Saturday, 26 May 2018

Suami Ogah Ikut Seminar Parenting? Tujuh Tips Ini Bisa Luluhkan Hatinya!



Suami Ogah Ikut Seminar Parenting? Tujuh Tips Ini Bisa Luluhkan Hatinya!

“Saya mendidik anak dengan keras, seperti ayah mendidik saya. Tapi ada kalanya saat berada di kantor, saya menitikkan airmata menyesali kerasnya saya pada anak. Istri sayalah yang memperkenalkan ilmu parenting pada saya. Alhamdulillah, ia tidak pernah bosan mengajak saya belajar. Meskipun saya sangat lambat dan merasa begitu berat mengubah diri” ujar seorang bapak, memberi pengakuan dalam sebuah seminar parenting yang kami-saya dan suami-hadiri.

Saya ingat, awal-awal punya anak, saya juga sendirian datang ke seminar parenting, tanpa ditemani suami. Alhamdulillah beliau mengizinkan meski belum mau ikut serta.

Dalam pandangan suami, seminar parenting itu hanya acara untuk kaum ibu. Tak sepenuhnya salah.  Memang biasanya 99 % yang hadir kaum Hawa. Kaum  Adam biasanya hadir hanya dalam hitungan jari, itupun rata-rata hasil pemaksaan istri.

Kesulitan mengajak suami untuk hadir dalam seminar parenting sepertinya memang masalah sejuta emak. Butuh kegigihan layaknya pejoeang 45 melawan kumpeni. Gerilya siang malam. Kalau perlu bersiasat dan main ‘drama’.

 Bagi yang belum menikah, bahasan ini beserta solusinya sudah saya singgung di buku Yakin Dia Jodohmu? Bagi yang terlanjur sayang, eh terlanjur menikah terus menemui kesulitan mengajak suami belajar bersama, silakan intip sampai selesai tulisan ini J

Perjuangan mengajak suami belajar parenting terkadang menjadi boomerang dalam rumahtangga. Tak jarang memicu konflik dan memperlebar jurang perbedaan dalam mendidik anak. Istri merasa lelah karena usahanya tak kunjung berbuah. Suami gerah karena merasa istri cari-cari masalah.

Setelah merenungkan pengalaman diri, mendengar berbagai curhatan para istri, belajar di sana sini, saya mencoba meramu 7 tips main cantik agar suami luluh bersedia ikut seminar parenting tanpa pemaksaan J Silakan disimak J

Tips 1: pahami starting point (titik awal pijakan) suami. Setiap orang memiliki starting point yang berbeda untuk bergerak. Starting point ini bisa dilihat dari pengalaman dan pola pikir suami dalam pengasuhan anak.

Suami yang dibesarkan di keluarga keras, pola pikirnya pun skeptis, tentu tak bisa disamakan pendekatannya dengan suami yang latar belakang keluarga adem ayem, pola pikirnya open minded.

Dengan memahami starting point, kita tidak overexpectation, berharap terlalu tinggi. Tidak kecewa ketika suami belum menunjukkan ketertarikan belajar parenting. Terima dulu dan atur strategi baru. Jangan sampai frustrasi karena pembandingnya rumput tetangga, yang suaminya kok yaaa asyik banget diajak belajar sama-sama.

Letakkan segala sesuatu pada tempatnya. Letakkan harapan pada suami sesuai titik pijaknya. Bukan titik pijak kita, atau suami tetangga.

Tips 2: for things to change, I must change first. Sebelum menuntut suami peduli isu parenting, berusaha dulu menunjukkan manfaat belajar parenting. Praktekkan ilmu yang didapat di keluarga, jadilah agen perubahan.

Mulai dari diri sendiri, saat ini juga, dan yang terkecil. Ketika belajar bahwa suara tinggi itu buruk dampaknya untuk otak anak, kita duluan yang mempraktekkan bersuara lembut di keluarga.

Daripada sibuk menceramahi anak dan suami, usahakan dulu diri memberi bukti. Biarkan suami dan anak menyaksikan perubahan yang terjadi.

Bagaimana kalau kita kesulitan mengubah diri? Percayalah, jika kita bertekad, akan selalu ada jalan untuk memperbaiki diri. Tidak harus instan dan totalitas, yang penting terus berproses. Orang yang berusaha mengamalkan ilmu akan terlihat perubahannya jika ilmu tersebut memang berkah dan manfaat baginya.

Tips 3: hargai kebaikan dan perhatian suami pada anak, sekecil apapun. Konon, banyak suami tak mau lagi terlibat mengasuh anak karena selalu dikritik, tak dihargai.

Saat ia mau membantu memakaikan celana anak, istri marah karena memakaikan celananya terbalik. Ketika suami mau membantu menyuapi anak, dan hasilnya lebih berantakan dari saat anak makan sendiri, suami kembali kena semprot istri.

Saya pernah juga beberapa kali mendapati istri yang menjatuhkan harga diri suami di depan anak-anaknya. Saat suami menasihati anaknya, sang istri membantah dan menyatakan hal yang berlawanan (yang sebaliknya juga banyak sih, istri nasihatin anak suami malah belain). Pengalaman-pengalaman seperti ini seringkali membuat suami memilih mundur dan lepas tangan karena merasa usahanya sia-sia. Sang istri toh sudah terlalu perkasa.

Lelaki adalah makhluk yang memiliki gengsi tinggi. Semakin kita mengungkapkan penghargaan, semakin ia jatuh di pelukan. Semakin kita meremehkan, semakin jauh ia berkeliaran.

Percayalah ada 1001 usaha suami yang patut diapresiasi manakala mau melihat dengan mata baik sangka dan hati seluas samudera. Katakan dengan verbal penghargaan dan terimakasih atas usaha suami membersamai anak meski jauh dari sempurna.

Tips 4: banyak ngobrol dan berkegiatan bersama. Trik bikin obrolan asyik bagai pengantin baru sudah pernah saya tulis di sini: http://jejakyundafitrian.blogspot.co.id/2018/03/malas-ngobrol-dengan-pasangan-ini-6.html , silakan dibaca lagi.

Kegiatan bersama biasanya akan asyik kalau istri mau coba mengikuti hobi suami. Tidak harus memaksakan diri untuk suka semua yang suami sukai. Pilih satu kegiatan saja yang kita bisa ikuti agar bisa masuk lebih jauh ke dunianya. Dengan berkegiatan bersama, pintu obrolan terbuka.

Saat itulah istri bisa mulai berbincang santai tentang harapan dan hasil belajarnya (di seminar atau komunitas parenting). Tentu saja, di awal jangan langsung bicara masalah dan curhat lainnya. Apalagi membandingkan suami dengan ayahnya Si Fulan dan Fulanah. Bisa kelar acara ngobrol ganti perang dunia ketiga :D

Bicara yang ringan dulu dan menggugah selera. Pastinya jauhkan juga urusan yang berhubungan dengan dompet. Biarkan langit rumahtangga bebas sejenak dari tagihan SPP sekolah anak dan hutang cicilan rumah :D

Tips 5: jadilah problem solver. Ketika anak punya masalah, istri bisa memberikan solusi berdasarkan hasil belajarnya. Minimal punya referensi informasi.

Alih-alih mencari siapa yang salah, lebih bijak mengajak suami mengenang kembali betapa bahagianya mereka  saat pertama kali bergelar orangtua.  Apakah kebahagiaan itu akan tersia-sia atau terus diperjuangkan bersama?

Posisikan diri sebagai survivor, bukan korban. Bahasakan bahwa suami punya kekuatan yang tak dimiliki istri, untuk melalui badai bersama-sama.  Dan bukankah anak ini adalah hasil ‘karya’ bersama pula?

Tips 6: kenalkan tokoh parenting laki-laki. Bagi saya ini penting. Sebab ketika yang bicara sesama lelaki, suami akan merasakan lebih banyak kesamaan sudut pandang dan pengalaman.

Titik balik suami saya sendiri ketika beliau mengikuti seminar Abah Ihsan bersama saya yang sedang hamil besar anak ketiga (bisa dihitung berapa tahun perjuangan saya sodara sodaraa).  Gaya Abah yang entertaining, membuat suami hepi dan gak berasa diceramahi tentang anak.

Dari situ Alhamdulillah lanjut ikut program workshop 2 harinya Abah (PSPA). Sampai sekarang,  kami makin sering pergi bareng ke seminar parenting, meski bukan Abah pengisinya. Malah kadang suami yang ngajak saya ke seminar parenting, atau dia pergi sendiri ketika saya belum bisa hadir.

Tidak harus Abah Ihsan kok. Ada Ustadz Bendri,  Ayah Irwan Rinaldi, Pak Dodik Mariyanto, Ustadz Budi Ashari, dan ayah-ayah lain yang mungkin bisa jadi jalan hidayah bagi para suami untuk menyadari perannya sebagai imam keluarga. Pastikan saja, kita sebagai istri tidak membandingkan suami dengan tokoh-tokoh tersebut, karena suami malah bisa jadi ilfil dan makin ogah belajar bersama.

Tips 7: berdoa dan lakukan amalan istimewa. Siapa yang mampu membolak-balik hati manusia jika bukan Allah, pemiliknya? Di bulan Ramadhan ini, tiap detiknya adalah waktu berdoa yang mustajab. Mari terus doakan suami agar mampu menjadi imam bagi keluarga, bahkan imam bagi lingkungan sekitarnya.

Bulan baik ini juga menjadi momentum yang paling tepat untuk memulai amalan istimewa dan berbagai kebiasaan baik lainnya. Bisa dengan amalan ibadah khusus yang sifatnya ritual, atau kebiasaan baik yang sifatnya muamalah. Untuk yang terakhir disebut, boleh dibaca lagi tulisan saya yang ini http://jejakyundafitrian.blogspot.co.id/2018/04/kecil-kecil-cabe-rawit.html .

Alhamdulillah, selesai sudah saya berbagi ide untuk Ramadhan Berdaya kita. Tentu, belajar mendidik anak tidak harus dengan ikut seminar parenting. Namun ikut seminar parenting adalah satu titik tolak yang sangat berpeluang membuka pintu kesempatan belajar mendidik anak. Ada sensasi dan penghayatan yang lebih dalam ketika hadir langsung dan menyimak ilmu dalam seminar parenting, dibanding hanya membaca artikel, buku, atau streaming.

Berbahagialah para istri yang suaminya sudah alert masalah parenting ini, bahkan menjadi imam sejati yang memandu biduk rumahtangga tanpa istri harus bersusah payah menyadarkannya.

Bersyukurlah para istri yang suaminya selalu mengizinkan untuk terus belajar, meski ia sendiri belum mau bergabung. InsyaAllah akan ada waktunya ia tergerak karena melihat perjuangan istri.

Bersabarlah, terus berusaha bagi para istri yang suaminya jauh dari sosok imam keluarga, atau telah menjadi single parent karena berbagai sebab. Yakinlah Allah tak pernah menguji di luar batas kesanggupan hamba-Nya. Bukankah Maryam mendidik Isa Alayhissalam tanpa sosok ayah? Begitu pula di sekitar kita, ada banyak perempuan tangguh yang membesarkan anak-anaknya sendirian, dan mereka berhasil.

InsyaAllah ada pahala berlimpah atas setiap jerih payah dan airmata doa yang menyertai perjuangan para istri untuk mengajak suaminya belajar bersama.

Wallahu a’lam bish shawab. Semoga membawa manfaat bagi yang membaca, membagi, atau mempraktekkannya J

Salam Semangat Belajar,
Yunda FItrian, Penulis Buku Yakin Dia Jodohmu?





















No comments:

Post a Comment