Saya memperhatikan raut muka lelaki yang baru saja berstatus sebagai suami saya beberapa hari lalu. Ia sedang mencicipi masakan saya.
Masakan yang untuk membuatnya saya harus memeras otak karena tak kunjung terasa enak di lidah. Gimana mau enak lah saya cuma tau bikin bumbu itu bawang merah 3 tambah bawang putih 2, tambah gula garam karena anti mecin.
Alhasil kagak ada rasa. Mau ngeles bilang masaknya pakai cinta pun kok ya gak tega karena rasa masakan saya itu benar-benar horor. Ga rela rasanya cinta disandingkan sama rasa seburuk itu.
Tadinya saya mau segera beli masakan warteg, eh suami saya keburu pulang. Jadilah mau tak mau saya suguhkan hidangan itu.
Wajah pemuda 22 tahun itu tampak bagai menyantap hidangan berduri. Tanpa harus mendengar sepatah kata pun, saya tahu ia enggan meneruskan santapannya.
“Gak enak ya Kak?” tanya saya dengan tampang seperti anak SMA yang baru saja tahu bahwa dirinya tidak diterima di SBMPTN ((efek jadi istri pengusaha bimbel)).
Suami saya hanya tersenyum, menjawab hati-hati, “Hmm…kurang aja bumbunya. Sebetulnya malam ini aku mau ajak kamu ke tempat nasgor favorit aku, gimana, mau kan?”. Jawaban yang langsung berisi solusi, tanpa kritik panjang lebar.
Saya lemas, tapi bersyukur karena setidaknya kami akan makan makanan enak setelah ini. SELAMAT dari hidangan mengerikan tadi, hahaha…
Begitulah, skala 0 sampai 10, tahun 2009 saat nikah kemampuan saya memasak ada di titik nol. Minus malah. Akhirnya saya lebih sering beli lauk matang. Sesekali masih masak, tapi yaa begitulah. Belum ada kemajuan berarti. Dan hampir saja saya mengibarkan bendera putih selama-lamanya untuk urusan masak.
Bagaimanapun, rumah tangga yang sehat itu yang isinya suami istri pembelajar. Saya nulis gini bukan karena suami saya pengusaha bimbingan belajar lho yaa..Cuma sedang bercermin dari 9 tahun pernikahan kami :D
Hidup bersama dengan orang yang tak pernah belajar, tak ada perubahan ke arah yang lebih baik, terkadang lebih sulit dari hidup sendirian. Sebab kemalasan, keburukan yang menyertai orang yang tak pernah belajar, sangat bisa menular.
Kalau tidak menularkan virus kemalasan dan keburukan, minimal bikin geregetan karena kzl lihat dirinya yang tak kunjung berubah. Kalau gak bikin kzl, minimal ada rasa bosan karena hidup stagnan. Begitu begitu ajaa..
Ibarat ujian sekolah yang perlu persiapan belajar untuk melewati kenaikan kelas, begitu pula pernikahan. *Ada ujian untuk menjaga kualitas kebersamaan dua insan di dalamnya, yang akan terlewati dengan baik jika suami istri mau terus belajar. *
Dalam hal masak memasak, saya harus jujur berkata I AM A (VERY) SLOW LEARNER.
Setelah pernikahan menginjak usia 7 tahun saya baru bisa lihat suami dan anak berbinar makan masakan saya. Mungkin mereka takjub-takjub ga percaya barusan itu masakan emaknya. Kan biasanya gak enak :D
Alhamdulillah, di tahun ke-8 baru ketemu episode suami dan anak mau nambah makan masakan saya. Habis tak bersisa. Mendengar komentar, “Mantap, maknyuss, sedap”, dst di tahun ke-9 ini sudah biasa.
Yah sebetulnya sih masih terselip keraguan..ini emang masakannya udah enak, apa lidah mereka yang khilaf, terlanjur terbiasa dengan masakan gak enak saya..wkwkwk.
Begitulah. Melalui tulisan ini saya cuma mau pamer bahwa saya udah bisa masak, eh mau berbagi tentang perlunya suami istri terus belajar.
Kalau belajar masak saja bisa bikin suasana rumah tangga lebih bahagia, apalagi belajar hal lain yang lebih *esensial* dalam pernikahan.*Belajar berdamai dengan diri sendiri, belajar mengelola emosi, belajar ngobrol yang enak, belajar jadi pendengar yang baik, belajar jadi orangtua yang menyenangkan*…dan banyak lagi.
Belajar dimulai dari diri sendiri. Bukan menuntut orang lain untuk belajar tapi lupa memperbaiki diri sendiri.
Tanda bahwa kita benar-benar belajar adalah perubahan diri. Dari tidak bisa menjadi bisa, tidak tahu menjadi tahu, tidak sadar menjadi sadar, tidak sabar menjadi sabar, dan terpenting tidak bijak menjadi bijak.
Semua itu butuh waktu. Terkadang juga butuh perjuangan materi maupun energi. Tapi bagi jiwa yang sudah membulatkan tekad, tak akan ada penghalang berarti. Sebab belajar sesungguhnya bisa dilakukan dimana dan kapan saja. Dari semua yang kita lihat, dengar, rasakan, kita bisa belajar. Tergantung bagaimana kita memandang.
Belajar yang sejati itu membuat dada semakin lapang. Bukan membuat hati makin sempit karena semakin banyak melihat kekurangan orang. Makin banyak mengkritik. Makin banyak menuntut dan memaksakan kehendak. Makin ingin menjadi yang paling didengarkan, makin bangga diri sampai merendahkan orang lain..
Jika semua itu yang kita rasakan setelah belajar, maka bisa jadi ilmu yang kita pelajari tidak barokah. Sebab ilmu yang barokah itu yang bermanfaat. Bermanfaat membuat hati makin jernih, ucapan makin santun, tindakan lebih hati-hati, ringan berbagi hikmah, dan pikiran lebih bijak memandang.
Kalau ada orang yang mengeluh sudah banyak belajar tapi pasangan gak mau ikut belajar, pasangan gak berubah, berarti ada bab lain yang masih perlu terus dipelajari. Bab sabar dan syukur. Bab ikhlas dan ridho. Itulah bab pelajaran yang tak pernah selesai diujikan di dunia.
Mudah menuliskannya, sulit melakukannya. Saya sendiri pun masih sangat jauh dari memahami bab-bab tersebut.
Tiap orang punya ujian yang bentuknya berbeda, Allah sesuaikan dengan kemampuannya. Selama manusia berbaik sangka padaNya, selama itu pula Allah akan hadirkan kebaikan pada hati manusia.
Kebaikan dalam melihat masalah menjadi tantangan. Kebaikan menghadirkan ujian sebagai kesempatan naik kelas. Kebaikan untuk mengubah luka menjadi ladang pahala. Kebaikan menemukan hikmah setelah perang batin yang berdarah-darah. Sungguh tak mudah, karena semua itu adalah pintu menuju surga.
Kewajiban kita sebagai hamba hanya belajar dan belajar. Sepanjang hayat masih di kandung badan, selama itu pula kewajiban belajar masih melekat. Urusan hasilnya, biar Allah saja yang menilai.
Allah saja yang Maha Tahu tiap kisah pilu hamba-hambaNya. Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan pedihnya belajar, sakitnya sang hamba menahan lelah berjuang di dunia fana.
Selamat belajar, teman-teman tersayang J
*catatan ulangtahun pernikahan ke-9 Yunda Fitrian dan Edwin Nofsan Naufal
*keluargapembelajar
No comments:
Post a Comment