Monday, 12 February 2018

A HOME TEAM Resume Part 2


Bismillahirrahmanirrahim, baiklah..setelah semua princess tertidur saatnya emak tetep terbangun dan melanjutkan hidupnya :D

Pertanyaan kedua dari Mbak Merry, seperti apa sih tahapan berbagi peran itu? Pak Dodik dan Bu Septi menjawab, setelah melewati tahapan fokus kekuatan, buat dulu list peran masing-masing. Termasuk dengan anak-anak, jika mereka sudah cukup bisa diajak berkomunikasi.

Selanjutnya buat kesepakatan bagaimana membagi peran tersebut. Kemudian bergantian saling memback-up ketika dibutuhkan. Jadi tidak ada jalan masing-masing.

Dalam urusan domestik, misalnya. Tidak harus selalu istri yang mengerjakan. Manakala istri sedang fokus mengerjakan pekerjaan yang lebih prioritas, suami bisa memback-up. Bu Septi bercerita bahwa Pak Dodik itu lebih jago masak dan lebih teliti dari beliau. Pak Dodik pula yang bisa menjahit sementara Bu Septi tidak.

Kebetulan, di awal seminar Bu Septi sempat bertanya pada dua orang bapak yang hadir tanpa istri, mengapa mereka hadir sendirian. Bapak yang pertama menjawab berbagi peran dengan istrinya yang harus menjaga anak-anak, sementara Bapak yang kedua menggantikan istrinya yang sakit. Bu Septi pun mengaitkan jawaban dari pertanyaan tadi dengan dua bapak ini serta mengajak audiens mengapresiasi mereka.

Jujur, tiap kali ada bapak-bapak yang mau berbagi peran dengan istri, mau ikut seminar parenting, hati saya terasa sejuk seperti makan permen ment*s. Karena sependek yang saya tahu, tiap kali hadir kajian atau forum seminar apapun, curhatan mayoritas para ibu adalah tidak terlibatnya para bapak dalam urusan pengasuhan maupun kerja domestik. Jadi mari kita kasih 1000 jempol buat para bapak yang mau kembali pada fitrahnya sebagai pemimpin pengayom keluarga. Hidup Bapak Keluarga!!! (kepal tangan ke udara).

Pak Dodik mengatakan, jika peran istri adalah manajer keluarga, maka peran suami adalah sebagai pemimpin sekaligus pendukung penuh peran istrinya. Termasuk menyiapkan ‘ujian’ agar istri makin mahir dan bisa naik kelas.

Pak Dodik menceritakan ketika Bu Septi mulai merintis praktek menjadi ibu rumah tangga professional, Pak Dodik menguji istrinya dengan membuatkan kartu nama Bu Septi. Pada kartu nama itu tertulis status Bu Septi sebagai Ibu Rumah Tangga Profesional. Lalu Bu Septi dan Pak Dodik secara rutin menyebarkan kartu nama tersebut tiap kali bertemu orang dalam forum seminar.


Respon tiap orang yang hadir semuanya sama: bingung lalu bertanya, apa maksudnya IRT Profesional? Nah, tiap kali ada yang bertanya Pak Dodik tinggal njorogin Bu Septi biar menjelaskan. Awalnya Bu Septi tergagap-gagap, tapi setelah sekian banyak yang bertanya Bu Septi lancar menjelaskan. 

Supaya Bu Septi naik kelas, maka Pak Dodik pun menaikkan level ujiannya.   Beliau mengajak Bu Septi berkenalan dengan dosen UI dan mantan rektor ITB, agar Bu Septi mampu presentasi lebih kece lagi. 

Dengan berkelakar Pak Dodik berkata, “Jadi saya gak usah ngapa-ngapain. Cukup mendukung dari belakang terus jorogin Bu Septi,” disambut tawa dari kami semua.

Bagi saya ini so sweet banget. Tidak banyak suami yang peduli dengan potensi istrinya, sampai mau repot ikut terlibat seperti yang Pak Dodik lakukan. Alhamdulillah, suami saya termasuk yang mau repot dengan pencapaian (dan kebahagiaan) saya.

Bagaimana suami mendukung saya secara moral, material, dan spiritual sungguh mengingatkan saya pada ucapan Rasulullah. Ketika Beliau SAW mengatakan jika manusia boleh bersujud pada manusia, maka aku akan menyuruh seorang istri bersujud pada suaminya. Menurut saya, Abang Edwin pantas menjadi tempat sungkem takzim saya atas semua kebaikannya…hiks, jadi terhaaruuu. Semoga dia gak baca bagian ini, entar kege-eran, wkwkwk.

Jadi pelan-pelan, tergambar sudah mengapa Bu Septi menyebut Pak Dodik punya kapasitas sebagai imam.

Pertanyaan ketiga, yang terakhir saya catat lengkap, adalah dari Mbak Sari, teman sekelas matrikulasi dan bunsay saya. Beliau bertanya singkat dan padat, saya kira sangat mewakili kesulitan para istri dalam membangun komunikasi dengan suami. Pertanyaannya adalah bagaimana sih caranya ngobrol?
Pak Dodik menjawab dengan menggambar di flipchart. 

Beliau menggambar dua lingkaran bertuliskan INTEREST, kemudian menjelaskan. Jika diibaratkan lingkaran tersebut, tiap manusia punya interest atau ketertarikan yang berbeda-beda. Jika dua manusia tidak memiliki irisan interest, maka mereka hampir dapat dipastikan tidak akan bisa asyik mengobrol. Jadi untuk membuka dan membangun obrolan, suami istri harus punya irisan interest yang sama.

Sepasang suami istri yang sudah memiliki anak, semestinya punya irisan interest ketika membicarakan ANAK. Pak Dodik kembali guyon, “Gimana bisa gak interest kalo ngomongin anak, wong karya berdua kok, gak ada interestnya?!” Nah, menurut Pak Dodik, kalau sampai suami istri tidak interest saat ngobrol tentang anak bisa jadi karena saat ngborol itu mereka hanya ingin berbagai BEBAN, bukan berbagi KEBAHAGIAAN.

Ngobrol akan menggembirakan manakala yang dibicarakan mendatangkan kebahagiaan bersama. Maka ketika ngobrol, perbanyaklah apresiasi dan cerita sukses. Bukan evaluasi dan beban pikiran. Balik lagi contohnya seperti sesi mastermind yang sudah dibahas di resume 1 yaa.

Perkara ngobrol ini bikin saya merenung. Saya termasuk yang jaraaang dan susaaah ngobrol kalau gak dengan orang-orang yang sudah dekat atau setipe dengan saya. Makanya kadang sebagian orang mungkin merasa saya cuek atau dingin banget. Padahal mah cuma bingung mau ngomong apa, gak pinter basa-basi. Jadi ya kuncinya kalau saya mau lebih bisa luwes ngobrol (suami saya banget itu), saya harus pintar-pintar menemukan irisan interest dengan lawan bicara. Noted!

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya sudah saya catat seadanya, jadi mohon maaf jika kurang detail. Silakan koreksi atau menambahkan jika teman teman yang membaca ikut hadir dan masih ingat detail informasinya.

Setelah Mbak Sari, ada seorang bapak yang bertanya bagaimana jika beda konsep parenting dengan istri? Dalam hal ini ia mencontohkan kasus ketika anak minta izin main hujan-hujanan. Sebagai ayah ia berpikir biarkan saja anak main hujan, kalau sakit ia akan belajar dari pengalaman tersebut. Sementara istrinya sebagai ibu khawatir dan melarang.

Pertanyaan sejenis juga datang dari seorang bapak yang menceritakan pengalamannya disebut jahat oleh anak karena tidak mau membelikan mainan. Sementara ketika pulang kerja, justru istrinya membelikan mainan.

Pak Dodik menjelaskan, tiap orang punya Frame of Experience (sudut pandang berdasarkan pengalaman) dan Frame of Reference (sudut pandang berdasarkan nilai-nilai kelompok yang menjadi acuan) yang berbeda-beda. Begitu pula suami istri. 

Maka SELARASKAN perbedaan ini dengan KOMUNIKASI. Intensifkan komunikasi agar lama-kelamaan bisa selaras.  Tentunya komunikasi produktif yaa (ada bahasan khusus komunikasi produktif kalau kita ikut kelas Bunda Sayang IIP).

Suami istri tidak boleh bertengkar atau terlihat beda prinsip di depan anak. Meskipun tidak setuju, kalau masih di depan anak, diam saja dulu. Nanti dalam kamar baru dibicarakan baik-baik. Dengan gaya lucu Pak Dodik mencontohkan suami istri yang bertengkar di kamar tapi begitu keluar menemui anak-anak, kembali berwajah manis dan kompak :D

Saya setuju banget. Sudah cukup sering lihat anak-anak yang kesulitan berperilaku baik karena ketidakkompakan orangtua. Gak perlu diperpanjang, nanti saya bikin buku parenting lagi, wkwkwk
.
Untuk kasus mainan tadi, sayang rasanya kalau saya gak cerita tentang guyon berbobot Pak Dodik. 
Jadi waktu menjawab pertanyaan si bapak tadi, Pak Dodik berkata, “Pak, nanti pulang ke rumah, bilang sama anak gak ada yang namanya Abi Jahat, adanya ABU JAHAL. Kalau Abi, baik. Abi ceritain ya tentang Abu Jahal,” para peserta pun kembali terkikik. Tapi menurut saya apa yang disampaikan Pak Dodik benar: membangun komunikasi pada anak melalui cerita.

Pertanyaan berikutnya, saya ingat dari Mbak Respati (Rere, teman sesama matrikulasi batch 4 kemarin). Di sini juga Pak Dodik bikin riuh lagi:
Pak Dodik:  “Mbak tau artinya Respati?”
Mbak Re: “Tau, Pak”
Pak Dodik: (mengangguk) “Saya gak tau soalnya”
Wkwkwk.

Mbak Rere bertanya, siapa orang yang menginspirasi Pak Dodik sehingga bisa berprinsip anak-anaknya harus dididik oleh ibunya sendiri. Pak Dodik tidak menjawab to the point dengan menyebut nama seseorang. 

Beliau hanya bercerita bahwa sejak dulu sering nyantri; berkunjung dan ikut tinggal pada para ulama atau orang orang baik. Dari berbagai pengalaman nyantri itu, Pak Dodik terinspirasi.

Maka tugas sepasang suami istri adalah berbagi inspirasi (eeaa kayak judul blog saya yaa). Agar selaras dan sejalan ketika berada di lapangan.

Pertanyaan selanjutnya, dari seorang bapak. Ia menceritakan hasil pengamatannya bahwa beberapa orang yang ia lihat memiliki anak sukses, memiliki latar belakang wirausaha. Dimana sang ayah memiliki banyak waktu untuk keluarga. 

Ia membandingkan pengalaman pribadinya yang pergi pagi pulang malam tiap hari, week end sudah terlalu lelah dan hanya ingin istirahat. Merasa kurang memiliki waktu untuk anak. Nah, si Bapak bertanya bagaimana pandangan Pak Dodik tentang hal ini.

Pak Dodik mengatakan, beliau termasuk orang yang tidak terlalu percaya quality time. Menurut beliau, durasi dan intensitas perjumpaan tetap penting, tetap dibutuhkan. Namun demikian, Pak Dodik tidak sepakat jika ada kesimpulan bahwa anak yang sukses pasti orangtuanya wirausaha karena punya banyak waktu luang dengan anak-anak. Ada saja pengusaha yang anaknya tidak sukses, begitu juga pegawai kantoran, ada yang anaknya sukses.

Kedua orangtua Pak Dodik dan Bu Septi semuanya pekerja. Ayah Pak Dodik dan Bu Septi sama-sama tentara. Ibunya Pak Dodik kepala sekolah, sementara ibunya Bu Septi pegawai Depag. “Kami berdua bisa dibilang sukses kayaknya ya?” Tanya Pak Dodik dengan cengiran lucu. Jadi benang merahnya menurut beliau bukan bekerja atau tidaknya orangtua, tapi seberapa baik interaksinya bersama anak.

Interaksi mensyaratkan KEHADIRAN, baik fisik maupun psikis. Maka jauhi gadget ketika bersama anak. Terlibatlah secara penuh ketika berinteraksi dengan anak. Hadirkan hati dan jiwa sepenuhnya. Pakailah gadget hanya untuk mendekatkan ketika berjauhan. Bukan sebaliknya, menjauhkan ketika berdekatan.

Ada sebuah pengalaman yang sangat berkesan bagi Pak Dodik. Pada saat beliau wisuda, seorang ibu dengan kain jarik dan konde cempol sederhana, dipanggil ke depan podium. Sang rektor mengatakan bahwa ibu ini seorang ibu yang hebat. Dengan keadaannya yang single parent, buruh tani, mengasuh 7 anak dan semuanya menjadi lulusan cumlaude di 3 universitas terbaik se-Indonesia. "Salah satunya adalah tempat kuliah saya, maaf ya..!"canda Pak Dodik.

Ibu ini ditanya, bagaimana ia membesarkan putra putrinya. Sang ibu bercerita bahwa sebagai buruh tani ia harus berangkat pagi-pagi buta dan baru pulang lepas maghrib. Saat pulang itulah, ia membangun kedekatan dengan putra putrinya. Ia datangi anak-anak yang masih bangun satu-persatu, lalu diajaknya ngobrol. Sementara yang sudah tidur, ia ajak ngobrol dalam keadaan tidur, lantas ia doakan dan usap kepalanya. Masya Allah, luar biasa bukan..


Pak Dodik kembali mengingatkan kami untuk terlibat bersama anak dengan cara merawat masa kanak-kanak, jangan terlalu cepat tua setelah menikah. Tampillah sebagai anak ketika membersamai anak bermain. Juga mencandai pasangan. Pak Dodik bercerita bagaimana ia mencandai Bu Septi. Suatu ketika Bu Septi sedang serius bekerja di depan laptop. Diam-diam Pak Dodik menyelinap dan mengigit jari kaki Bu Septi! ngakak banget saya denger cerita ini, wkwkwkwk.

“Bu Septi kaget kan, marah ngejar-ngejar saya akhirnya kejar-kejaran deh, jadi seru ketawa bareng,” tutur Pak Dodik sumringah. Saya melirik Bu Septi yang tampak menutupi tawanya dengan kedua telapak tangannya. Hihi, so sweet lagiiii kaaan.

Bu Septi menambahkan, ada 3 hal yang tidak akan ditolak anak: main, cerita (dongeng), dan hadiah. Main dengan anak harus totalitas, tidak disambi. Bu Septi menceritakan pengalamannya saat membesarkan 3 anak. Pukul 7-14 Bu Septi total bermain bersama anak. Pekerjaan rumah tidak ada yang disentuh dan hanya dibereskan di luar jam tersebut.

Bahkan jika ada tamu, Bu Septi akan meminta maaf dan akan ganti berkunjung di luar jam 14 setelah selesai dengan anak-anak. Fiuuuh mauu banget kayak gini. Saya sendiri baru berhasil meminimalisir kata ‘nanti’ ketika anak ngajak main. Walaupun kadang masih banyak nanti karena lagi nanggung nyuci piringlah, ngejemurlah…jadi pengen pasang iket kepala lagi buat manajemen waktu beberes rumah.

Pertanyaan berikutnya dari seorang ibu yang menceritakan betapa datar suaminya. Jika diajak ngobrol, jawabannya hanya ‘biasa aja’, ‘iya-iya’ aja. Walaupun suaminya ini termasuk suami yang care, mau berbagi peran, sering membersamai anak. Namun sang istri ingin suaminya lebih antusias. Pertanyaan serupa juga datang dari seorang ibu yang sampai curhat jam 3 pagi nyetir sendiri ke RS karena suaminya gak perhatian.

Pak Dodik mengawali jawabannya dengan bertanya, “Tapi masih mau sama yang ini kan Bu? Gak mau ditukar?” Lalu beliau mengapresiasi kedua suami tersebut, sebab sangat jarang suami yang mau berbagi peran turun tangan membantu pekerjaan domestik dan mengurus anak. Maka yang perlu dilakukan pertama adalah TERIMA.

Ada yang harus disyukuri dan diterima saja dari pasangan, ada yang perlu diusahakan untuk diubah. Ini sama persis sama yang sering saya tulis di fb, juga di buku YDJ.  Terkadang karena terlalu banyak menuntut, kita lupa pada kekuatan pasangan.


Pak Dodik mengatakan, ubahlah sudut pandang kita dalam mencintai pasangan dari take & give menjadi give & given. Artinya bukan memberi karena mengharap balasan atau menuntut keinginan. Melainkan meyakini apa yang kita berikan, itu yang akan kembali pada kita. Maka rasakan kasih sayang dengan apa yang kita berikan, bukan apa yang kita tuntut. Duuh ini nyees banget buat saya yang hobi nuntut suami, hiks #sungkemjilid2dehsamasuami ;(

Selanjutnya Pak Dodik yang bertanya pada sang ibu, biasanya apa yang dilakukan untuk suami ketika bangun pagi? Berbuatlah yang berbeda jika mengharapkan hasil yang berbeda. Berikan respon yang berbeda ketika suami memberikan stimulus, jika kita menginginkan perubahan pada suami. Sekali lagi mantranya sama, for things to changes, I MUST CHANGE.

Tambahan lagi, jadilah pengamat ulung. Pada situasi seperti apa suami lebih antusias atau perhatian? Perbanyak situasi seperti itu. Pak Dodik mengambil contoh missal suami terlihat berbinar binar dan bercerita antusias ketika mendapati semangka matang di kebunnya. Maka istri berikan respon yang luar biasa. Yakinkan suami bahwa istri sukaa dengan suami yang menunjukkan ekspresi antusias itu. Perbanyak situasi yang membuat suami antusias seperti momen tersebut.

Selain itu, tetaplah berusaha mendekatkan diri dengan pasangan sesuai mantra IIP: perbanyak main bareng, ngobrol bareng, beraktivitas bareng. Niscaya kebersamaan itu akan terasa lebih bermakna. 
Berikutnya seorang ibu menceritkan kegalauannya. Di satu sisi, ia ingin bersama anak sepenuhnya di rumah. Di sisi lain, secara ekonomi ia masih butuh bekerja untuk membantu keluarga. Jawaban Pak Dodik buat saya bijak sekali.

Beliau berkata, rezeki itu meskipun kita berada di kolong kasur kalau sudah tertulis untuk kita, akan datang. Sebaliknya, jika bukan buat kita, seperti apapun kencangnya kita berlari, tetap tidak akan dapat. Jadi tugas kita hanya menyiapkan rongga hati yang besar untuk lapang menerimanya. 

Selain itu, jangan pisahkan keberhasilan mendidik anak menjadi dua kubu: jika bekerja di luar rumah berarti tidak bisa mendidik anak. Jika bekerja di rumah saja pasti bisa mendidik anak. Tidak seperti itu, menurut Pak Dodik dan Bu Septi. Semua kembali pada niat dan usaha untuk meningkatkan kualitas diri orangtua.

Terakhir Pak Dodik menyarankan, ada baiknya ibu tersebut berdiskusi dengan suami dan anak-anak. Jika suami ridho, anak-anak minta juga ibunya di rumah saja, maka bismillah lakukan. Serahkan persoalan rezeki pada Allah. Kembali lagi, jika suami ridho, insyaAllah ada jalan untuk menemukan kebahagiaan.

Selanjutnya ada lagi yang bertanya tentang tahapan untuk mencapai A Home Team. Di sini saya sudah semakin tidak detail mencatat, jadi saya hanya sarikan yang tertulis saja yaa :D #hadeuh

Ketika ditanya tentang proses menjadi A Home Team, Bu Septi menjelaskan buatlah indikator kesuksesan sesuai keunikan keluarga masing-masing. Tidak perlu membandingkan diri dengan keluarga lain. Fokuslah pada kekuatan keluarga sendiri. 

Begitu pula pada anak, jangan pernah bandingkan dengan anak orang lain. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah keluarga atau anak kita hari ini dengan 2 tahun yang lalu, 5 tahun yang lalu, dan seterusnya. Adakah perkembangan atau kemajuan yang berarti?

Ini juga saya setuju banget. Karena kalau membandingkan yang ada terbebani dan pusyiiing. Coba gimana gak pusing kalo ngebandingin keluarga saya sama keluarga Bu Septi yang udah super. Yang ada mager karena jiper #hiah bahasa jadul keluar.

Ada lagi pertanyaan tentang proses homeschooling anak-anak Bu Septi dan Pak Dodik. Yang saya catat intinya, tugas ibu bukan mengajar, tapi belajar bersama. Jadi ibu pun bertumbuh dan bertambah pintar seiring anak-anak belajar. Jika ada yang tidak bisa ibu ajarkan, ibu tinggal memfasilitasi dengan mencarikan ahli agar anak magang bersama mereka.

Bu Septi dan Pak Dodik menganut children centered learning. Anak-anak yang memutuskan sendiri, mereka mau sekolah atau di rumah, pesantren atau tidak. Ketika anak memutuskan homeshooling, maka orang tua harus mengupgrade diri lebih ekstra, terutama ibu.

Bu Septi bercerita, ketika menjalankan HS, Pak Dodik menyuruhnya membaca buku setiap hari. Bagi Bu Septi ini adalah ujian terberatnya menjadi istri Pak Dodik. Sebab, buku adalah obat tidur Bu Septi. “Kayaknya dulu waktu kuliah gak seberat ini deh,” kelakar Bu Septi. Konon saking beratnya tugas ini, Bu Septi sampai menangis. 

Ketahanan membaca beliau hanya berkisar 3 halaman. Maka ketika mengetahui kemampuan membaca istrinya hanya segitu, Pak Dodik pun memecah tugas membaca buku menjadi perbab, lantas akhirnya per artikel. Sependek mungkin agar Bu Septi mampu menyelesaikannya. Di sini saya makin paham, kapasitas imam yang Bu Septi sebut di awal. Seorang imam, sepatutnya bisa mendidik makmum sesuai kemampuan sang makmum. Tidak memberatkan, tapi tetap membangun.

Pertanyaan berikutnya menurut saya berkaitan dengan innerchild (boleh banget cari tahu lebih banyak tentang inner child, di blog ini juga ada). Jadi, ada seorang bapak yang mengaku dididik dengan keras oleh ayahnya. 

Setelah menjadi ayah dan banyak belajar bersama istri, ia sadar tidak ingin mengulang pola asuh keras dari sang ayah. Namun terkadang, ketika sedang lelah atau ada masalah, ia kelepasan kasar pada anaknya.

Saya terharu ketika mendengar bapak tersebut mengatakan, beberapa kali setelah sampai di kantor ia menangis menyesali perlakuan buruk pada anaknya. Ya Allah, beruntungnya bapak ini sudah Engkau mudahkan agar sadar untuk berubah lebih baik bagi anak-anaknya.

Pak Dodik menjawab, tidak beda jauh ia dengan penanya tersebut. Sebab ayahnya Pak Dodik juga sangat keras. Seorang tentara yang sangat ditakuti di rumah. Kalau sekarang Pak Dodik bisa berbeda dari ayahnya,  itu karena proses belajar dan bertumbuh.  Saya tambah terharu deh denger ini. Betapa orang bisa berubah dan berdamai dengan masa lalu, selama mau terus belajar, serta mendekati pemilik dirinya, yaitu Allah, agar dibimbing diberi kekuatan.

Untuk memudahkan, Pak Dodik  berbagi resep ‘gigit lidah’. Maksudnya, ketika beliau sangat ingin marah, ia segera menggigit lidahnya. Pertama agar sadar dari emosi sesat yang menguasai diri, kedua agar tidak bisa bicara. Jangan sampai mengeluarkan kata-kata buruk bagi anak-anaknya. Sounds helpful, saya sendiri tertarik mencoba. 

Jika terlanjur menyakiti anak, orang tua wajib minta maaf. Meskipun begitu, Pak Dodik berpesan, luka anak tidak akan hilang dengan kata maaf. Hiks, jadi inget diri sendiri yang suka marahin anak-anak…

Catatan terakhir, menanggapi pertanyaan seorang bapak tentang tanggapan lingkungan jika ia berbagi peran domestik dengan istri. Seringkali ada perbedaan pandangan dari lingkungan terdekat, karena mereka masih tinggal dengan orangtua.

Pak Dodik berpesan, memang sebaiknya suami istri tinggal jauh dari orangtua. Tujuannya agar ‘wangi’. Maksudnya, ketika hanya bertemu sesekali, orangtua hanya melihat yang bagus bagusnya saja dari rumahtangga anaknya. Kalaupun kondisi memang harus tinggal bersama, maka terima dan tetaplah santun, sampaikan perbedaan dengan ahsan. Bagaimanapun, ridho orangtua adalah yang utama bagi anak-anaknya.

Alhamdulillah…catatan saya sudah habis :D jari pun sudah lumayan pegel. Saksikanlah ya Allah saya sudah menyampaikan. Semoga bermanfaat dan memberi pencerahan bagi teman-teman, terima kasih sudah membaca dan membagikan. Mari bergandeng tangan menggulirkan (hanya) kebaikan di era digital ini..dimana menggulirkan bola salju keburukan terkadang dilakukan begitu mudah, tanpa pikir panjang..

Salam takzim, Yunda Fitrian. 


2 comments:

  1. Alhamdulillah ada resumenya. Saya yang bertugas di KC pun dapat menyimak isi seminar :) Makasi Mba Yunda!

    ReplyDelete