Diswap Komunikasi Positif #3 Menuju Ramadhan Berdaya
WAG Belajar Parenting
Oleh Yunda Fitrian
Sebening Cermin: 6 Langkah Meluruskan Kesalahan Tanpa Kemarahan
((Bagian 1))
Suatu hari ada seorang pemuda belia mendatangi Rasulullah
SAW.
“Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!” katanya lantang
membuat orang-orang di sekitar menghardiknya, “Diam kamu! Diam!”
Rasulullah dengan wajah teduhnya berkata, “Mendekatlah.”
Pemuda itu pun mendekat, duduk di samping
Rasulullah, kemudian ia ditanya:
“Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” sahut si pemuda teringat
ibu yang disayanginya.
“Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai.
Relakah engkau jika putrimu
dizinai orang?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” ujar si pemuda tegas, membayangkan
kelak jika mempunyai anak perempuan yang dizinai orang.
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai.
Relakah engkau jika saudari
kandungmu dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” suara sang pemuda
melemah, mulai melihat bayangannya di cermin hati.
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka
dizinai. Relakah engkau jika bibimu dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” Ia menggeleng pasti, menepis
sendiri keinginan untuk berzina karena memahami betapa hina dan kejinya
perbuatan itu.
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.”
Rasulullah menutup dialognya dengan akhir yang
sempurna. Beliau meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, sambil melantunkan
doa penuh kasih sayang “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah
kemaluannya.”
Maka zina tak pernah lagi menarik bagi si pemuda, bahkan menjadi
perbuatan yang paling dibencinya.
(dikisahkan dari HR Ahmad)
***
((Bagian 2))
Mengapa
Sebening Cermin?
Apa yang
terjadi jika dalam situasi di atas Rasulullah SAW menghardik sang pemuda?
Mungkin ia
akan menjauh dari Rasulullah, bahkan membenci risalah yang dibawanya. Bisa jadi
ia makin terdorong untuk mengikuti hawa nafsunya.
Situasi
yang hampir serupa sebetulnya sering terjadi di keluarga kita. Ingatlah saat
anak-anak kita:
·
Meminta
sesuatu yang buruk
·
Menceritakan
perbuatan ‘nakal’nya
·
Berbicara
kalimat kurang baik
·
Bertanya
arti kata-kata vulgar atau tidak baik yang didengar dari orang lain
·
Berkomentar
dengan kata-kata tidak baik
Sebagian orangtua
merespon dengan mata melotot, membentak, menyuruh anak diam lalu berceramah
panjang lebar tentang kesopanan serta langsung menghukum anak saat itu juga.
Ada pula
orangtua yang memilih berkomunikasi sebening
cermin; meluruskan kesalahan anak tanpa menyakiti atau merendahkan.
Perbedaan respon
orangtua akan menghadirkan respon berbeda pula dari anak.
Jika
orangtua merespon dengan keras, mungkin anak tidak mengulangi lagi perilaku
tersebut di depan orangtua, tapi entah di belakangnya.
Mengapa?
Karena anak
tidak paham apa yang dikomunikasikan orangtua. Anak hanya tahu orangtuanya
marah jika ia melakukan perbuatan tertentu di
hadapan orangtua. Jika perbuatannya dilakukan di belakang orangtua, tidak ketahuan,
maka ia tidak akan kena marah.
Kemarahan
atas spontanitas anak hanya akan menjadikan anak patuh pada orangtua karena
TAKUT. Bukan karena PEMAHAMAN akan sebuah nilai.
Maka tak
heran ketika lepas dari pengawasan orangtua, anak merasa BEBAS tanpa ancaman.
Cara
merespon yang kasar, cenderung menyalahkan, meremehkan, atau mengabaikan akan menjadikan
anak semakin jauh dari nilai yang ingin ditanamkan orangtua.
Sementara
cara merespon sebening cermin
membuat anak tahu dimana kesalahannya, lalu tak mau mengulangi suatu perilaku
buruk karena memahami dampak dari perilaku tersebut.
((Bagian
3))
STEP BY
STEP REAL ACTION
Menjadi Orangtua
Sebening Cermin
Salah satu
contoh jelas menjadi sebening cermin sudah tergambar dari kisah Rasulullah dan
pemuda yang minta izin berzina tadi. Berikut
6 langkah mudah untuk menjadi sebening cermin:
1. Berprasangka baik
Ketika anak melakukan atau berbicara kurang baik, siapkan 1001 prasangka
baik. Bisa jadi anak belum paham apa yang ia lakukan atau katakan. Mungkin anak
paham tapi belum tahu apa akibat buruknya bagi diri maupun orang lain. Atau ternyata
anak tidak sengaja melakukannya, dan lain sebagainya.
Mengapa perlu berprasangka baik? Karena pada dasarnya anak masih dalam
keadaan suci tanpa dosa selama ia belum baligh. Apa yang dilakukannya semata
karena perkembangan otaknya yang belum matang sepenuhnya. Tugas orangtua-lah
membimbing dengan kasih sayang, bukan mendakwa apalagi menghukum semena-mena.
2. Dekatkan jarak
Jarak yang dekat akan memudahkan komunikasi positif antara anak dan
orangtua. Daripada berteriak-teriak dari jarak beberapa meter, lebih bijak
mendekat dan bicara dengan suara lembut.
Selain lebih efektif, akan terasa pula kenyamanan ketika bicara karena
anak merasa dihargai privasinya. Jangan lakukan pembicaraan dengan anak diatas
jarak 1,5 meter.
Sebaiknya, ajak anak bicara berdua, bahkan tak terlihat oleh
saudara-saudaranya, agar ia tidak merasa dipermalukan.
3. Lakukan klarifikasi
Sebelum merespon perilaku atau perkataan anak, lebih baik kita
menanyakan apa yang ia pahami tentang perilaku atau kata tersebut.
Misalnya ketika anak cerita tentang pacaran, tanyakan dulu pacaran itu
apa? Karena apa yang anak sampaikan belum tentu sama dengan yang kita pikirkan.
Sebelum kita merespon terlalu jauh dan tidak efektif, gali dulu apa yang anak
ketahui tentang hal tersebut.
4. Tampilkan emosi datar
Sebisa mungkin tampilkan wajah yang terlihat datar,
bebas dari kerutan di dahi, pupil yang membesar, atau alis yang bertaut. Berusahalah
tampak biasa saja, apapun emosi yang dirasa.
Dahi yang berkerut, pupil yang membesar, alis
yang bertaut lantas diiringi suara meninggi hanya akan membuat anak merasakan
emosi tidak nyaman. Berikutnya ia akan menghindar untuk bercerita kembali
karena khawatir orangtua tidak menerima pengalaman anak apa adanya.
Hal ini mungkin tidak mudah bagi sebagian
orangtua yang ekspresif, namun bisa terus dilatih lewat keterampilan belajar
jeda (kembali ke materi sebelumnya).
5. Pantulkan kata-kata anak
Cermin yang bening memantulkan cahaya sehingga
kita dapat melihat bayangan diri sebagaimana adanya. Orangtua yang bijak
membantu anak merefkeksikan perilakunya dengan memantulkan pengalaman, perasaan,
dan pikiran anak apa adanya. Bantu juga anak memandang masalah dari posisi
orang lain (empati).
Cara merefleksikan pengalaman adalah dengan:
*memparafrase/ mengulang apa yang anak katakan
dengan bahasa kita.
*menggali (probing) anak dengan kata terus, jadi gimana, habis itu…dan
sebagainya. Beri waktu hingga anak menyelesaikan kalimatnya.
*menanyakan dampak perilaku/ perkataannya
*mengajak anak mencari solusi yang lebih baik
Contoh:
“Mama, tadi aku cubit Lala di sekolah, habis
aku kesal dia berisik terus!”
“Oh gitu, kamu kesal sama Lala karena dia
berisik terus?”
“Iya Ma! Jadi aku cubit aja!”
“hmm,,gitu ya. Kira-kira kalau kamu yang
dicubit, gimana rasanya?”
“Ya sakit Ma, Lala aja nangis tapi aku tinggal
aja abis aku kesal!”
“Oh kamu masih kesal setelah cubit Lala. Terus gimana
perasaanmu lihat Lala nangis?”
“Ya sebetulnya kasihan, kan sakit cubitnya. Tapi
gimana aku kesal banget!”
“Kasihan ya Lala, kesakitan dicubit. Kamu juga
masih kesal. Kalau gitu sama-sama gak enak kan. Coba kita cari cara lain yuk
biar sama-sama enak..gimana ya kira-kira?”
Beri anak waktu untuk berpikir. Jika anak tidak
punya ide, orangtua bisa menawarkan idenya. Sifatnya penawaran dan minta
pendapat anak. Ide bisa diberikan lewat cerita, pengalaman sendiri atau orang
lain, maupun kisah-kisah teladan lainnya.
6. Sugesti
Langkah terakhir, sugestikan pada anak bahwa ia pasti bisa berperilaku
atau berbicara lebih baik. Sugesti bisa dilakukan dengan kata-kata positif,
kalimat motivasi maupun dalam bentuk mendoakan di depan anak, seperti yang
dicontohkan dalam kisah Rasulullah SAW di atas.
Memberi sugesti juga lebih baik jika dilakukan sambil menyentuh pundak,
menatap mata anak lekat-lekat, mengusap kepala maupun punggung. Yakinkan anak
bahwa orangtua percaya anak bisa memilih kebaikan.
Demikianlah langkah-langkah menjadi orangtua
sebening cermin. InsyaAllah, dengan menjadi sebening cermin, komunikasi positif
akan tumbuh subur di keluarga kita. Tinggal tunggu waktu bunga-bunga bermekaran
dan menghasilakan manisnya buah kesungguhan. Aamiin.
Kisah pemuda
di masa Rasulullah disarikan dari https://muslimah.or.id/5276-wahai-rasulullah-izinkan-aku-berzina.html
No comments:
Post a Comment