Mungkin karena terprovokasi isu pernikahan, juga karena tahap perkembangan usia yg memasuki masa mempersiapkan pernikahan. Karena sudah memegang prinsip tidak pacaran, maka saat ada yg pdekate pilihannya cuma 2: berproses serius dg cara yg syar'i a.k.a taarufan, atau menyudahi virus2 hati dg menutup jalur komunikasi.
Stlh seseorang itu menyatakan serius, saya yg waktu itu masih unyu2 pun lapor ke guru ngaji. Guru ngaji saya tampak agak binun krn beliau pun belum menikah. Tetapi krn beliau amanah, di follow up lah kabar tsb. Tukar cv pun terlaksana.
Saya pun mulai intens istikharah dan cari ilmu ttg pernikahan. Pas banget ada seminar pranikah. Klo ga salah di yarsi. Pembicaranya M Fauzil Adhim n Bu Kingkin Annida.
Saya bela-belain dtg pagi2 di hari ahad itu, sendirian. Ceritanya misi rahasia gituu.
Rupanya memang tak ada kebetulan di sisi Allah. Seminar hari itu benar2 mencerahkan saya. Bahasan dr para pembicara benar jleb2 di hati. Membuat saya yg tadinya semangat 45 mau nikah dini mulai sadar dan bertanya: saya butuh atau sekedar ingin menikah? Saya siap dg segala konsekuensi atau hanya melihat satu sisi? Apa saya yakin orang ini yang paling tepat untuk menghabiskan sisa hidup? Saya bisa menanggung resiko hidup berumah tangga?
Dan tiba tiba saja semangat saya lenyap. Berganti kekhawatiran ini itu yg membuat keputusan nikah di semester 5 adalah pilihan yg gelap.
Saya pun melanjutkan istikharah sambil menunggu kabar dr guru ngaji. Semakin hari bayangan nikah makin gelap. Saya merasa belum siap, masih ada rentetan prioritas yg hrs saya selesaikan...
Meski demikian, saya merasa tidak pede utk menolak. Saya takut menyakiti. Saya khawatir salah kalau menolak pria baik2. Maka saya brdoa agar Allah membukakan jalan.
Dua pekan setelah bertukar cv, saya berbincang berdua saja dg guru ngaji. Dengan penuh kasih sayang dan kehati hatian (mba saya yg satu ini lembuut n ngemong sekali) beliau menyampaikan kabar dr guru ngaji si ikhwan. Dan jawabannya adalah.............
Stlh istikharah si ikhwan blm bs melanjutkan proses.
Perasaan saya saat itu campur aduk. Lega krn saya tidak perlu menolak (Krn artinya saya DITOLAK), sekaligus galau krn berarti pintu fitnah masih terbuka. Masih akan ada peluang terinfeksi virus merah jambu dan gangguan hati lainnya.
Hari itu saya pulang dg berbagai lintasan perasaan dan pemikiran. Namun semua bermuara pada sekelumit keyakinan:
Bahwa Allah Mahatahu yg terbaik untuk hambaNya. Memaksakan kehendak hny krn takut menolak atau tergesa gesa khawatir melewatkan 1 kesempatan utk menikah tidak akan mendatangkan manfaat. Saya sungguh beruntung krn Allah memberi jawaban istikharah yg tepat saat itu ( dan alhamdulillah hingga saat ini sy tak prnh kecewa mengikuti kemantapan hati stlh istikharah).
Bahwa Allah sesuai persangkaan hambaNya. Jika kita yakin Allah akan mendatangkan jodoh terbaik di waktu yg tepat, insyaallah itulah yg akan terjadi. Namun kedatangannya itu butuh ikhtiar, bahkan jihad. Karena sejatinya menikah adalah jihad. Untuk memelihara kesucian diri serta membangun madrasah peradaban.
Begitulah. Setelah itu saya gagal fokus ke masalah jodoh. Baru di semester 8 berdatanganlah 8 tawarn nikah (heuheu mumet juga waktu itu). Dan ternyata jodoh saya di nomor 9. Tawaran dr kakak kelas yg telah 7 tahun beririsan lingkungan dg saya. Tawaran yg dr sekian bnyk tawaran lainnya, tidak bisa saya tolak. Tawaran yg saya yakini adalah pilihan jihad untuk saya, dan samasekali bukan pilihan yg mudah, hingga saat ini. Alhamdulillah saya merasa inilah yg terbaik untuk saya...
So, dear readers, be faithful to Allah..He will never let us down :)
No comments:
Post a Comment