TERJEBAK (MEMORI) MASA KANAK KANAK
Saya merasa amat sesak dan panas. Kekesalan saya memuncak mendengar Tangisan dan teriakan dua putri kecil saya yang tengah bertengkar. Amarah saya rasanya sudah di ubun ubun, siap tumpah mengalir lewat teriakan dan cubitan.
Sedetik saja saya pasti meledak. Sekuat tenaga saya berusaha mengendalikan suara tinggi yang rasanya sudah sampai di kerongkongan.
Maka dengan gigi gemeletuk menahan marah, muka yang terlanjur seram dan napas memburu saya kabur ke kamar mandi.
Menutup mulut dengan handuk lalu teriak sekeras kerasnya. Belum puas, saya pukuli pintu kamar Mandi. Sampai energi saya habis dan terlalu lelah untuk menumpahkan marah pada putri saya.
Begitulah. Membaca Banyak buku dan mengikuti seminar parenting Tidak serta merta membuat saya selalu bisa menyikapi anak sesuai teorinya. Bagi Sebagian orang tua, LUAR BIASA SULIT untuk melaksanakannya.
Saya pun heran dengan diri sendiri. Saya tidak pernah semarah itu sebelum punya 2 anak. Anak pertama rasanya belum pernah membuat saya sekesal itu. Setelah punya adik, mulailah percikan percikan api emosi menyulut saya.
Ada kalanya kita merespon situasi dengan emosi yang tidak tepat. Yang setelah emosi reda, kita menyesal melakukannya. Kita merasa 'reflek' merespon Saat itu. Padahal jika kita memberi jeda sebentar saja, bisa jadi kita punya waktu untuk memilih respon yang lebih baik.
Saat kita dalam kondisi tegang, respon yang pertama kita tampilkan adalah respon yang sudah terekam bertahun tahun di kepala kita. Berdasarkan apa yang sering kita alami, lihat dengar rasa. Pada kasus saya tadi, ketika mendengar ribut dan menyaksikan dua putri saya bertengkar, yang langsung terbayang di kepala saya adalah berteriak menyuruh mereka diam. Respon ini bisa saya tampilkan reflek karena mungkin ini yang saya terima sejak kecil. Pertengkaran adalah hal yang tidak diterima dan harus segera diakhiri dengan otoritas orang dewasa, melalui bentakan.
Tapi sebagai manusia dewasa, yang telah belajar dan tahu idealnya, Saya semestinya bisa memilih respon. Saya paham respon yang harus dipilih adalah tetap tenang, lalu mendekati mereka dengan posisi mata sejajar. Selanjutnya menjadi penengah yang adil. Faktanya, sungguh tidak mudah selalu merespon ideal seperti itu.
Kelihatannya manusiawi saat kita orang tua salah merespon anak karena kondisi kita pun tidak selalu fit. Ada kalanya kita sakit, lelah, diburu waktu, dan lainnya yang membuat semua teori terasa terlalu sulit diterapkan. Tetapi sebenarnya saat kita merespon anak dengan salah padahal tau yang seharusnya, kita bisa jadi punya masalah dengan anak kecil dalam diri kita.
Setiap kita punya memori masa kecil yang bisa menyenangkan atau menyedihkan. Memori itu semua tersimpan di otak kita. Siap diambil menjadi Referensi dalam bertingkah laku, sampai kita dewasa bahkan lanjut usia. Jika di masa kecil ketika bertengkar dengan saudara, kita selalu dibentak agar diam, maka memori itulah yang kita pakaI sebagai referensi untuk berespon di saat kita menghadapi anak bertengkar.
Banyak orang dewasa menggunakan respon kanak kanak dalam menghadapi situasi sehari hari. Misalnya, ketika berkonflik dengan pasangan. Suami pulang terlambat, istri buka pintu dengan muka marah. Suami belum menjelaskan sudah disemprot dengan kemarahan. Ehm yang ini perlu saya tegaskan ya, bukan pengalaman pribadi, hehe..biar ga tercoreng nih pencitraan..wkwkwk.
Sebaliknya dengan suami. Ketika anak bermasalah, belum apa apa langsung menyalahkan istri. Padahal belum tentu salah suami, eh..maksudnya belum tentu salah istri. harusnya sebagai orang dewasa ya introspeksi diri donk...Suami kan pemimpin rumah tangga.
Contoh respon ini bisa jadi adalah pengalaman masa kanak kanak yang terekam dalam otak kita. Ketika pulang terlambat, kita dimarahi orangtua. Saat dapat nilai jelek, kita disalahkan orang tua. Atau orang tua menyalahkan orang lain, sehingga kita belajar untuk menimpakan kesalahan pada oranglain sebelum introspeksi diri.
Sebagian orang tidak menyadari kehadiran kanak kanak yang terluka dalam dirinya. Si anak kecil yang marah, butuh perlindungan, kasih sayang, perhatian, menetap dalam tubuh Orang dewasa. Sosok anak kecil itu terus saja mencari kebutuhan akan cinta dan rasa aman melalui berbagai cara. Maka jika ada orang dewasa atau lansia yang sikapnya seperti kanak kanak, pastilah ada kanak kanak yang terluka di dalam dirinya. Ada kebutuhan dasar di masa kecilnya yang belum terpenuhi.
pada kasus kasus tertentu, anak kecil yang terluka ini bisa merongrong hidup si badan dewasa hingga selalu memilih respon yang salah dalam berperilaku. akhirnya orang lain malas berurusan dengan orang ini karena selalu mau menang sendiri-egosentris, khas anak anak.
Karena itulah, urusan masa kecil ini harus diselesaikan.
Caranya? Ya pertama pastinya sadar dulu. Kalau tidak sadar bahwa respon kita sering salah, ya selamanya akan merasa benar.
Coba cari feedback dari orang orang terdekat, wajarkah respon kita dalam situasi tertentu. Banyak refleksi, renungkan respon yang kita pilih. Adakah rasa menyesal, atau komentar “iyaya.kenapa gue begitu ya..kan harusnya gak gitu..”
Kedua, kalau sudah sadar cari ilmu! Gimana ya respon.yang tepat? Ooh jadi kalo anak tantRum, aku ga perlu tantrum juga, tapi caranya gini ya..(sambil baca buku abah ihsan ceritanya,,hehe).
Ketiga, cari role model. Manusia butuh contoh. Bisa lihat praktek di seminar PSPA misalnya (ampun dehPromosi terus padahal saya Gak dibayar sama abah, haha).Tapi yang lebih nempel lihat contoh dari keseharian orang baik di lingkungan kita. Jadi lebih natural dan familiar.Dalam kasus saya, saya belajar banyak dari yayang tercinta, Edwin Nofsan Naufal Sampe kadang mikir..ni orang hatinya terbuat dari apa yak..kok (hampir) ga pernah marah?? Eits kembang kempis deh tu idungnya, hekekek.
Keempat, latihan. Practice makes perfect, no doubt. Terus melatih diri untuk mengaplikasikan niat baik dan pengetahuan kita.
Kelima, tentu saja dukungan dari orang orang terdekat. Bagi istri, ya dari suami sendiri, masak iya dari suami orang, dan sebaliknya. Dukungan ini penting walaupun Bukan segalanya. jangan sampai berkilah, 'mana bisa saya berubah, wong suami saya saja masih begitu terus!’nahh kalo masih ngomong begini berarti anak kecilnya tuh yang muncul, heuhee.
keenam, undang si anak kecil dan selesaikan masalahnya. Seems too abstract to do, tapi ada caranya. Salah sekiannya saya pelajari di workshop healing innerchild within pekan lalu. Two days journey to find a whole package Of me, itu tagline di otak saya setelah ikut workshopnya. Salah satu momen terbaik dalam hidup saya. Bertemu yunda kecil yang lagi nangis ketakutan (gausah diceritain kenapanye yee biar penasaran, wakakak).
Ketujuh, laa haula walaa quwwata illa billlah. Percayakan pada Allah. Selalu mencari hikmah dan minta bimbinganNya. Pasti.
Segitu dulu ya, semoga bermanfaat sharingnya. SelaMat membijaksana dalam menuanya usia :)
#special thanks to behind-the-scenes team yang bikin saya bisa tenang ninggalin trio bidadari lebih dari 20 jam, jazakumullahkhairankatsir.hanya Allah yang maha mengetahui dan mampu membalas
No comments:
Post a Comment