Saturday, 8 July 2017

Kalau Ibu Sudah Tiada

KALAU IBU SUDAH TIADA

"Ide Ibu bagus banget deh!", seru si anak tengah (4th) dengan mata berbinar di tengah hujan. Hari itu saya mengajaknya main hujan hujanan untuk pertama kalinya. Mendengar tawa riangnya diselingi kaki yang melompat lompat sambil sesekali berlarian membuat kesejukan hujan serasa sampai ke hati.

"Ibu foto ya buat kenang kenangan!" Ujar saya, ingin mengabadikan momen bahagia kami. Tetapi jawaban anak saya lantas mengubah kesejukan di hati saya menjadi gerimis. Ia berkata sambil masih tersenyum lebar, "Buat kenang kenangan kalo Ibu udah gak ada ya!". Nyesssss...!
***
Kalau kita sudah tidak ada, apa yang lebih banyak muncul dalam memori anak anak?

Apakah wajah menyeramkan dengan nada tinggi ketika menyuruh mereka membereskan mainan?

Atau gelak tawa saat kita melawak agar anak membereskan mainannya?

Apakah hanya gambaran ayah ibu yang fokus menatap layar HP saat bermain bersama anak?

Atau episode penuh canda saat ayah ibu kalah saat bermain cublak cublak suweng bersama?

Apakah bentakan demi bentakan yang berhamburan dari ingatan?

Atau kalimat kalimat nasihat lembut yang disampaikan dalam suasana syahdu berdua saja?

Apakah lebih banyak ingatan tentang betapa sakitnya ketika ayah memukul atau ibu mencubit? (Ah yang terakhir ini semoga tidak pernah kita lakukan...kalau pernah segeralah bertobat).

Atau memori anak penuh dengan momen pelukan hangat ayah bunda saat butuh dukungan?

Memori buruk, memori datar, atau memori indah yang ingin kita tinggalkan dalam pikiran anak anak kita?

Agar ketika mereka teringat orangtua yang sudah tiada, meluncur doa penuh keridhoan.

Ridho atas ketentuan Allah yang telah mentakdirkan mereka menjadi anak anak kita.

Bukan airmata hati yang terluka. Yang masih berdarah saat mengingat 'kekejaman' orangtua. Nauzubillah.

Jangan terlalu yakin bahwa anak anak akan senang mengingat kita. Jika kita tidak punya banyak momen indah bersama mereka...
***
"Saya kesal sekali Abah,tiap kali anak saya pulang dengan baju penuh lumpur sehabis main bola. Akhirnya daripada capek marah marah, saya larang dia main bola. Anak saya sedih, tapi buat saya masalah selesai. Setelah ikut seminar Abah saya baru sadar. Kenapa saya begitu kejam merebut kebahagiaan anak saya, hanya karena gak mau repot mencuci baju kotornya? Padahal baju kotor bisa bersih dengan deterjen, tapi hati yang luka gimana cara bersihinnya?"

Sepenggal kisah yang dituturkan Abah Ihsan di PSPA itu ikut menyentak hati saya. Betapa sering sebagai orangtua kita tidak mau repot, MALAS, dengan resiko bermain sehingga melarang anak ini dan itu. Gak boleh main pasir, tanah, cat, air, hujan...padahal harga deterjen gak semahal tarif listrik #eaa.
Waktu yang dihabiskan buat nyuci atau beberes bekas main yakin gak seberapa dengan kebahagiaan anak karena bisa main.
Bahkan otak mereka jadi berkembang dengan bermain. Belajar problem solving, berimajinasi, bersosialisasi, berpikir kritis, merencanakan...dan banyak lagi manfaat main yang kalau dibahas bisa jadi seminar seharga (beberapa) laptop! nah lho...

Maka pulang dari PSPA saya bertekad membiarkan anak bermain lebih banyak. Membebaskan anak melakukan apapun selama tidak masuk kategori MEMBAHAYAKAN DIRI & ORANG LAIN, serta MELANGGAR NORMA AGAMA & KESOPANAN.
Lompat lompat di kasur, manjat, main hujan, main bedak, main air, ngacak ngacak lemari baju...sok sok silakan. Asal dibereskan kembali begitu pesan saya. Tidak selalu mudah memang membuat mereka beberes seperti semula. Tapi sudah mau membereskan tanpa saya tarik urat saja sudah Alhamdulillah.

Saya juga berniat untuk terlibat lebih banyak dalam permainan mereka. Jadi monster monsteran, odong odong, bahkan jadi anak pas mereka main peran jadi ibu.
Harus disempatkan meskipun cucian piring dan lantai sudah duduk manis menanti kita. Ah, kalau terus mengutamakan mereka, anak anak kita gimana? Piring sama lantai gak bisa doain setelah kita meninggal.

Saya ingin kenangan masa kecil anak anak saya penuh kebahagiaan. Agar ketika saya tiada, hanya cinta yang melekat dalam kenangan mereka. Duh, kalo nulis begini jadi sadar, rasa rasanya masih jauuuh sekali usaha saya untuk membahagiakan mereka..

Sungguh tidak banyak yang bisa kita ingat dari seluruh perjalanan hidup kita bukan? Perjalanan itu sendiri terlalu singkat bahkan. Begitu pula ingatan dan perjalanan anak anak kita. Akankah kita penuhi perjalanan singkat ini dengan episode duka? Atau memilih berubah memenuhinya dengan episode bahagia?

Bukan memanjakannya serba boleh tanpa batasan. Bukan membayar rasa bersalah dengan memberikan kebebasan yang kebablasan.
Hanya membiarkan anak bermain lebih banyak. (Bukan gadget ya mak, pak...gadget mah membahayakan).
Hanya terlibat lebih banyak dalam permainan mereka. Agar kenangan masa kecil mereka penuh kebahagiaan. Agar ketika kita tiada, hanya cinta yang melekat dalam kenangan indah berbalut doa..
Yuk main sama sama...

Salam semangat untuk para orangtua pembelajar,
Yunda Fitrian

No comments:

Post a Comment