Bismillahirrahmanirrahim,
baiklah..setelah semua princess tertidur saatnya emak tetep terbangun dan
melanjutkan hidupnya :D
Pertanyaan kedua
dari Mbak Merry, seperti apa sih tahapan berbagi peran itu? Pak Dodik dan Bu
Septi menjawab, setelah melewati tahapan fokus kekuatan, buat dulu list peran
masing-masing. Termasuk dengan anak-anak, jika mereka sudah cukup bisa diajak
berkomunikasi.
Selanjutnya
buat kesepakatan bagaimana membagi peran tersebut. Kemudian bergantian saling
memback-up ketika dibutuhkan. Jadi tidak ada jalan masing-masing.
Dalam urusan
domestik, misalnya. Tidak harus selalu istri yang mengerjakan. Manakala istri
sedang fokus mengerjakan pekerjaan yang lebih prioritas, suami bisa memback-up.
Bu Septi bercerita bahwa Pak Dodik itu lebih jago masak dan lebih teliti dari
beliau. Pak Dodik pula yang bisa menjahit sementara Bu Septi tidak.
Jujur, tiap
kali ada bapak-bapak yang mau berbagi peran dengan istri, mau ikut seminar
parenting, hati saya terasa sejuk seperti makan permen ment*s. Karena sependek
yang saya tahu, tiap kali hadir kajian atau forum seminar apapun, curhatan
mayoritas para ibu adalah tidak terlibatnya para bapak dalam urusan pengasuhan
maupun kerja domestik. Jadi mari kita kasih 1000 jempol buat para bapak yang
mau kembali pada fitrahnya sebagai pemimpin pengayom keluarga. Hidup Bapak
Keluarga!!! (kepal tangan ke udara).
Pak Dodik
mengatakan, jika peran istri adalah manajer keluarga, maka peran suami adalah
sebagai pemimpin sekaligus pendukung penuh peran istrinya. Termasuk menyiapkan ‘ujian’
agar istri makin mahir dan bisa naik kelas.
Pak Dodik
menceritakan ketika Bu Septi mulai merintis praktek menjadi ibu rumah tangga professional,
Pak Dodik menguji istrinya dengan membuatkan kartu nama Bu Septi. Pada kartu
nama itu tertulis status Bu Septi sebagai Ibu Rumah Tangga Profesional. Lalu Bu
Septi dan Pak Dodik secara rutin menyebarkan kartu nama tersebut tiap kali
bertemu orang dalam forum seminar.
Respon tiap
orang yang hadir semuanya sama: bingung lalu bertanya, apa maksudnya IRT
Profesional? Nah, tiap kali ada yang bertanya Pak Dodik tinggal njorogin Bu Septi biar menjelaskan. Awalnya
Bu Septi tergagap-gagap, tapi setelah sekian banyak yang bertanya Bu Septi lancar
menjelaskan.
Supaya Bu
Septi naik kelas, maka Pak Dodik pun menaikkan level ujiannya. Beliau mengajak
Bu Septi berkenalan dengan dosen UI dan mantan rektor ITB, agar Bu Septi mampu
presentasi lebih kece lagi.
Dengan berkelakar Pak Dodik berkata, “Jadi saya gak
usah ngapa-ngapain. Cukup mendukung dari belakang terus jorogin Bu Septi,”
disambut tawa dari kami semua.
Bagi saya
ini so sweet banget. Tidak banyak suami yang peduli dengan potensi istrinya,
sampai mau repot ikut terlibat seperti yang Pak Dodik lakukan. Alhamdulillah,
suami saya termasuk yang mau repot dengan pencapaian (dan kebahagiaan) saya.
Bagaimana suami
mendukung saya secara moral, material, dan spiritual sungguh mengingatkan saya
pada ucapan Rasulullah. Ketika Beliau SAW mengatakan jika manusia boleh
bersujud pada manusia, maka aku akan menyuruh seorang istri bersujud pada
suaminya. Menurut saya, Abang Edwin pantas menjadi tempat sungkem takzim saya
atas semua kebaikannya…hiks, jadi terhaaruuu. Semoga dia gak baca bagian ini,
entar kege-eran, wkwkwk.
Jadi pelan-pelan,
tergambar sudah mengapa Bu Septi menyebut Pak Dodik punya kapasitas sebagai
imam.
Pertanyaan ketiga,
yang terakhir saya catat lengkap, adalah dari Mbak Sari, teman sekelas
matrikulasi dan bunsay saya. Beliau bertanya singkat dan padat, saya kira
sangat mewakili kesulitan para istri dalam membangun komunikasi dengan suami. Pertanyaannya
adalah bagaimana sih caranya ngobrol?
Pak Dodik
menjawab dengan menggambar di flipchart.
Beliau menggambar dua lingkaran bertuliskan
INTEREST, kemudian menjelaskan. Jika diibaratkan lingkaran tersebut, tiap
manusia punya interest atau ketertarikan yang berbeda-beda. Jika dua manusia
tidak memiliki irisan interest, maka mereka hampir dapat dipastikan tidak akan
bisa asyik mengobrol. Jadi untuk membuka dan membangun obrolan, suami istri
harus punya irisan interest yang sama.
Sepasang suami
istri yang sudah memiliki anak, semestinya punya irisan interest ketika
membicarakan ANAK. Pak Dodik kembali guyon, “Gimana bisa gak interest kalo
ngomongin anak, wong karya berdua kok, gak ada interestnya?!” Nah, menurut Pak
Dodik, kalau sampai suami istri tidak interest saat ngobrol tentang anak bisa
jadi karena saat ngborol itu mereka hanya ingin berbagai BEBAN, bukan berbagi
KEBAHAGIAAN.
Ngobrol akan
menggembirakan manakala yang dibicarakan mendatangkan kebahagiaan bersama. Maka
ketika ngobrol, perbanyaklah apresiasi dan cerita sukses. Bukan evaluasi dan
beban pikiran. Balik lagi contohnya seperti sesi mastermind yang sudah dibahas
di resume 1 yaa.
Perkara ngobrol
ini bikin saya merenung. Saya termasuk yang jaraaang dan susaaah ngobrol kalau
gak dengan orang-orang yang sudah dekat atau setipe dengan saya. Makanya kadang
sebagian orang mungkin merasa saya cuek atau dingin banget. Padahal mah cuma bingung
mau ngomong apa, gak pinter basa-basi. Jadi ya kuncinya kalau saya mau lebih
bisa luwes ngobrol (suami saya banget itu), saya harus pintar-pintar menemukan
irisan interest dengan lawan bicara. Noted!
Pertanyaan-pertanyaan
berikutnya sudah saya catat seadanya, jadi mohon maaf jika kurang detail. Silakan
koreksi atau menambahkan jika teman teman yang membaca ikut hadir dan masih
ingat detail informasinya.
Setelah Mbak
Sari, ada seorang bapak yang bertanya bagaimana jika beda konsep parenting
dengan istri? Dalam hal ini ia mencontohkan kasus ketika anak minta izin main
hujan-hujanan. Sebagai ayah ia berpikir biarkan saja anak main hujan, kalau
sakit ia akan belajar dari pengalaman tersebut. Sementara istrinya sebagai ibu
khawatir dan melarang.
Pertanyaan sejenis
juga datang dari seorang bapak yang menceritakan pengalamannya disebut jahat
oleh anak karena tidak mau membelikan mainan. Sementara ketika pulang kerja,
justru istrinya membelikan mainan.
Pak Dodik
menjelaskan, tiap orang punya Frame of Experience (sudut pandang berdasarkan
pengalaman) dan Frame of Reference (sudut pandang berdasarkan nilai-nilai
kelompok yang menjadi acuan) yang berbeda-beda. Begitu pula suami istri.
Maka SELARASKAN
perbedaan ini dengan KOMUNIKASI. Intensifkan komunikasi agar lama-kelamaan bisa
selaras. Tentunya komunikasi produktif
yaa (ada bahasan khusus komunikasi produktif kalau kita ikut kelas Bunda Sayang
IIP).
Suami istri
tidak boleh bertengkar atau terlihat beda prinsip di depan anak. Meskipun tidak
setuju, kalau masih di depan anak, diam saja dulu. Nanti dalam kamar baru
dibicarakan baik-baik. Dengan gaya lucu Pak Dodik mencontohkan suami istri yang
bertengkar di kamar tapi begitu keluar menemui anak-anak, kembali berwajah
manis dan kompak :D
Saya setuju
banget. Sudah cukup sering lihat anak-anak yang kesulitan berperilaku baik
karena ketidakkompakan orangtua. Gak perlu diperpanjang, nanti saya bikin buku
parenting lagi, wkwkwk
.
Untuk kasus
mainan tadi, sayang rasanya kalau saya gak cerita tentang guyon berbobot Pak
Dodik.
Jadi waktu menjawab pertanyaan si bapak tadi, Pak Dodik berkata, “Pak,
nanti pulang ke rumah, bilang sama anak gak ada yang namanya Abi Jahat, adanya
ABU JAHAL. Kalau Abi, baik. Abi ceritain ya tentang Abu Jahal,” para peserta
pun kembali terkikik. Tapi menurut saya apa yang disampaikan Pak Dodik benar:
membangun komunikasi pada anak melalui cerita.
Pertanyaan berikutnya,
saya ingat dari Mbak Respati (Rere, teman sesama matrikulasi batch 4 kemarin). Di
sini juga Pak Dodik bikin riuh lagi:
Pak Dodik: “Mbak tau artinya Respati?”
Mbak Re: “Tau,
Pak”
Pak Dodik: (mengangguk)
“Saya gak tau soalnya”
Wkwkwk.
Mbak Rere bertanya, siapa orang yang
menginspirasi Pak Dodik sehingga bisa berprinsip anak-anaknya harus dididik
oleh ibunya sendiri. Pak Dodik tidak menjawab to the point dengan menyebut nama
seseorang.
Beliau hanya
bercerita bahwa sejak dulu sering nyantri; berkunjung dan ikut tinggal pada
para ulama atau orang orang baik. Dari berbagai pengalaman nyantri itu, Pak
Dodik terinspirasi.
Maka tugas
sepasang suami istri adalah berbagi inspirasi (eeaa kayak judul blog saya yaa).
Agar selaras dan sejalan ketika berada di lapangan.
Pertanyaan selanjutnya,
dari seorang bapak. Ia menceritakan hasil pengamatannya bahwa beberapa orang
yang ia lihat memiliki anak sukses, memiliki latar belakang wirausaha. Dimana sang
ayah memiliki banyak waktu untuk keluarga.
Ia membandingkan pengalaman
pribadinya yang pergi pagi pulang malam tiap hari, week end sudah terlalu lelah
dan hanya ingin istirahat. Merasa kurang memiliki waktu untuk anak. Nah, si
Bapak bertanya bagaimana pandangan Pak Dodik tentang hal ini.
Pak Dodik
mengatakan, beliau termasuk orang yang tidak terlalu percaya quality time. Menurut
beliau, durasi dan intensitas perjumpaan tetap penting, tetap dibutuhkan. Namun
demikian, Pak Dodik tidak sepakat jika ada kesimpulan bahwa anak yang sukses
pasti orangtuanya wirausaha karena punya banyak waktu luang dengan anak-anak. Ada
saja pengusaha yang anaknya tidak sukses, begitu juga pegawai kantoran, ada
yang anaknya sukses.
Kedua orangtua
Pak Dodik dan Bu Septi semuanya pekerja. Ayah Pak Dodik dan Bu Septi sama-sama
tentara. Ibunya Pak Dodik kepala sekolah, sementara ibunya Bu Septi pegawai
Depag. “Kami berdua bisa dibilang sukses kayaknya ya?” Tanya Pak Dodik dengan
cengiran lucu. Jadi benang merahnya menurut beliau bukan bekerja atau tidaknya
orangtua, tapi seberapa baik interaksinya bersama anak.
Interaksi mensyaratkan
KEHADIRAN, baik fisik maupun psikis. Maka jauhi gadget ketika bersama anak. Terlibatlah
secara penuh ketika berinteraksi dengan anak. Hadirkan hati dan jiwa
sepenuhnya. Pakailah gadget hanya untuk mendekatkan ketika berjauhan. Bukan sebaliknya,
menjauhkan ketika berdekatan.
Ada sebuah
pengalaman yang sangat berkesan bagi Pak Dodik. Pada saat beliau wisuda,
seorang ibu dengan kain jarik dan konde cempol sederhana, dipanggil ke depan
podium. Sang rektor mengatakan bahwa ibu ini seorang ibu yang hebat. Dengan keadaannya
yang single parent, buruh tani, mengasuh 7 anak dan semuanya menjadi lulusan
cumlaude di 3 universitas terbaik se-Indonesia. "Salah satunya adalah tempat kuliah saya, maaf ya..!"canda Pak Dodik.
Ibu ini
ditanya, bagaimana ia membesarkan putra putrinya. Sang ibu bercerita bahwa
sebagai buruh tani ia harus berangkat pagi-pagi buta dan baru pulang lepas
maghrib. Saat pulang itulah, ia membangun kedekatan dengan putra putrinya. Ia datangi
anak-anak yang masih bangun satu-persatu, lalu diajaknya ngobrol. Sementara yang
sudah tidur, ia ajak ngobrol dalam keadaan tidur, lantas ia doakan dan usap
kepalanya. Masya Allah, luar biasa bukan..
Pak Dodik
kembali mengingatkan kami untuk terlibat bersama anak dengan cara merawat masa
kanak-kanak, jangan terlalu cepat tua setelah menikah. Tampillah sebagai anak
ketika membersamai anak bermain. Juga mencandai pasangan. Pak Dodik bercerita bagaimana
ia mencandai Bu Septi. Suatu ketika Bu Septi sedang serius bekerja di depan
laptop. Diam-diam Pak Dodik menyelinap dan mengigit jari kaki Bu Septi! ngakak
banget saya denger cerita ini, wkwkwkwk.
“Bu Septi
kaget kan, marah ngejar-ngejar saya akhirnya kejar-kejaran deh, jadi seru
ketawa bareng,” tutur Pak Dodik sumringah. Saya melirik Bu Septi yang tampak
menutupi tawanya dengan kedua telapak tangannya. Hihi, so sweet lagiiii kaaan.
Bu Septi
menambahkan, ada 3 hal yang tidak akan ditolak anak: main, cerita (dongeng),
dan hadiah. Main dengan anak harus totalitas, tidak disambi. Bu Septi
menceritakan pengalamannya saat membesarkan 3 anak. Pukul 7-14 Bu Septi total
bermain bersama anak. Pekerjaan rumah tidak ada yang disentuh dan hanya
dibereskan di luar jam tersebut.
Bahkan jika
ada tamu, Bu Septi akan meminta maaf dan akan ganti berkunjung di luar jam 14
setelah selesai dengan anak-anak. Fiuuuh mauu banget kayak gini. Saya sendiri
baru berhasil meminimalisir kata ‘nanti’ ketika anak ngajak main. Walaupun
kadang masih banyak nanti karena lagi nanggung nyuci piringlah,
ngejemurlah…jadi pengen pasang iket kepala lagi buat manajemen waktu beberes
rumah.
Pertanyaan
berikutnya dari seorang ibu yang menceritakan betapa datar suaminya. Jika
diajak ngobrol, jawabannya hanya ‘biasa aja’, ‘iya-iya’ aja. Walaupun suaminya
ini termasuk suami yang care, mau berbagi peran, sering membersamai anak. Namun
sang istri ingin suaminya lebih antusias. Pertanyaan serupa juga datang dari
seorang ibu yang sampai curhat jam 3 pagi nyetir sendiri ke RS karena suaminya
gak perhatian.
Pak Dodik
mengawali jawabannya dengan bertanya, “Tapi masih mau sama yang ini kan Bu? Gak
mau ditukar?” Lalu beliau mengapresiasi kedua suami tersebut, sebab sangat
jarang suami yang mau berbagi peran turun tangan membantu pekerjaan domestik
dan mengurus anak. Maka yang perlu dilakukan pertama adalah TERIMA.
Ada yang
harus disyukuri dan diterima saja dari pasangan, ada yang perlu diusahakan
untuk diubah. Ini sama persis sama yang sering saya tulis di fb, juga di buku
YDJ. Terkadang karena terlalu banyak
menuntut, kita lupa pada kekuatan pasangan.
Pak Dodik
mengatakan, ubahlah sudut pandang kita dalam mencintai pasangan dari take &
give menjadi give & given. Artinya bukan memberi karena mengharap balasan
atau menuntut keinginan. Melainkan meyakini apa yang kita berikan, itu yang
akan kembali pada kita. Maka rasakan kasih sayang dengan apa yang kita berikan,
bukan apa yang kita tuntut. Duuh ini nyees banget buat saya yang hobi nuntut
suami, hiks #sungkemjilid2dehsamasuami ;(
Selanjutnya Pak Dodik yang bertanya pada sang ibu, biasanya apa yang dilakukan untuk suami ketika bangun pagi? Berbuatlah yang berbeda jika mengharapkan hasil yang berbeda. Berikan respon yang berbeda ketika suami memberikan stimulus, jika kita menginginkan perubahan pada suami. Sekali lagi mantranya sama, for things to changes, I MUST CHANGE.
Tambahan lagi, jadilah pengamat ulung. Pada situasi seperti apa suami lebih antusias atau perhatian? Perbanyak situasi seperti itu. Pak Dodik mengambil contoh missal suami terlihat berbinar binar dan bercerita antusias ketika mendapati semangka matang di kebunnya. Maka istri berikan respon yang luar biasa. Yakinkan suami bahwa istri sukaa dengan suami yang menunjukkan ekspresi antusias itu. Perbanyak situasi yang membuat suami antusias seperti momen tersebut.
Selain itu, tetaplah berusaha mendekatkan diri dengan pasangan sesuai mantra IIP: perbanyak main bareng, ngobrol bareng, beraktivitas bareng. Niscaya kebersamaan itu akan terasa lebih bermakna.
Berikutnya seorang ibu menceritkan kegalauannya. Di satu sisi, ia ingin bersama anak sepenuhnya di rumah. Di sisi lain, secara ekonomi ia masih butuh bekerja untuk membantu keluarga. Jawaban Pak Dodik buat saya bijak sekali.
Beliau berkata, rezeki itu meskipun kita berada di kolong kasur kalau sudah tertulis untuk kita, akan datang. Sebaliknya, jika bukan buat kita, seperti apapun kencangnya kita berlari, tetap tidak akan dapat. Jadi tugas kita hanya menyiapkan rongga hati yang besar untuk lapang menerimanya.
Selain itu, jangan pisahkan keberhasilan mendidik anak menjadi dua kubu: jika bekerja di luar rumah berarti tidak bisa mendidik anak. Jika bekerja di rumah saja pasti bisa mendidik anak. Tidak seperti itu, menurut Pak Dodik dan Bu Septi. Semua kembali pada niat dan usaha untuk meningkatkan kualitas diri orangtua.
Terakhir Pak Dodik menyarankan, ada baiknya ibu tersebut berdiskusi dengan suami dan anak-anak. Jika suami ridho, anak-anak minta juga ibunya di rumah saja, maka bismillah lakukan. Serahkan persoalan rezeki pada Allah. Kembali lagi, jika suami ridho, insyaAllah ada jalan untuk menemukan kebahagiaan.
Selanjutnya ada lagi yang bertanya tentang tahapan untuk mencapai A Home Team. Di sini saya sudah semakin tidak detail mencatat, jadi saya hanya sarikan yang tertulis saja yaa :D #hadeuh
Ketika ditanya tentang proses menjadi A Home Team, Bu Septi menjelaskan buatlah indikator kesuksesan sesuai keunikan keluarga masing-masing. Tidak perlu membandingkan diri dengan keluarga lain. Fokuslah pada kekuatan keluarga sendiri.
Begitu pula pada anak, jangan pernah bandingkan dengan anak orang lain. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah keluarga atau anak kita hari ini dengan 2 tahun yang lalu, 5 tahun yang lalu, dan seterusnya. Adakah perkembangan atau kemajuan yang berarti?
Ini juga saya setuju banget. Karena kalau membandingkan yang ada terbebani dan pusyiiing. Coba gimana gak pusing kalo ngebandingin keluarga saya sama keluarga Bu Septi yang udah super. Yang ada mager karena jiper #hiah bahasa jadul keluar.
Ada lagi pertanyaan tentang proses homeschooling anak-anak Bu Septi dan Pak Dodik. Yang saya catat intinya, tugas ibu bukan mengajar, tapi belajar bersama. Jadi ibu pun bertumbuh dan bertambah pintar seiring anak-anak belajar. Jika ada yang tidak bisa ibu ajarkan, ibu tinggal memfasilitasi dengan mencarikan ahli agar anak magang bersama mereka.
Bu Septi dan Pak Dodik menganut children centered learning. Anak-anak yang memutuskan sendiri, mereka mau sekolah atau di rumah, pesantren atau tidak. Ketika anak memutuskan homeshooling, maka orang tua harus mengupgrade diri lebih ekstra, terutama ibu.
Bu Septi bercerita, ketika menjalankan HS, Pak Dodik menyuruhnya membaca buku setiap hari. Bagi Bu Septi ini adalah ujian terberatnya menjadi istri Pak Dodik. Sebab, buku adalah obat tidur Bu Septi. “Kayaknya dulu waktu kuliah gak seberat ini deh,” kelakar Bu Septi. Konon saking beratnya tugas ini, Bu Septi sampai menangis.
Ketahanan membaca beliau hanya berkisar 3 halaman. Maka ketika mengetahui kemampuan membaca istrinya hanya segitu, Pak Dodik pun memecah tugas membaca buku menjadi perbab, lantas akhirnya per artikel. Sependek mungkin agar Bu Septi mampu menyelesaikannya. Di sini saya makin paham, kapasitas imam yang Bu Septi sebut di awal. Seorang imam, sepatutnya bisa mendidik makmum sesuai kemampuan sang makmum. Tidak memberatkan, tapi tetap membangun.
Pertanyaan berikutnya menurut saya berkaitan dengan innerchild (boleh banget cari tahu lebih banyak tentang inner child, di blog ini juga ada). Jadi, ada seorang bapak yang mengaku dididik dengan keras oleh ayahnya.
Setelah menjadi ayah dan banyak belajar bersama istri, ia sadar tidak ingin mengulang pola asuh keras dari sang ayah. Namun terkadang, ketika sedang lelah atau ada masalah, ia kelepasan kasar pada anaknya.
Saya terharu ketika mendengar bapak tersebut mengatakan, beberapa kali setelah sampai di kantor ia menangis menyesali perlakuan buruk pada anaknya. Ya Allah, beruntungnya bapak ini sudah Engkau mudahkan agar sadar untuk berubah lebih baik bagi anak-anaknya.
Pak Dodik menjawab, tidak beda jauh ia dengan penanya tersebut. Sebab ayahnya Pak Dodik juga sangat keras. Seorang tentara yang sangat ditakuti di rumah. Kalau sekarang Pak Dodik bisa berbeda dari ayahnya, itu karena proses belajar dan bertumbuh. Saya tambah terharu deh denger ini. Betapa orang bisa berubah dan berdamai dengan masa lalu, selama mau terus belajar, serta mendekati pemilik dirinya, yaitu Allah, agar dibimbing diberi kekuatan.
Untuk memudahkan, Pak Dodik berbagi resep ‘gigit lidah’. Maksudnya, ketika beliau sangat ingin marah, ia segera menggigit lidahnya. Pertama agar sadar dari emosi sesat yang menguasai diri, kedua agar tidak bisa bicara. Jangan sampai mengeluarkan kata-kata buruk bagi anak-anaknya. Sounds helpful, saya sendiri tertarik mencoba.
Jika terlanjur menyakiti anak, orang tua wajib minta maaf. Meskipun begitu, Pak Dodik berpesan, luka anak tidak akan hilang dengan kata maaf. Hiks, jadi inget diri sendiri yang suka marahin anak-anak…
Catatan terakhir, menanggapi pertanyaan seorang bapak tentang tanggapan lingkungan jika ia berbagi peran domestik dengan istri. Seringkali ada perbedaan pandangan dari lingkungan terdekat, karena mereka masih tinggal dengan orangtua.
Pak Dodik berpesan, memang sebaiknya suami istri tinggal jauh dari orangtua. Tujuannya agar ‘wangi’. Maksudnya, ketika hanya bertemu sesekali, orangtua hanya melihat yang bagus bagusnya saja dari rumahtangga anaknya. Kalaupun kondisi memang harus tinggal bersama, maka terima dan tetaplah santun, sampaikan perbedaan dengan ahsan. Bagaimanapun, ridho orangtua adalah yang utama bagi anak-anaknya.
Alhamdulillah…catatan saya sudah habis :D jari pun sudah lumayan pegel. Saksikanlah ya Allah saya sudah menyampaikan. Semoga bermanfaat dan memberi pencerahan bagi teman-teman, terima kasih sudah membaca dan membagikan. Mari bergandeng tangan menggulirkan (hanya) kebaikan di era digital ini..dimana menggulirkan bola salju keburukan terkadang dilakukan begitu mudah, tanpa pikir panjang..
Salam takzim, Yunda Fitrian.
Alhamdulillah ada resumenya. Saya yang bertugas di KC pun dapat menyimak isi seminar :) Makasi Mba Yunda!
ReplyDeletesama sama mba Nika :D
ReplyDelete