Friday 2 June 2017

Nice Home Work #3 Kelas Matrikulasi IIP



Bagi anda yang sudah berkeluarga dan dikaruniai satu tim yang utuh sampai hari ini.

a. Jatuh cintalah kembali kepada suami anda, buatlah surat cinta yang menjadikan anda memiliki "alasan kuat" bahwa dia layak menjadi ayah bagi anak-anak anda.Berikan kepadanya dan lihatlah respon dari suami.

b.Lihatlah anak-anak anda, tuliskan potensi kekuatan diri mereka masing-masing.

c. Lihatlah diri anda, silakan cari kekuatan potensi diri anda. kemudian tengok kembali anak dan suami, silakan baca kehendak Allah, memgapa anda dihadirkan di tengah-tengah keluarga seperti ini dengan bekal kekuatan potensi yg anda miliki.

d. Lihat lingkungan dimana anda tinggal saat ini, tantangan apa saja yang ada di depan anda? adakah anda menangkap maksud Allah, mengapa keluarga anda dihadirkan disini?

***
#Puzzle Cinta Yunda

"Yunda mau nikah sama Edwin? Alhamdulillah ya baguslah, cocok. Yunda kan orangnya rada kaku, Edwin lentur"
"Kamu yakin mau nikah sama Yunda? Saya lihat kepribadiannya ada hal hal yang belum selesai"
"Yunda kok mau nikah sama Edwin? Yunda kan akhwat banget, Edwin rada pecicilan"
Itulah beberapa komentar yang sempat terdengar tentang pernikahan kami.
Pernikahan yang mengagetkan karena kami berdua satu fakultas tapi tak pernah terlihat berdekatan. Menggemparkan karena bulan itu kami semua sedang sibuk sibuknya dikejar deadline skripsi. Mungkin juga karena lelaki bernama Edwin ini adalah presiden mahasiswa di kampus kami, yang baru saja berakhir masa jabatannya.

Bagi saya pribadi, lamaran Kak Edwin-begitu saya memanggilnya-seperti sebuah tamparan dari Allah.
Sebab saat itu, saya sedang dekat dengan lelaki lain yang saya tahu tidak bisa satu visi dengan saya.
Saya sedang bermain api maksiat karena menjalin hubungan yang tidak sesuai syariat dengan seorang sahabat.
Saya dan orang itu sedang berusaha agar kami bisa menyatukan hati.
Meski secara logika, saya dan dia sama sama tahu kami tak seirama.

Tapi jodoh memang rahasia Allah. Benar benar kehendak Allah ketika tiba tiba orangtua sahabat saya, yang katanya sudah memberi restu, menunda untuk berkenalan dengan sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Tertundalah kelanjutan proses kami untuk melangkah lebih jauh.

Saat itulah Kak Edwin datang. Tanpa sinyal cinta sebelumnya. Tanpa pernah memberi saya harapan hampa. Menjaga rapat rahasia tekadnya untuk meminang saya agar tak ada rasa yang menyimpang sebelum dihalalkan di hadapanNya.

Tawaran Kak Edwin menyadarkan saya bahwa lelaki yang baik itu adalah yang menjaga perempuan agar tak menodai hati karena pesonanya.
Ia seolah menegur saya tentang idealisme yang selama ini diajarkan oleh guru guru saya. Bahwa menikah itu bukan karena nafsu, menikah itu karena visi.
Bahwa ketika menikah, yang kita pertimbangkan adalah manfaat untuk umat, bukan sekadar menyalurkan syahwat.

Kakak kelas saya itu menitipkan sepucuk surat pada adik saya. Surat yang intinya menyatakan ia meminta saya berjihad bersama di jalanNya.

Bukan, bukan janji manis dan rayuan yang ada di surat itu.
Surat itu begitu santun, meminta saya memberi kepastian apakah saya sudah berproses dengan orang lain atau belum. Jika belum, apakah bersedia berjuang bersamanya dalam madrasah peradaban bernama rumah tangga.
Ya, bahkan istilah madrasah peradaban itu saya dapat dari biodatanya, bagian visi misi menikah.

Jelas sudah siapa yang harus saya pilih. Orang yang sudah punya peta jihad di kepalanya. Bukan orang yang saya anggap cinta pertama.

Begitulah. Hingga tahun ke-8 ini saya makin mencintai suami saya. Makin menyakini ia separuh agama yang Allah berikan untuk menyempurnakan keimanan saya.

Ia yang sabar dan lembut, Allah hadirkan untuk saya yang masih belajar menata emosi.
Ia yang berani ambil resiko, Allah amanahkan pada saya yang penuh pertimbangan, cenderung antisipatif dan ekstra hati hati dalam membuat keputusan.
Lelaki yang begitu spontan, humoris, mudah bergaul, Allah pasangkan dengan saya yang kalem, serius, ramah tapi tidak ramai.
Lelaki yang dianugerahkan Allah keluarga yang utuh, dipertemukan dengan saya yang berasal dari orangtua bercerai.
Seorang ayah yang masa kecilnya penuh kebahagiaan dilengkapi Allah dengan seorang ibu yang masih berusaha berdamai dengan masa kecilnya.
Pria yang terus berjuang memperbaiki ibadahnya diiringkan Allah bersama dengan wanita yang selalu berusaha mendahulukan ibadah sebelum segala sesuatunya.
Lelaki yang memukau public speaking nya dilengkapi Allah dengan perempuan yang berbakat merangkai kata dalam tulisan.
Lelaki yang pembawaannya santai dan ekspresif dipertemukan Allah dengan perempuan yang kaku nan datar.

Saya belajar banyak bagaimana ceria di hadapan anak dan bersabar dari suami.
Suami pun belajar dari saya tentang perlunya tegas dan terencana.

Kami sering berdiskusi tentang refleksi pernikahan. Apa yang sudah kami capai, sejauh mana visi misi di awal pernikahan sudah kami laksanakan.
Setiap tahun kami melakukan rapat kerja. Merumuskan poin poin kesepakatan untuk mencapai daftar impian kami. Mengevaluasi hal hal yang masih perlu kami perbaiki.
Alhamdulillah, di tahap ini kami sudah tahu mengapa Allah mempertemukan kami.

Sejak awal menikah kami bertekad untuk bersinergi dalam kebaikan agar rumah tangga kami menjadi madrasah peradaban yang memancarkan cahaya keindahan Islam (kami ketik ini dan sempat menempelnya di tahun tahun awal menikah).

Tentu saja semua tidak berjalan selalu mulus. Ada disorientasi, naik turun iman dan semangat. Ada kerikil kerikil konflik yang menghambat. Bagaimanapun, alhamdulillah kami masih bersama dalam satu cita cita.

Di tahun keempat pernikahan, saya pernah merasakan malam malam penuh airmata. Saya menjaga jarak dan menciptakan perang dingin dengan suami.
Saya kecewa dengan beberapa hal yang dilakukan suami. Sampai saya menulis surat curhatan pada suami. Isinya tuntutan demi tuntutan, kekecewaan demi kekecewaan.

Alhamdulillah semua sudah kami bicarakan baik baik. Saya sudah berdamai dengan semua itu. Saya tahu, Allah mendatangkan jodoh sesuai dengan kebuhan kita. Saya belajar membedakan mana yang masih bisa saya coba ubah dari suami dan mana yang harus saya terima saja. Berharap terlalu tinggi hanya akan membuat saya lebih dekat ke jurang kekufuran. Juga takabur terhadap diri sendiri.

Maka kesempatan menulis surat cinta kali ini-di tahun kedelapan pernikahan- saya optimalkan untuk mengapresiasi suami. Tidak ada curhatan berisi kekecewaan atau tanggapan negatif terhadapnya. Saya sudah berdamai, mengikhlaskan hati karena sesungguhnya kebaikan suami jauh lebih banyak, lebih besar, lebih penting untuk saya syukuri.

Tiap kalimat yang saya tulis diiringi tetesan airmata haru karena Allah begitu baik pada saya. Menitipkan suami yang menjadi pakaian indah menutupi kekurangan saya.
Selesai membaca surat, suami saya tersenyum lebar sekali. Seperti belum pernah selega itu perasaannya. Matanya berbinar penuh cahaya kebahagiaan. Dugaan saya tepat, suami saya juga meneteskan airmata. Ia mengecup kening saya dan berterima kasih.
#Puzzle Cinta Keluarga Edwin dan Yunda

Kami diamanahkan 3 orang putri. Faza 7 tahun, Nafsa 4 tahun, dan Naura 11 bulan.
Faza si sulung terlihat secara fisik seperti fotokopian ayahnya. Sementara 'dalemannya' seperti saya. Mulai dari hobi, kecerdasan bahasa sampai sisi emosionalnya.

Faza sangat berbakat dengan kemampuan verbal dan visual spasialnya. Kosakatanya banyak, senang bercerita, menulis, dan menggambar, membaca, juga punya kepemimpinan yang tinggi, pengertian, dan suka belajar.

Saat ini cita citanya menjadi chef, dokter, dan pelukis.
Alhamdulillah Faza anak yang terlihat komitmen dengan kesepakatan kami di rumah. Ia sangat disiplin tentang aturan nonton tv, main, dan jajan. Meskipun tidak sedang bersama orangtua, Faza akan bertahan dengan kesepakatan di rumah.

Tugas berikutnya yang masih kami perjuangkan adalah mengkondisikan Faza untuk belajar sholat. Sejauh ini masih menjadi tantangan kami untuk mengajaknya sholat 5 waktu, terutama subuh. Kami masih harus berusaha keras membuatnya menikmati sholat.
Kami juga perlu melatih Faza untuk lebih fleksibel, mengurangi dominasinya pada orang lain. Saya terkadang khawatir teman temannya tidak nyaman karena Faza sering mengatur dan inginnya dituruti aturannya. Ini sudah sering terjadi pada adiknya ketika main bersama. Ujung ujungnya adiknya kabur atau menangis karena tidak mau dipaksa.

Perjuangan lainnya adalah melatih Faza membereskan bekas pakaian dan mainannya. Seperti anak lain, ia lebih suka bermain dan mengeksplorasi tanpa harus membenahi.

Nafsa, si anak tengah adalah pribadi yang lebih ekspresif. Jika senang ia sangat terlihat ceria, sebaliknya jika sedih, kesal, marah, tantrumnya cukup menguras energi.

Potensi Nafsa yang paling terlihat saat ini adalah keterampilan motoriknya. Ia sangat lentur dalam menari, melompat, naik sepeda, sampai ke motorik halus seperti menggunting, menggambar, dan melipat. Kecerdasan verbalnya juga cukup menonjol. Ia suka mengarang cerita dan lagu dengan kata katanya sendiri.

Nafsa juga kidal sehingga kemungkinan potensi kreatifnya masih lebih banyak yang harus digali.
Tugas kami sebagai orangtua adalah membantu Nafsa mengenal dan mengelola emosinya. Selain memperhatikan asupan gizinya, karena berat badannya sangat sulit naik.

Berbeda dengan anak bungsu kami, Naura. Alhamdulillah sampai saat ini kenaikan berat badannya stabil di kurva anak sehat. Di usia yang baru 11 bulan, Naura terlihat menunjukkan perkembangan sesuai tahapan standar anak seusianya.

Saat ini ia sedang belajar jalan dan berbicara. Hobinya mengeksplorasi rumah dengan merangkak ke sana kemari. Giginya sudah 8 buah dan senang menggigit apa saja.

Sebetulnya, di masa kehamilan Naura saya mengalami peristiwa yang cukup membuat stres. Ini terkait dengan nenek saya, yang tinggal bersama kami sejak Faza lahir. Beliau mulai menunjukkan gejala dementia. Kecurigaan demi kecurigaan membuat rumah kami serasa penuh konspirasi di mata beliau.

Sehari sebelum melahirkan Naura, beliau tantrum sampai tetangga berdatangan. Bukan yang pertama sebenarnya, sudah pernah terjadi 2 tahun lalu. Memang kondisi emosional nenek sudah menjadi PR sejak saya tinggal bersamanya di waktu kecil.

Saya dan suami berjuang keras agar keluarga kami tetap stabil. Agar anak anak sedapat mungkin tidak menyerap perilaku negatif yang acapkali ditampilkan nenek uyut mereka.

Kami selalu berusaha mencari hikmah, mengapa kondisi seperti ini terjadi pada kami. Saya pribadi masih terus berjuang memperbaiki mindset terhadap perilaku nenek. Sekaligus berusaha berdamai dengan masa lalu saya bersama beliau. Bagaimanapun, beliau adalah pahlawan di masa kanak kanak saya.

Saya percaya Allah tidak pernah menzalimi hambaNya. Selalu ada kebaikan dalam semua kehendakNya. Tugas manusialah untuk menggunakan akal dan hati mengemban amanahNya.

Kami berlima tinggal di sebuah kampung yang sangat strategis. Kiri kanan kami perumahan elite. Sayangnya, di lingkungan kami saat ini, anak anak terlihat kurang pengawasan yang memadai. Mereka bermain di luar rumah seharian. Beberapa kali terlihat anak di bawah umur mengendari motor, remaja yang nongkrong hingga dini hari, serta kasus hamil diluar nikah.

Meskipun demikian, lingkungan kami masih didominasi dengan suasana pesantren yang kental (dekat dengan kompleks pesantren). Alhamdulillah kegiatan keagamaan masih menjadi alternatif di sini.

Belum lama ini, yakni 14 Mei lalu kami mulai membuka taman baca dan main. Selain sesuai dengan impian pribadi, tempat ini juga salah satu wujud misi spesifik pernikahan kami. Langkah ini memang masih sangat kecil untuk menjawab kebutuhan anak anak sekitar akan tempat bermain yang bermanfaat.Meskipun demikian, ia tetap mendatangkan harapan dan semangat baru bagi kami. Mungkin inilah alasan mengapa Allah menghadiahkan rumah murah yang tak kami sangka akan dapat kami miliki di kampung ini.
(Btw boleh mampir ke ruang donasi kami:
https://m.kitabisa.com/tamanbacakadopernika?ref=49b1a&utm_source=campaign-registration&utm_medium=sharebutton&utm_cpaign=userreff
Semoga bisa ikut berbagi, hehe).

Alhamdulillah, terimakasih bagi yang sudah sabar membaca tulisan ini. Semoga menjadi pengingat bagi diri saya sendiri dan inspirasi bagi yang membacanya.


No comments:

Post a Comment