Tuesday 24 October 2017

TAK ADA LOGIKA_catatan fb yunda fitrian

"Apa sih tandanya kita siap menikah??”

Begitu pertanyaan seorang sahabat, yang mewakili kegalauan para jomblo :D
Ia khawatir, hasrat untuk menikah yang menggebu dalam diri, tak lebih dari sekedar latah akibat teman2 satu cohort satu persatu mulai menikah.
Atau, hanya galau sesaat akibat sering dapat informasi (parsial) tentang enaknya menikah. Maklum hari ini banyak sekali provokator pernikahan yang berat sebelah. Kesannya menikah hanya enak saja isinya (padahal kan enak banget**hehe provoke mode on ;p)

Bersyukurlah orang-orang yang punya pertanyaan seperti diatas sebelum membabi buta menebar janji dan jaring-jaring cinta demi secepatnya menikah.

Itu artinya masih waras, sehat, sehingga insyaAllah bisa berpikir jernih dalam mengambil keputusan. Ingat, cinta versi agnes monica (yang tak ada logika itu looh) hanyalah cinta sesaat, dan hanya satu persekian persen dari keseluruhan cinta sejati.
Sebuah penelitian tentang cinta mengungkapkan, rasa membara yang bergelora dalam jiwa paling lambat hanya bertahan 5 tahun. Ini berhubungan dengan hormon cinta yang dimiliki manusia. Ingatkan saya untuk segera menerjemahkan artikel tentang ini dan membaginya di sini.
Maka tak heran, beberapa tahun setelah menikah, mulailah peribahasa ‘semut di seberang pulau tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak’.
Artinya mungkin anda sedang kesemutan :P jayus mode on
Setelah hormon cinta habis, pernikahan hanya bisa bertahan karena komitmen dan kedekatan emosional. Setrum-setrum yang dulu ada ketika hanya berduaan di tempat sepi, atau ketika membelai pasangan, sirna setelah 5 tahun pernikahan. Berganti dengan keteduhan saat menatap pasangan dalam diam, ketenangan hati saat bersentuhan, jika dan hanya jika masih ada komitmen dan kedekatan emosi diantara keduanya.

Sudah banyak contoh-contoh pernikahan yang dimulai dengan cinta membara berakhir dengan kebencian serupa. Tiba-tiba saja pasangan kita seolah berubah dan kita tak tahan hidup bersamanya. Demi tetap bahagia dan sehat jiwa, perpisahan adalah jawabannya.

Bukan pilihan yang salah menurut saya, kesalahannya ada di awal ketika memutuskan untuk menikah. Tanda-tanda yang dianggap sinyal kesiapan menikah hanya setrum-setrum cinta semata. Tak ada logika.

Logika dan rasa sama pentingnya. Menikah sekedar dengan logika punya konsekuensi yang sama dengan menikah sekedar karena rasa, karena kesetrum cinta.

Pernikahan yang hanya dilandasi logika, akan segera menemui jalan buntu ketika alasan logis untuk menikah sudah tak ada.

Misalnya, dulu menikah alasannya karena pria ini sudah mapan dan kaya tujuh turunan. Adalah alasan yang sangat logis untuk menikahinya demi kesejahteraan keturunan. Saat roda kehidupan berputar dan abang tak lagi punya uang, ia segera dibuang.

Tanda siap menikah, salah satunya keseimbangan logika dan rasa.
Di sisi logika, hitungan cermat kita bisa melihat bahwa calon pasangan sudah mandiri, baik secara materi maupun non materi. Memaksakan menikah dengan orang yang masih bergantung ke orang tua, baik secara materi maupun emosi, menurut saya bukan pilihan yang bijak.
Akan ada banyak konflik ketika setrum cinta habis.

Begitu juga dengan diri kita sendiri. Jika kita masih minta uang saku sama ortu, atau kesal sedikit mengadu ke ortu, wahh kita masih perlu mengasah kemandirian untuk siap menikah.
Saat menikah kelak, masalah rumah tangga, kekurangan pasangan, harus siap kita simpan sendiri. tidak sedikit-sedikit kabur ke rumah orang tua..setelah menikah kita punya lingkaran dalam dan luar. Lingkaran dalam hanya berisi kita dan pasangan. Aib dan kekurangan pasangan hanya boleh berada di lingkaran ini. Bahkan anak-anak kita tak seharusnya jadi tempat curhat tentang kekurangan pasangan.

Kecuali, pasangan beresiko membahayakan jiwa kita atau anak, nah itu WAJIB mencari pertolongan dari luar.

Bedakan antara logis melihat diri dan pasangan sebagai pribadi mandiri dengan pesimis menghadapi kewajiban setelah menikah.

Banyak para jomblo yang terus menerus menunda pernikahan karena takut tidak bisa membiayai orang tua, membantu nafkah adik, atau menafkahi keluarga barunya kelak.
Ketakutan ini harus dipikirkan secara jernih dan objektif. Jangan2 ketakutan ini datang karena gaya hidup kita yang tak berani sedikit lebih sederhana. Maksud saya..kalau gaji masih ada lebih setelah dipotong makan dan sekedar kebutuhan primer, maka cukuplah untuk menikah.
Suami saya pernah cerita, sebelum menikah ia mendapat inspirasi dari seorang teman yang sudah menikah saat masih kuliah.

Saat bertanya tentang bagaimana mencukupi kebutuhan rumah tangga, sang teman memberi hitungan matematis logis yang mengena di hati suami.

Sang teman berhitung, biaya makan berdua 1 juta, kontrakan 500 ribu, sisanya operasional dan nabung 500 ribu. ‘jadi kalo ente udah punya penghasilan 2 juta, cukuplah untuk hidup sederhana’, begitu tukasnya. Segera saja, suami saya mendapat inspirasi melamar saya  setelah baru 2 bulan diterima bekerja dengan gaji 2,5 juta. Hehehe, ini orang kongkrit apa nekad??

Nahh, gimana kalo penghasilan masih dibawah itu tapi ga tahan pengen cepet2 nikah??
It’s OK, yang penting punya hitungan LOGIS tentang pengaturan uang belanja.

Allah memang menjanjikan akan mendatangkan rezeki bagi mereka yang menikah karena menghindari perbuatan tercela. Dan siapakah yang lebih benar janjinya daripada Allah?
Ini tak dapat diingkari.
Tapiiii.. sekali lagi, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa perubahan diri kaum tersebut. so, kalo setelah nikah kerjanya masih begitu2 aja, semangat cari nafkahnya masih kembang kempis, wahh kasian anak istri, bro!

Makan cinta kan gak kenyang J
Kecuali, dapat istri dan anak yang super duper nrimo dengan segala kondisi. Siap lapar dan haus demi cinta…tapi suami yang baik pastilah memahami kewajibannya untuk memberi (minimal) nafakah dan pakaian yang LAYAK pada keluarganya. Kewajiban ini langsung datang dari Allah. Bukan pemikiran tradisional gender.

Lagipula, Allah memerintahkan kita untuk takut meninggalkan generasi yang lemah. Yang demi pendidikan akhirnya menggadaikan iman. Karena kemiskinan meninggalkan Tuhan..ngeri kan?

So, saya salut dengan teman suami yang memberi penjelasan logis tadi, tak sekedar provokasi pernikahan tanpa solusi J

Trus, gimana kalo kita harus bantu keluarga? Nah kalo ini logikanya harus dikomunikasikan bersama. Sebaiknya suami istri yang masih punya tanggungan keluarga (besar), keduanya bekerja. Dengan begitu, penghasilan dapat lebih banyak disisihkan. Kalau sudah punya anak bagaimana? Itulah yang harus didiskusikan sebelum menikah J batas-batas yang harus dipegang sebagai prinsip bersama ketika istri harus berperan ganda. Suami pun harus paham konsep Islam bahwa ‘harta suami = harta istri, harta istri = harta istri’. Jadi, tak layak bagi suami menuntut istri memenuhi kewajiban nafkah rumahtangga, kecuali sang istri ridho dan ikhlas.
Bagi yang percaya bahwa matematika Allah tidak sama dengan hitungan logis manusia, itu baik, dan memang seharusnya demikian. Tapi ingat, jangan jadikan keyakinan itu sebagai tameng dari hawa nafsu kita untuk menyegerakan pernikahan padahal bisa jadi dampaknya zalim bagi diri dan pasangan kita.
So, logis itu tidak bertentangan dengan ayat Allah!

Selanjutnya logis masalah kepribadian pasangan.
Banyak orang ketika menemukan karakter kurang baik dari pasangannya, karena sudah terlanjur cinta, meyakinkan diri bahwa kelak pasangan bisa berubah setelah menikah.
Ternyata…berubah adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Tak seperti di film sailormoon atau ksatria baja hitam ;p

Sebagian pernikahan kandas karena pasangan tak jua berubah menjadi yang diharapkan. Apalagi ketika perubahan itu urgent untuk memperbaiki kualitas hidup. Misalnya, istri yang terbentuk menjadi pribadi bergaya hidup mewah dan lebih mementingkan gengsi materi, akan mempersulit kehidupan keluarga ketika suami sedang bangkrut. Atau, suami yang karakternya kasar dan suka main fisik, ini malah perlu untuk dihindari sejak awal akan menikah. Lebih baik cari yang lain saja deh, atau diterapi dulu biar tidak kasar lagi.
Kita juga bisa logis terhadap pribadi kita. Kalau orangnya terlalu sensitif hindari menikah dengan orang agresif atau terlalu blak-blakan. Kalau sudah terlanjur cinta? Bicarakan baik-baik sebelum menikah, buat rambu2 komunikasi.

Nah, bagaimana dengan mereka yang menikah by taaruf? Kan mungkin baru tahu karakter pasangan setelah menikah?

inilah pentingnya proses komunikasi saat taaruf. Kita kan disediakan momen untuk saling tanya tentang pasangan, ada pula kesempatan untuk bertanya dari orang-orang terdekatnya. Manfaatkan sebaik mungkin cara-cara tersebut.

Kalau saya pribadi, mungkin karena sudah melihat keseharian suami selama 8 tahun, walaupun tidak pernah dekat tapi langsung yakin karakternya cocok dengan saya.
Dan itu terbukti. Dialah tutup panci saya! semoga selamanya, aamiin.

Logis terhadap pribadi termasuk mengenai berbagai hal yang melekat pada calon pasangan dan tidak bisa diubah (secara langsung). Seperti keluarganya, status sosialnya, dan...fisiknya.

Menikah tidak hanya dengan pasangan lho, tapi juga keluarganya. Jika kita merasa kurang sreg karena keluarga intinya masih menjalankan ritual musyrik, misalnya. Berusahalah berpikir logis, apa kita akan benar2 sanggup mengatasinya?
Jika tidak, dan merasa tidak kuat mempengaruhi ke arah yang baik, berhentilah. Mungkin kita perlu memperluas arah pandang agar menemukan calon lain.

Masalah status sosial sebenarnya bukan masalah krusial dibanding kepribadian. Akan tetapi, pada beberapa pernikahan ini menjadi boomerang karena tidak pernah dihadapi sejak awal. Tetapi hanya dihindari.

Jujurlah tentang status sosial. Mungkin kita tidak peduli. Tapi bagaimana dengan keluarga? Jika komunikasi intens dan efektif, insyaAllah masalah ini mudah diatasi.

Terakhir logika usia. Jika usia sudah matang, ditandai dengan kesiapan materi, pribadi, ilmu, mental..apalagi beragam calon sudah antre,,maka bismillah, mantapkanlah hati untuk menikah.
jangan biarkan jiwa-jiwa tak halal mengkhayalkanmu dalam mimpi semu. jangan biarkan dirii jadi ladang fitnah buat mereka yang belum sanggup menikah.
jadi bagi yang sudah dikirimi proposal nikah, istikharah dan musyawarah lah, sudah waktunya menggenapkan separuh agama..
tak ada yang tahu sampai kapan jatah usia kita di dunia. jangan sampai satu kesempatan tersia-sia...
kalau ingin calon yang sempurna, adanya hanya di surga..
kalau inginnya dia yang tak juga datang dengan segenap jiwa, ambillah yang ada setelah Allah memberi tanda.
beda cerita kalo semua kesiapan ini belum dibarengi dengan datangnya calon pendamping. mungkin artinya Allah sedang menguji kesabaran, doa, dan ikhitiar mereka.
tetap berbaik sangka pada Allah, karena Allah sesuai persangkaan para hamba.

nah,,kalo yang udah ngebet tapi ternyata masih banyak persiapan logis yang belum mantep, barengilah semangat mencari pasangan dengan kegigihan mencari ilmu, memantapkan mental, memperbaiki diri, berburu mutiara (ups!) dan mendekati Sang Pemilik Hati agar menjagamu dalam ridhoNya. agar hasrat itu tak ternoda.

finally, semoga tulisan ini bermanfaat. saya bukan praktisi atau ahli yang sudah terbukti,,tapi mudah2an tulisan ini bisa memberi gamabran sederhana. syukur2 kalau bisa menginspirasi..
menambah semangat bagi mereka yang telah siap,
dan menambah pertimbangan logis bagi yang hasratnya menggebu tapi belum sepenuhnya mampu...

SmangkA--Semangat karena Allah :)

wallahua'lam bish shawab

Yunda Fitrian

No comments:

Post a Comment