Thursday, 18 January 2018

Belajar Jeda-status Facebook Yunda Fitrian

Belajar Jeda

Pagi itu saya menjejak kantor dengan hati kosong. Tidak ada semangat mengalir seperti biasanya. Punggung saya terasa berat bagai membawa sekarung penuh batu bata.

Adu argumen dengan suami semalam menyisakan sesak di hati. Masalah belum selesai karena saya terlanjur terbawa emosi tingkat tinggi. Kata kata tajam disertai deras airmata saya membuat suami hanya diam seribu bahasa. Kami tidak bertegur sapa sama sekali hingga pagi.

Saat sedang melipir di sudut kantor untuk menenangkan hati, ponsel saya bergetar tanda pesan singkat diterima.

Ternyata pesan itu dari suami saya. Ia curhat betapa sedih dan bingung menghadapi saya. Tidak tahu lagi harus apa sebab usaha dan niat baiknya malah disalahpahami oleh saya.

Seketika saya ingin segera pulang dan menyelesaikan perselisihan kami yang meruncing. Sungguh tidak enak bertengkar dengan orang yang kita cinta. Apalagi sampai membawa masalah ke tempat kerja. Maklum, waktu itu saya belum baca buku Yakin Dia Jodohmu? Jadi belum tau gimana mengelola konflik dalam rumahtangga #eeeaaa.

Pertengkaran (ter)besar itu terjadi di tahun kedua pernikahan kami. Alhamdulillah sampai saat ini tidak pernah ada letupan sebesar itu lagi. Kalau ngambek ngambek kzl atau manyun manyun sayang mah masih rajin #apadeh.

Selebihnya, kami berusaha semanis mungkin menyelesaikan konflik. Tidak berlarut dibawa saat masing masing kami terpisah aktivitas di luar rumah. Tidak diumbar di sembarang ember, eh tempat...

Ketika episode konflik datang, kami akan membahasnya segera setelah sama sama tenang dan bertatap muka di rumah. Tidak ada cerita berantem via WA. Ngabis ngabisin kuota #fakirdata.

Yang satu ini alasannya sederhana, yang namanya bahasa tulisan, terlalu multitafsir. Kata 'terserah' aja bisa beda nyampenya ke yang baca. Kalau dibaca orang yang lagi santai, nadanya bisa adem. Tafsirannya oh terserah, berarti si pengirim pesan ridho sama pilihan pembaca pesan.

Lah kalau yang baca pesan lagi rusuh hati karena abis dimarahi atasan, tafsiran kata terserah itu jadi BODOAMAT SUKA SUKA LU AJA!!! Nah...berabe kaan.
Maka konflik membutuhkan keterampilan agar terkelola apik menjadi bumbu penyedap rumahtangga. Bukan justru menjadi penyebab kandasnya pernikahan.

Bahkan konflik sejatinya adalah sarana mendewasakan diri. Suami istri semakin matang dan membijaksana manakala konflik dikelola dengan baik.

Ada banyak keterampilan yang terasah jika konflik dijadikan sarana belajar. Ada keterampilan berkomunikasi efektif, manajemen emosi, positive thinking, problem solving, dan kawan kawannya. Berita baik lainnya, konflik yang terselesaikan dengan baik akan membuat cinta makin membara #ihiw.

Sayangnya, seringkali kita terjebak pada pergulatan emosi saat berkonflik dan merespon tanpa JEDA. Bicara (baik langsung maupun via hp) saat dua kepala sedang panas panasnya tidak akan menghasilkan solusi. Yang ada malah sakit hati.

Sejatinya, keterampilan mengelola konflik berakar dari keterampilan mengenali diri dan pasangan. Ini juga dibahas tuntas di buku Yakin Dia Jodohmu?  #catet.

Semakin matang seseorang, semakin ia paham perasaan, keinginan, dan permasalahan dirinya sendiri. Dengan pemahaman utuh tentang diri sendiri, jiwa yang matang akan mencoba menyampaikan pesan kepada orang lain dengan cara yang tepat. Bukan menyerang orang lain berdasarkan persepsinya sendiri.

Saya termasuk pihak yang lebih sering baper duluan saat berinteraksi dengan suami. Suami saya nanya udah masak nasi apa belom, saya langsung tersinggung. Yang saya denger di kepala: kok jam segini belom masak nasi? Ngapain ajaa wahai istri pemalass??? Haha, lebay banget dah.

Jadi saya suka udah bertanduk duluan tuh cuma gara gara pertanyaan netral begitu. Saya maunya langsung jawab TANGAN SAYA DUA ANAKNYA TIGA YA BELOM SEMPET BAAAANG...!!! Tapi terus saya ngeREM, ambil JEDA. Dicerna ulang dulu pertanyaannya, jawab sesuai fakta. Bukan persepsi pribadi apalagi emosi jiwa.

Gak gampang memang. Apalagi jika kita dibesarkan dalam lingkungan yang cenderung reaktif. Ada stimulus langsung reaksi tanpa JEDA untuk mencerna. Ditambah kita dalam kondisi lelah atau dalam diri sendiri sedang banyak masalah. Tapi percayalah, dengan latihan JEDA, akan terasa BEDA. Akan ada ruang yang membuat hati lebih LEGA.

Latihan jeda ini bukan cuma bermanfaat dalam menghadapi konflik rumahtangga, tapi bisa diterapkan dalam semua respon keseharian kita. Ada kalimat yang bikes di medsos, coba jeda. Jangan langsung terpancing membalas.

Lakukan dulu konfirmasi, setelah kita menenangkan diri. Ada omongan orang yang gak enak, terasa nyelekit..coba jeda. Ini beneran bermaksud menyerang kita, atau dia hanya sedang ribut dengan dirinya sendiri? Sebagian respon menyerang itu kadang karena gak bisa damai dengan diri sendiri #ngambilkaca.

Begitu juga menghadapi anak. Kalau gak pinter pinter jeda, pasti anak pusing karena emaknya marah marah mulu. Berhenti marahnya pas tidur doang. Gimana anaknya mau betah di rumah. Berantakin mainan, emak marah. Main akur seru sama adek sampe suara ketawa kenceng, emak marah. Gak sengaja numpahin minum emak marah. Harga beras naik emak marah #yaiyalah.

Terus cara latihan jeda gimana? Ah itu mah baca sendiri aja ya di buku Yakin Jodohmu? Hehehe. Udah kepanjangan ngetiknya, saatnya emak berlanjut ke agenda lainnya #segalajeniscucianmemanggil.

Selamat Hari Jumat, semoga mampu berjeda saat terasa sempit di dada :)

Yunda Fitrian

No comments:

Post a Comment