Thursday, 1 November 2018

Dibalik Ngambek Istri

DIBALIK NGAMBEK ISTRI

Konon kejujuran suami adalah kebahagiaan istri. Tapi kejujuran suami saya hari itu bikin keki. Kecele abis tingkat tinggi.
Semua bermula dari belanja piring dan mangkok di warung tetangga.

Setelah 8 tahun menikah, stok piring dan mangkok menipis di rumah (bukan karena sering ada badai piring melayang kok, sungguh).

Akhirnya sore itu setelah reli panjang merengek minta beliin piring, suami pun bergerak berangkat beli piring dan mangkok. Berangkatlah ia ditemani 2 bidadari. Yang bungsu ditinggal sama saya di rumah.

Malam harinya, saat menghadapi wastafel tempat cuci piring, pandangan saya beradu dengan 6 buah piring yang tampak asing: para piring baru.

 Seketika hati saya berbunga bunga. Betapa tidak, semuanya berwarna hijau: warna favorit saya.

Serta merta saya terharu. Lantas berpikir terburu buru, suamiku so sweet amat beli piring warna favorit istrinya semua..uhhlalaaa. Eh tapi, jangan jangan yang milih anak anak, pikir saya segera, sebelum terlalu berbaik sangka pada suami.

Saya pun melontarkan umpan pancingan, khas para istri yang ingin memperjelas romantisme suami.

“Piringnya siapa yang milih?” Ujar saya sambil mencuci.

“Aku”, jawab suami, bikin saya langsung GR tak terbendung.

Sebelum sempat berpikir panjang, mulut tiba tiba berucap:
“Duh so sweet banget sih kamu milihnya ijo semua"

Dan jawaban suami saya sungguh luarbiasa:

“Kagak ada stok lagi tinggal itu doang!”

#?/#@$#!!!!!
Saya melongo sejenak ingin rasanya ngulek wastafel saat Itu juga, saking gondoknya.

Tapi yaa setelah menikah 8 tahun, sudah biasa gayung romantisme tak bersambut macam ini. Jadi saya putuskan jujur saja berkomentar menimpali:
“Yaelaah gak usah terlalu jujur napa biar istrinya seneng"

Begitulah. Kalau saja pernikahan ini belum sampai berumur sewindu, mungkin kejadian seperti  Ini bikin saya bete lalu ujug ujug ngambek.

Sampai di tahun keempat menikah, saya masih hobi ngambek.

GR bertepuk sebelah tangan, ngambek. Suami khusyuk sama Hp, ngambek. Suami lebih perhatian sama ikan piaraan di kolam, ngambek. Suami telat jemput, ngambek. Suami lama transfer olshop, ngambek juga...nah lho gimana gak ubanan ya suami saya #barunyadar.

Sampai di tahun kelima, saya tobat dari ngambek akut macam begitu. Capek sendiri. Iya kalau ngambeknya bersambut dengan suami yang ngalemin sesuai keinginan istri, kebanyakan nggak tuh.

Lama lama akal sehat saya nyambung juga. Ngapain repot repot ngambek, manyun, nahan gondok sementara suami gak ngerti ngerti maksud hati.

Akhirnya saya kembali pada cara yang logis ketika harapan dan kenyataan butuh jembatan bernama komunikasi.

Saya kembali belajar manajemen emosi agar bisa mengkomunikasikan dengan baik apa kebutuhan dan keinginan terhadap suami. Bukankah para lelaki memang makhluk kurang peka yang perlu bahasa langsung?

Saya pun belajar kembali pentingnya timing dalam berkomunikasi. Mau minta suami bayarin seminar, lihat tanggalan dulu. Mau ngajak suami ikut parenting, ngobrol ngalor ngidul dulu tentang anak orang #lho. Mau minta pulsa, kasih kode minta tethering dulu..dan sebagainya lihat waktu.

Tidak menyampaikan sesuatu yang penting dan butuh fokus tinggi saat suami lelah atau sedang bad mood (dan setelah ikut workshop hipnoterapi makin paham cara jitu mensugesti suami, wkekek).

Karena seringkali, cara kita berkomunikasilah yang memperpanjang masalah.

Saya juga tobat nuntut suami begini dan begitu sesuai versi saya. Lebih bahagia ternyata jika lebih sering mengapresiasi suami daripada menuntutnya terus menerus.

Berdamai dengan ekspektasi yang berlebihan itu menyembuhkan. Buat apa fokus meninggikan lembah celah kekurangan suami sampai kita lalai dengan menjulangnya gunung kebaikan miliknya?

Berhenti berharap pada sesuatu yang bukan esensi dan fokus pada hal hal yang realistis serta bisa dicapai. Lebih banyak ngaca, bercermin diri daripada menilai ini dan itu pada diri suami.

Alhamdulillah dengan proses belajar memperbaiki diri, frekuensi ngambek sudah menurun drastis. Ini saya tanya langsung ke suami.

Beliau mengakui bahwa derajat ngambek saya sudah sangat berkurang dari tahun tahun awal menikah. Bener lho ini jawaban suami, tidak ada unsur paksaan atau pencitraan, huehehe.

Hati dan pikiran saya jadi lebih lapang. Saya tahu, ini juga buah dari keteladanan yang dicontohkan suami saya.

Sabarnya suami mulai menular pada saya, meskipun ia tak pernah gembar gembor heboh nyuruh saya sabar.

Ia cuma mencontohkan bagaimana tetap tenang dan senang merespon ngambek saya. Paling modalnya sodorin jajanan macam pempek atau siomay #istricelamitan.

Saya juga mencoba berdamai dengan kondisi yang kadang tidak sesuai idealisme.

Misalnya Saat suami tidak bisa ontime ketika saya sudah detail merencanakan kegiatan.

Saya mencoba mengubah sudut pandang peristiwa menjengkelkan menjadi sesuatu yang lucu atau berhikmah.

Dari yang awalnya bete kalo suami telat, jadi santai aja sambil bilang “Kamu udah tau belum kalo di Indonesia itu ada pembagian waktu baru? WIBS, Waktu Indonesia Bagian Suami. Bedanya bisa 2 jam dari jam hp istri”. Suami saya cuman cengengesan.

Suami saya pun begitu, kadang muka garang saya dibecandain sampe saya kesel sambil nahan ketawa..

Ketika pemicu konflik sifatnya genting atau prinsip, kami biasanya cari waktu khusus untuk bicara. Kami biasa berjeda sebelum kepala siap bertukar pikiran dengan jernih. Jika masih emosi, kami memilih diam. Alhamdulillah kami gak pernah diam diaman sampai lebih dari 24 jam.

Kehidupan pernikahan memang penuh dengan episode warna warni. Kemauan belajar, memperbaiki diri, membangun komunikasi, dan terus memperjuangkan visi adalah kunci agar semua warna warni terlewati dengan lapang hati.

#sabardansyukur
#yakindiajodohmu?
Yunda Fitrian

No comments:

Post a Comment