Tuntutlah SESUATU
Suatu ketika saya bertemu dengan dua orang teman perempuan, kami semua sudah menikah. Setelah basa basi obrolan berlanjut menjadi curhatan.
Teman yang datang paling akhir cerita tentang suaminya yang sangat jauh dari harapan.
Dia ingin suaminya bisa menjadi imam di keluarga. Dalam arti sebenarnya, sebagai imam sholat baik di rumah maupun mengajak anak berjamaah di masjid.
Namun sampai 16 tahun menikah, tidak sekalipun suaminya mau mengimami sholat berjamaah di rumah. Apalagi mengajak anak ke masjid.
Berulang ulang ia menceritakan kekecewaan pada suaminya, sampai saya terhanyut dan ikut merasakan betapa lelah berada di posisi beliau. Bertahun tahun berharap dan sudah melakukan berbagai usaha tapi bertepuk sebelah tangan. Pengen tos sama Hayati rasanya, bikin hashtag #hayatilelahbang.
Tak lama, teman saya itu pamit karena suatu urusan. Saya dan teman lain belum beranjak karena ingin melanjutkan perbincangan. Setelah teman saya itu pergi saya berkomentar, “iya ya, kasihan juga dia. Capek banget ya kalau begitu”.
Tapi balasan teman yang masih bersama saya diluar dugaan. Membuat saya berpikir ulang dan akhirnya dapet inspirasi #bikintulisanini. Kata teman saya itu:
“Aku kok ngebayangin jadi suaminya, lebih capek lagi ya..Enam belas tahun dikomplen terus sama istri, dituntut terus gak pernah diapresiasi..”.
Glegh.
Ingatan saya melayang ke tahun tahun awal pernikahan. Dimana topeng pangeran sempurna milik suami saya sudah terbuka. Dimana harapan saya tentang dirinya yang ideal mulai menjadi bumerang untuk saya sendiri.
Saya sering menangis bertanya pada Tuhan, mengapa suami saya tidak sesuai harapan? Maklum, waktu itu belum baca buku Yakin Dia Jodohmu? Jadi belum nemu jawaban #eeaa.
Pernah seusai sholat malam, saya bikin surat curhat. Saya tulis semua kekecewaan saya. Saya tulis tuntutan tuntutan saya. Dua lembar penuh bolak balik. Suami saya cuma diam saat membacanya. Tidak ada tanggapan #mungkindialelah.
Sampai di tahun keempat pernikahan, selesai berdoa di suatu malam, saya kembali berpikir, apa maksud Allah mempertemukan saya dengan suami?
Saya baru sadar, dosa dan aib saya pun banyak. Apa layak selama ini saya menuntut suami demikian tinggi? Bukankah segala sesuatu di sisi Allah ada ukurannya? Dia pasti sudah mengukur saya dan suami. Ibarat tu***rware dengan tutupnya, sudah pas dengan pasangan masing masing.
Saya mulai melakukan kilas balik. Kebaikan suami sudah begitu banyak. Terlalu banyak jika disandingkan dengan kekurangan saya sebagai istri.
Saat itu pula, Allah mempertemukan saya dengan satu demi satu teman yang curhat tentang pernikahan mereka.
Dimana suaminya melakukan hal hal yang sangat mengerikan buat saya.
Hal hal yang sudah masuk kategori zalim karena melanggar syariat Allah.
Lalu saya malu sendiri. Kok bisa saya kufur nikmat dengan suami yang sudah sebaik ini?
Saya pun bertaubat. Sejak itu saya berusaha berdamai dengan diri sendiri.
Karena sejatinya saya berkonflik dengan diri sendiri. Dengan harapan yang terlalu tinggi, hingga lupa kebaikan suami.
Saya yang harus melapangkan hati. Karena terlalu fokus pada rumput tetangga, lantas lalai pada rumput di rumah sendiri.
Bukan suami yang tak kunjung berubah. Tapi saya yang harus berbenah.
Bukan berarti istri tidak boleh menuntut suami.
Saya setuju sama lagunya Tulus: Jangan cintai aku apa adanya Tuntutlah sesuatu agar kita maju ke depan.
Boleh saja menuntut, tapi syarat dan ketentuan berlaku.
Kalau dicerna baik baik Tulus bilang tuntutlah SESUATU.
SESUATU bukan SEBANYAK BANYAKNYA.
SESUATU itu berarti SATU hal yang membuat kita maju ke depan. Bukan bermacam tuntutan yang gak penting2 amat buat masa depan.
Bukan tuntutan kelewat langitan (yang sebetulnya) mungkin masih bisa digantikan dengan tuntutan lain yang lebih BAIK dan lebih MUDAH dilakukan.
Lagipula yang harusnya banyak tuntutan itu di pengadilan, bukan pernikahan.
Dalam pernikahan mah banyakin cinta dan kasih sayang ajah...#uhuk.
Gimana kalau tuntutannya cuma satu tapi KETINGGIAN?
Nah ini perlu saya sampaikan pesan Abah Ihsan. Menurut beliau, kita semua memulai dari titik yang berbeda ketika membangun rumahtangga.
Maka SESUAIKAN tuntutan dengan titik awal kita.
Tepatkah menuntut suami jadi imam hafal 30 juz padahal ia tak pernah diajarkan baca Alquran sejak kecil, misalnya.
Adakah tuntutan pengganti yang lebih tepat, lebih terjangkau dari titik awal pasangan? Daripada menuntut sesuatu yang terlalu sulit dicapai.
Maka selanjutnya jika tuntutan itu ada, sampaikan dengan CARA yang tepat. Tidak di muka umum apalagi lewat medsos.
Sampaikan dengan bahasa cinta agar tidak menjadi tuntutan tetapi tuntunan.
Sampaikan bukan dengan rentetan kata penuh emosi jiwa. Apalagi dengan cara membandingkan suami tetangga.
Coba aja dibalik kalo suami yang ngomong ke istri:
Mah, kenapa sih kamu ga bisa kayak istrinya si Anu yang selalu cantik di rumah?
Bun kamu kok gak langsing langsing kayak emaknya Fulanah?
Gubragbragbragbrag....! Genderang perang dunia ketiga ditabuh!
Yang ada istri bukan baper lagi tapi berubah jadi macan laper siap memangsa pengganggu emosi jiwa..
Suami (anak dan siapapun) juga gak sukalah dibanding bandingin. Gak masuk pesan baiknya. Yang ada sakit hatinya.
Jadi ubahlah cara menuntut kita menjadi tuntunan penuh cinta. Misalnya, “Mas, kayaknya lebih sehat lho kalau kamu tidur cepat. Sering begadang bisa bikin penyakit, nih aku ada artikelnya”, share deh ke misua.
Pasti beda efeknya dari kalimat ini: “Mas kamu begadang melulu tuh ngapain sih! giliran pagi2 aku rempong butuh bantuan, kamu malah enak enak tidur!”.
Selanjutnya selain cara, WAKTU sangat menentukan efektivitas tuntutan yang kita sampaikan.
Bayangkan kalau suami baru sampai di depan pintu sepulang kerja yang terdengar nada tinggi “Kamu tuh kebiasaan gak ngabarin pulang telat! Emangnya kamu masih bujangan apa!”.
Kenapa gak dipeluk dulu aja suaminya pulang dengan selamat, sambil bilang yang lembut, “aku seneng banget kamu udah pulang..”.
Masalah kenapa pulang telat dan istri maunya gimana, disampaikan nanti setelah suami rebahan di kasur.
Kuncinya memang empati. Sebelum bicara, tanyakan diri sendiri, sudahkah kita berusaha berada di posisinya?
Apa yang ia inginkan dalam situasi itu? Tepatkah disampaikan dengan cara ini, saat ini?
Atau ada cara dan waktu yang lebih baik?
Selain itu, jika kita menuntut suami (anak atau siapapun) untuk berubah, jadilah teladan. Buka juga telinga untuk mendengarkan. Jangan hanya mau didengarkan.
Sebab bisa jadi, perilaku kita sendiri yang selama ini memancing respon perilaku yang tidak kita inginkan.
Misalnya suami pulang kerja bukannya ngobrol sama istri malah asyik nonton tv. Kzl deh istri. Coba tanyakan dengan bahasa cinta, di saat yang tepat.
Jangan jangan jawabannya: males ngobrol sama istri karena ujung ujungnya istri curhat terus nyalahin suami sambil nangis bombay. Padahal suami pengen istirahat dari penatnya urusan kantor.
Muungkin curhatan istri malah lebih ditanggapi kalau ikut nonton sama suami, masuk ke dunianya dulu. Kalau udah ketawa atau seru seruan bersama, baru deh cerita. Pelan pelan aja.
Ini berlaku juga buat ke anak.
Lalu setelah tuntutan tersampaikan, pasrahkan pada Sang Pembolak balik hati. Langitkan doa dalam sujud saja. Tidak perlu tjoerhad kekinian di social media. Kecuali masalah sudah selesai lalu bermaksud berbagi hikmah.
Beningkan hati di hening sepertiga malam dari bermacam tuntutan yang menyiksa.
Jangan sampai capek sendiri karena menuntut terlalu tinggi. Jangan jangan nanti para suami bikin hestek #abangjugalelahhayati.
Mari alihkan energi dari fokus kekurangan menjadi fokus pada kebaikan. Jangan tambah lagi beban pikiran karena harapan yang berlebihan.
Ada kalanya harapan harus dilepaskan. Tuntutan dikurangi. Standar disesuaikan.
Jangan buat hidup jadi lebih rumit karena gagal berdamai dengan diri sendiri.
Gagal menyederhanakan persepsi. Gagal menangkap kebaikan di sekitar diri.
Mari berdoa agar Tuhan memampukan kita membedakan mana yang harus diubah dan mana yang hanya perlu diterima, dari diri sendiri maupun suami.
Selamat hari Jumat, selamat memilih untuk berdamai dengan diri sendiri.
Yunda Fitrian, penulis Yakin Dia Jodohmu?