Sunday, 13 May 2018






Diswap Komunikasi Positif #3 Menuju Ramadhan Berdaya
WAG Belajar Parenting
Oleh Yunda Fitrian

Sebening Cermin: 6 Langkah Meluruskan Kesalahan Tanpa Kemarahan

((Bagian 1))

Suatu hari ada seorang pemuda belia mendatangi Rasulullah SAW.
Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!” katanya lantang membuat orang-orang di sekitar menghardiknya, “Diam kamu! Diam!
Rasulullah dengan wajah teduhnya berkata, “Mendekatlah.
Pemuda itu pun mendekat, duduk di samping Rasulullah, kemudian ia ditanya:
Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?
Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” sahut si pemuda teringat ibu yang disayanginya.
Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai. Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?
Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” ujar si pemuda tegas, membayangkan kelak jika mempunyai anak perempuan yang dizinai orang.
Begitu pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai. Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?
Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” suara sang pemuda melemah, mulai melihat bayangannya di cermin hati.
Begitu pula orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai. Relakah engkau jika bibimu dizinai?
Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” Ia menggeleng pasti, menepis sendiri keinginan untuk berzina karena memahami betapa hina dan kejinya perbuatan itu.  
Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.
Rasulullah menutup dialognya dengan akhir yang sempurna. Beliau meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, sambil melantunkan doa penuh kasih sayang “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.
Maka zina tak pernah lagi menarik bagi si pemuda, bahkan menjadi perbuatan yang paling dibencinya.

(dikisahkan dari HR Ahmad)

***

((Bagian 2))

Mengapa Sebening Cermin?

Apa yang terjadi jika dalam situasi di atas Rasulullah SAW menghardik sang pemuda?
Mungkin ia akan menjauh dari Rasulullah, bahkan membenci risalah yang dibawanya. Bisa jadi ia makin terdorong untuk mengikuti hawa nafsunya.
Situasi yang hampir serupa sebetulnya sering terjadi di keluarga kita. Ingatlah saat anak-anak kita:

·         Meminta sesuatu yang buruk
·         Menceritakan perbuatan ‘nakal’nya
·         Berbicara kalimat kurang baik
·         Bertanya arti kata-kata vulgar atau tidak baik yang didengar dari orang lain
·         Berkomentar dengan kata-kata tidak baik

Sebagian orangtua merespon dengan mata melotot, membentak, menyuruh anak diam lalu berceramah panjang lebar tentang kesopanan serta langsung menghukum anak saat itu juga.

Ada pula orangtua yang memilih berkomunikasi sebening cermin; meluruskan kesalahan anak tanpa menyakiti atau merendahkan.

Perbedaan respon orangtua akan menghadirkan respon berbeda pula dari anak.

Jika orangtua merespon dengan keras, mungkin anak tidak mengulangi lagi perilaku tersebut di depan orangtua,  tapi entah di belakangnya.

Mengapa?
Karena anak tidak paham apa yang dikomunikasikan orangtua. Anak hanya tahu orangtuanya marah jika ia melakukan perbuatan tertentu di hadapan orangtua.  Jika perbuatannya dilakukan di belakang orangtua, tidak ketahuan, maka ia tidak akan kena marah.

Kemarahan atas spontanitas anak hanya akan menjadikan anak patuh pada orangtua karena TAKUT. Bukan karena PEMAHAMAN akan sebuah nilai.

Maka tak heran ketika lepas dari pengawasan orangtua, anak merasa BEBAS tanpa ancaman.

Cara merespon yang kasar, cenderung menyalahkan, meremehkan, atau mengabaikan akan menjadikan anak semakin jauh dari nilai yang ingin ditanamkan orangtua.

Sementara cara merespon sebening cermin membuat anak tahu dimana kesalahannya, lalu tak mau mengulangi suatu perilaku buruk karena memahami dampak dari perilaku tersebut.

((Bagian 3))
STEP BY STEP REAL ACTION
Menjadi Orangtua Sebening Cermin

Salah satu contoh jelas menjadi sebening cermin sudah tergambar dari kisah Rasulullah dan pemuda yang minta izin berzina tadi.  Berikut 6 langkah mudah untuk menjadi sebening cermin:

1.       Berprasangka baik

Ketika anak melakukan atau berbicara kurang baik, siapkan 1001 prasangka baik. Bisa jadi anak belum paham apa yang ia lakukan atau katakan. Mungkin anak paham tapi belum tahu apa akibat buruknya bagi diri maupun orang lain. Atau ternyata anak tidak sengaja melakukannya, dan lain sebagainya.

Mengapa perlu berprasangka baik? Karena pada dasarnya anak masih dalam keadaan suci tanpa dosa selama ia belum baligh. Apa yang dilakukannya semata karena perkembangan otaknya yang belum matang sepenuhnya. Tugas orangtua-lah membimbing dengan kasih sayang, bukan mendakwa apalagi menghukum semena-mena.


2.       Dekatkan jarak

Jarak yang dekat akan memudahkan komunikasi positif antara anak dan orangtua. Daripada berteriak-teriak dari jarak beberapa meter, lebih bijak mendekat dan bicara dengan suara lembut.

Selain lebih efektif, akan terasa pula kenyamanan ketika bicara karena anak merasa dihargai privasinya. Jangan lakukan pembicaraan dengan anak diatas jarak 1,5 meter.

Sebaiknya, ajak anak bicara berdua, bahkan tak terlihat oleh saudara-saudaranya, agar ia tidak merasa dipermalukan.


3.       Lakukan klarifikasi

Sebelum merespon perilaku atau perkataan anak, lebih baik kita menanyakan apa yang ia pahami tentang perilaku atau kata tersebut.

Misalnya ketika anak cerita tentang pacaran, tanyakan dulu pacaran itu apa? Karena apa yang anak sampaikan belum tentu sama dengan yang kita pikirkan. Sebelum kita merespon terlalu jauh dan tidak efektif, gali dulu apa yang anak ketahui tentang hal tersebut.


4.       Tampilkan emosi datar

Sebisa mungkin tampilkan wajah yang terlihat datar, bebas dari kerutan di dahi, pupil yang membesar, atau alis yang bertaut. Berusahalah tampak biasa saja, apapun emosi yang dirasa.
Dahi yang berkerut, pupil yang membesar, alis yang bertaut lantas diiringi suara meninggi hanya akan membuat anak merasakan emosi tidak nyaman. Berikutnya ia akan menghindar untuk bercerita kembali karena khawatir orangtua tidak menerima pengalaman anak apa adanya.
Hal ini mungkin tidak mudah bagi sebagian orangtua yang ekspresif, namun bisa terus dilatih lewat keterampilan belajar jeda (kembali ke materi sebelumnya).

5.       Pantulkan kata-kata anak

Cermin yang bening memantulkan cahaya sehingga kita dapat melihat bayangan diri sebagaimana adanya. Orangtua yang bijak membantu anak merefkeksikan perilakunya dengan memantulkan pengalaman, perasaan, dan pikiran anak apa adanya. Bantu juga anak memandang masalah dari posisi orang lain (empati).
Cara merefleksikan pengalaman adalah dengan:
*memparafrase/ mengulang apa yang anak katakan dengan bahasa kita.
*menggali (probing) anak dengan kata terus, jadi gimana, habis itu…dan sebagainya. Beri waktu hingga anak menyelesaikan kalimatnya.
*menanyakan dampak perilaku/ perkataannya
*mengajak anak mencari solusi yang lebih baik

Contoh:
“Mama, tadi aku cubit Lala di sekolah, habis aku kesal dia berisik terus!”
“Oh gitu, kamu kesal sama Lala karena dia berisik terus?”
“Iya Ma! Jadi aku cubit aja!”
“hmm,,gitu ya. Kira-kira kalau kamu yang dicubit, gimana rasanya?”
“Ya sakit Ma, Lala aja nangis tapi aku tinggal aja abis aku kesal!”
“Oh kamu masih kesal setelah cubit Lala. Terus gimana perasaanmu lihat Lala nangis?”
“Ya sebetulnya kasihan, kan sakit cubitnya. Tapi gimana aku kesal banget!”
“Kasihan ya Lala, kesakitan dicubit. Kamu juga masih kesal. Kalau gitu sama-sama gak enak kan. Coba kita cari cara lain yuk biar sama-sama enak..gimana ya kira-kira?”

Beri anak waktu untuk berpikir. Jika anak tidak punya ide, orangtua bisa menawarkan idenya. Sifatnya penawaran dan minta pendapat anak. Ide bisa diberikan lewat cerita, pengalaman sendiri atau orang lain, maupun kisah-kisah teladan lainnya.

6.       Sugesti


Langkah terakhir, sugestikan pada anak bahwa ia pasti bisa berperilaku atau berbicara lebih baik. Sugesti bisa dilakukan dengan kata-kata positif, kalimat motivasi maupun dalam bentuk mendoakan di depan anak, seperti yang dicontohkan dalam kisah Rasulullah SAW di atas.

Memberi sugesti juga lebih baik jika dilakukan sambil menyentuh pundak, menatap mata anak lekat-lekat, mengusap kepala maupun punggung. Yakinkan anak bahwa orangtua percaya anak bisa memilih kebaikan.

Demikianlah langkah-langkah menjadi orangtua sebening cermin. InsyaAllah, dengan menjadi sebening cermin, komunikasi positif akan tumbuh subur di keluarga kita. Tinggal tunggu waktu bunga-bunga bermekaran dan menghasilakan manisnya buah kesungguhan. Aamiin.

Kisah pemuda di masa Rasulullah disarikan dari https://muslimah.or.id/5276-wahai-rasulullah-izinkan-aku-berzina.html











No comments:

Post a Comment