jika anak sudah cukup besar bisa ditawarkan untuk membantu kegiatan orangtua sesuai kemampuan anak.

🎈Jika anak marah atau menangis karena masih mau main, terima saja perasaannya. Buat ia merasa nyaman karena dimengerti. Sampaikan dengan kata-kata yang jelas bahwa kita menerima perasaannya. Misalnya, kamu sedih ya karena masih mau main sama Ibu? Nanti kita bisa main lagi kalau Ibu sudah selesai beres-beres.

Sejatinya, anak tidak butuh ditemani main sepanjang waktu. Ia perlu waktu bereksplorasi sendiri dalam bermain. Peran penting orang tua adalah mengawasi dan memastikan anak bermain dengan aman.

TERLIBAT DALAM PERMAINAN ANAK

Ketika tiba saatnya orang tua ikut bermain, hal yang perlu diperhatikan adalah TERLIBAT dan HADIR LAHIR BATIN atau bahasa kerennya mindfulness.

Jadi bukan hanya menemani anak main tapi mata masih sibuk ngecek HP. Atau badannya bersama anak tapi pikirannya melanglang buana.

Ciri orang tua yang terlibat dan hadir lahir batin dalam permainan bersama anak adalah:

😘 Mengikuti alur permainan yang berasal dari inisiatif anak

😘 Peka terhadap respon anak, apakah anak terlihat menikmati permainan atau enggan meneruskan?

😘 Mengamati perilaku anak saat bermain

😘 Berusaha berkomunikasi dengan bahasa anak dan mengkonfirmasi pikiran, perasaan anak lewat kata-kata sederhana

😘Fokus bermain tanpa disambi dengan kegiatan lain atau memegang smartphone


Kalau mau jujur, kitalah yang membutuhkan waktu bermain bersama anak. Sebab hanya itulah cara terbaik masuk ke dunia anak. Dengan bermain, kita bisa menyatakan cinta, mempersembahkan kenangan indah, dan menumbuhkan nilai-nilai kebaikan sebagai bekal hidupnya.

Yuk main lagi👶🏻👧🏻👩🏻


Yunda Fitrian

Thursday, 30 January 2020

LUKA BATIN ANAK KITA

LUKA BATIN ANAK KITA
.
"Gimana cara supaya anak tidak menyimpan luka batin jika sudah terlanjur dibentak, dicubit dan dipukul? "
.
Pertanyaan yang sering saya dapat di acara healing maupun parenting.
.
Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir luka batin, meskipun kita tidak bisa memastikan apakah anak benar-benar sembuh dari luka tersebut. Pada akhirnya Allah-lah tempat kita meminta.
.
Langkah pertama, mohon ampun pada Allah. Akui bahwa kita telah khilaf menuruti hawa nafsu dan bisikan syaitan ketika marah. Mintalah pertolongan Allah agar selalu diberi kekuatan untuk mengasuh sesuai syariatNya.
.
Kedua, minta maaf pada anak dengan tulus. Minta maaf yang didengarnya saat sadar, bukan hanya saat anak tidur. Jelaskan bahwa tindakan kasar itu salah. Berjanjilah tidak akan mengulanginya. Minta anak mengingatkan kita, bersungguh-sungguhlah agar tidak mengulanginya.
.
Ketiga, bantu anak mengalirkan perasaan tidak nyaman yang pernah ia rasakan akibat kekerasan orang tua. Tanyakan apa yang anak pikirkan, rasakan, inginkan, dan butuhkan saat peristiwa itu terjadi. Dengar dan terima apa yang ia sampaikan. Cara ini baru bisa dilakukan setelah anak mampu lancar berbicara.
.
Keempat, perbanyak memeluk, menyatakan kasih sayang, bermain bersama, dan berkegiatan yang menyenangkan dengan anak. Perbaiki kesalahan kita dengan melakukan banyak kebaikan. Penuhi ingatan anak dengan jutaan kenangan indah, agar bukan kenangan buruk yang lebih berkesan ketika mengingat orang tua.
.
Kelima, doakan anak dengan kebaikan. Bukan hanya doa setelah sholat dengan suara lirih. Melainkan juga doa ketika berinteraksi dengan anak, dengan suara yang dapat ia dengar. Doa seperti itu adalah pernyataan cinta dan sugesti yang berkesan bagi anak.
.
Ingatan akan kekerasan yang dilakukan orang tua memang dapat membekas sepanjang usia. Meninggalkan luka dan menggerus cinta. Namun, tidak ada kata terlambat untuk bertaubat.
.
Di sisa usia kita, biar Allah menyaksikan bahwa kita berjuang untuk menjalankan amanah sebagai orang tua dengan sepenuh jiwa. Agar Allah ridho pada kita, dan menjadikan kita keluarga penghuni surga. Aamiin.
.
#transformom
#innerchildhealing

Sunday, 15 December 2019

Telur-telur Kebahagiaan


Akhirnya kelas Bunda Cekatan yang saya tunggu selama ini tiba :) Eh Alhamdulillah ya, pas jadwal buncek pas dikasih hamil anak keempat sama Allah :D Pas juga dengan sekumpulan agenda pribadi lain yang sedang digarap. Jadilah ini beneran latihan cekatan :D

Bismillah, semoga Allah beri yang terbaik. Usaha tetep, proses dijalani dan biarkan Allah yang menentukan hasilnya.


Alhamdulillah sempat menyimak video Bu Septi dan mendapatkan pengajaran lagi. Intinya yang saya tangkap tentang memerdekakan diri untuk belajar apa yang membahagiakan sekaligus meningkatkan kualitas diri dan keluarga. Tentu dalam perjalanan ada banyak hal tidak ideal yang menantang, tapi selama kita memutuskan untuk menjalaninya dengan bahagia, insya Allah semua bisa terlaksana.

Terkait pesan tersebut, peserta buncek diberi tugas perdana berupa pengisian kuadran akitivitas.

Berikut saya lampirkan gambar yang diberikan untuk diisi




Isinya hasil observasi dan refleksi diri. Alhamdulillah saya tidak terlalu kesulitan mengisi telur telur bisa dan suka, karena sejak SMA merasa sudah tahu betul apa passion saya. Hanya saja dalam perjalanan berperan sebagai ibu, memang perlu banyak penyesuaian untuk menekuni passion ini.


Alhamdulillah lagi, saat ini saya sudah on track dalam merenda karir sesuai passion. Meski menjalani dari rumah dan dengan segala keterbatasan, dukungan suami dan anak atas izin Allah telah mengantarkan saya berkarya di bidang yang saya sukai. InsyaAllah saya sudah menemukan jalan itu dan akan terus belajar serta meningkatkan jam terbang di bidang tersebut.

Hal yang masih menjadi tantangan bagi saya adalah menjalani hal yang tidak bisa dan tidak suka padahal itu dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai ibu. Misalnya, masak serta dandan.


Seringkali saya keasyikan dengan hal yang  saya suka (nulis, baca, main sama anak) dan jadi males, lalai untuk memenuhi tugas masak dan tampil cantik.

Jadilah kerjaan saya beli masakan tetangga. Soal dandan dan perawatan, nggak pernah ada yang Istiqomah.

Terkadang merasa bersalah karena tidak bisa menyajikan masakan yang terjamin kesehatannya karena beli melulu. Begitu juga dengan urusan dandan plus perawatan. Kadang pengen tampil kinclong di hadapan suami tapi ya kemampuan make up dan motivasinya segitu gitu aja :D

Satu lagi tantangan terbesar lainnya adalah manajemen keuangan. Duh, saya tuh belum berhasil mengalahkan malas dan lalai dalam mencatat pengeluaran. Alhamdulillah kalo soal hemat, kami sekeluarga memang gak konsumtif amat sama belanja yang nggak penting. Tapi kalo jajan makanan itu, masih pe-er..doyan banget emang.


Hehehe, jadi curhat.
Semoga di kelas buncek ini saya menemukan jalan untuk mengalahkan malas dan lalai dalam hal hal tersebut serta bisa meningkatkan kualitas diri lebih baik lagi. Aamiin.

#janganlupabahagia
#jurnalminggu1
#materi1
#kelastelurtelur
#bundacekatan1
#institutibuprofesional