Jangan Musuhi Pelangi
Selasa lalu, 3 jam sebelum gempa 6 skala richter di Lebak turut mengagetkan kami di Tangsel, saya baru saja mengikuti kajian Majelis Taklim Sekolah Sinar Cendekia BSD. Judulnya LGBT: Kenali, Tangani, Hadapi. Pembicaranya adalah Ibu Vira Chandra, seorang ustazah yang juga Ketua Bidang Pendidikan Aliansi Cinta Keluarga.
Jadi saat gempa terjadi di kepala saya masih terngiang ngiang kisah penduduk sodom yang berakhir dengan terbaliknya bumi. Bikin merinding gimanaa gitu. Berasa langsung simulasi...Simulasi azab :(
Pembahasan ustazah Vira dimulai dengan menampilkan pengertian sex, gender, dan istilah fiqh kontemporer terkait tema ini. Secara biologis, sangat jelas dan tak terbantahkan Allah hanya menciptakan dua jenis kelamin: lelaki dan perempuan (istilah sex).
Sementara secara sosial, kejelasan ini menjadi buram manakala batas perilaku lelaki dan perempuan dikaburkan (penyimpangan gender). Gender sendiri merupakan sekumpulan karakteristik maskulin (untuk lelaki) dan feminin (untuk perempuan) yang dibentuk oleh nilai nilai masyarakat. Kalau dalam Islam, jelas lelaki dan perempuan SETARA dengan kodrat masing masing yang khas sesuai keunikannya. Tidak serta merta sama.
Dalam kajian fiqh kontemporer ada istilah khuntsa, yakni manusia berkelamin ganda. Khuntsa pertama kali tercetus dalam hukum Islam ketika Amir Adh Dharab, seorang hakim, didatangi oleh seorang ibu yang melaporkan keadaan anaknya yang berkelamin ganda.
Kasus khuntsa diputuskan sedemikian rupa dalam Islam hingga jelas orang tersebut akan dihukumi sebagai pria atau wanita. Sebab dalam Islam, hukum untuk lelaki dan perempuan sangat spesifik dan disesuaikan dengan keunikan masing masing. Mulai dari masalah berpakaian, ibadah, hingga waris dan muamalah.
Khuntsa berbeda dengan al mukhannats (lelaki menyerupai perempuan) dan al mutarajil (perempuan menyerupai lelaki). Keduanya tidak diperkenankan dalam Islam.
Namun demikian, sikap seorang Muslim tidaklah mencela, mengejek, atau mengucilkan orang orang yang bingung dengan identitas gendernya. Justru sebagai rahmat semesta alam, kita harus merangkul dan mengajak mereka kembali pada fitrahnya, sesuai kondisi biologis mereka.
Ustazah Vira juga menyinggung tentang usaha pembelaan kaum menyimpang ini dengan berbagai penelitian yang ingin membuktikan bahwa gay adalah genetik. Namun tidak ada satupun penelitian tersebut yang dapat memvalidasi gay sebagai bawaan lahir. Saya juga pernah membaca di buku Fitrah Based Education tentang ini. Perdebatannya bisa sangat panjang dan saya ikut aturan Allah saja yang sudah jelas hanya menyebut dua jenis kelamin untuk manusia #cariaman.
Sejatinya, jauh di lubuk hati sebagian mereka mungkin merasa bahwa ini bukanlah jalan kebenaran. Namun seringkali mereka terjebak untuk melanjutkan kesalahan ini karena terlanjur dibuang oleh keluarga dan lingkungannya. Inilah mengapa penting bagi kita untuk tidak membenci pembawa bendera pelangi. Perilakunya lah yang kita musuhi.
Banyaknya propaganda dan pembelaan terhadap kaum penyimpang ini adalah akibat isu bullying yang digembar gemborkan. Akhirnya mereka menjadikan bullying ini sebagai bumerang bagi para pelakunya sendiri. Sebagai korban mereka menuntut kesamaan hak agar bebas dari diskriminasi.
Setting play victim yang mereka mainkan sangat berhasil. Terbukti saat ini di Indonesia saja sudah ada 119 organisasi berbendera pelangi dengan pendanaan milyaran dari UNDP. Tuntutan utama mereka adalah legalisasi pernikahan sejenis, yang sudah terpenuhi di lebih dari 20 negara.
Mereka juga gencar melakukan kampanye melalui media. Mereka mengusung hak asasi manusia sebagai tameng hukum yang melindungi perbuatan menyimpangnya. Film dan berbagai karya bertema cinta sejenis dipublikasikan untuk menarik simpati.Berdalih cinta tak bisa disalahkan. Kalau aku cinta sesamaku dan ingin menikahinya, itu hak kami. Begitu kira kira pesan mereka.
Di Amerika sendiri ada parade tahunan kaum gay dan lesbian yang begitu semarak sekaligus menyeramkan (bagi kami). Facebook, whatsapp, android, youtube menyediakan banyak sekali pintu masuk ke dunia pengingkar fitrah ini.
Dari berbagai media sosial itulah, mereka masuk ke tempat teraman: rumah kita. Mbak Farras, anak Ustazah Vira, memaparkan hasil temuan kasus yang ia hadapi. Dua keluarga Islami yang anak anaknya disekolahkan di sekolah Islam, turut menjadi pelaku tindakan sodomi. Padahal sekilas, keluarga dan lingkungan mereka terlihat aman.
Kakak beradik sesama lelaki ini melakukan sodomi meniru video di internet. Mereka tidak paham itu apa, hanya permainan yang mendatangkan sensasi tersendiri saja. Bahkan di keluarga yang satu lagi, permainan itu dilakukan di masjid, diantara waktu maghrib ke isya. Sampai sebelas anak yang terlibat. Kami hanya bisa istighfar dan mengucap naudzubillahi min dzalik.
Semua tidak akan berhenti sampai di sini. Semakin kita lalai dari anak anak, semakin dekat mereka menjangkau rumah kita. Semakin kita keras, kasar, dan over protective pada anak, semakin besar energi anak untuk memberontak. Maka yang dapat dilakukan adalah menjadi orangtua yang diidolakan anak. Dipercaya untuk menjadi tempat bertanya dan berbagi rahasia. Tempat anak mengambil nilai nilai prinsip untuk menghadapi hidup di zamannya.
Sosok ayah dan ibu sangat penting untuk selalu dekat dengan anak. Terlibat dalam kegiatan bersama, terikat dalam satu ikatan kasih sayang bernafaskan cinta padaNya. Semua itu penting agar anak memiliki imunitas dari berbagai penyakit mengerikan di zamannya.
Selain itu, orang tua juga perlu kenal dan berkomunikasi dengan lingkungan sekolah maupun pertemanan anak. Jangan ragu bertanya pada sesama orangtua, guru, maupun teman teman anak tentang perilaku anak saat tak berada bersama kita.
Alhamdulillah selesai sudah hutang saya. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah. Terimakasih telah membaca dan menyebarkan :)
Yunda Fitrian, 250118
Notes: beberapa slide seminar
No comments:
Post a Comment