berbagi inspirasi : January 2018

Monday 29 January 2018

Aliran rasa tantangan 10 hari melejitkan kecerdasan anak




Tantangan kali ini rasanya cukup warna warni. Di awal saya bersemangat dan optimis tantangan akan menjadi sarana belajar yang menyenangkan. Di tengah perjalanan, dengan situasi rumah yang mulai dipersiapkan pindah, aktivitas pribadi saya, suami, dan si sulung, akhirnya tantangan ini belum tergarap dengan optimal.

Meskipun demikian, setelah membaca review materi, saya bertekad kembali mengoptimalkan family project ini. Memang sepertinya beberapa pekan ini kami disibukkan dengan beberes rumah yang tak kunjung selesai.

Selama mengerjakan project, saya menjadi lebih memahami sudut pandang si sulung. Memiliki waktu bersama, dan peluang khusus untuk bicara dari hati ke hati.

 Catatan ke depannya saya perlu lebih banyak mengapresiasi si sulung serta melibatkan suami untuk mengerjakan project bersama. Sepertinya saya harus membuat project lebih fun dan menarik. Selain itu, forum keluarga harus mulai aktif kembali dan sebisa mungkin tercatat dengan baik.

Semoga Tim Kerjasama makin berdaya :)


Friday 26 January 2018

Tantangan Hari ke-10 Melejitkan Kecerdasan Anak


Hari terakhir, saya bertanya kesan dan perasaan Faza setelah menjalankan proyek Faza Bercerita.
Ia mengaku senang dan merasa proyeknya seru. Matanya pun berbinar dan terlihat antusias. Meskipun menurut saya pengakuan tersebut agak berkebalikan dengan kesigapannya saat saya meminta ia syuting.


Tantangan Hari ke-9 Melejitkan Kecerdasan Anak

Hari kesembilan, Faza kembali syuting video dengan posisi favoritnya '-'


Wednesday 24 January 2018

Tantangan Hari ke-8 Melejitkan Kecerdasan Anak

Di hari kedelapan, Faza masih belum menenyebutkan banyak hal untuk disyukuri. Ia hanya menyebutkan satu poin besar yang mungkin dirasa paling menarik hari itu.

Di hari kedelapan lalu, ia menyebutkan nikmat yang disyukuri adalah dibelikan mainan oleh saya. Kebetulan memang hari itu paket pesanan mainan datang.

Sepertinya memang masih perlu terus berlatih untuk menajamkan kepekaan si sulung terhadap berbagai nikmat Allah.

#Tantangan hari ke-8
#Kuliah_bunsay_iip
#game level 3
#kami_bisa

Tuesday 23 January 2018

Resume Seminar LGBT: Kenali, Tangani, Hadapi bersama Ustadzah Vira Chandra

Jangan Musuhi Pelangi




Selasa lalu, 3 jam sebelum gempa 6 skala richter di Lebak turut mengagetkan kami di Tangsel, saya baru saja mengikuti kajian Majelis Taklim Sekolah Sinar Cendekia BSD. Judulnya LGBT: Kenali, Tangani, Hadapi. Pembicaranya adalah Ibu Vira Chandra, seorang ustazah yang juga Ketua Bidang Pendidikan Aliansi Cinta Keluarga.

Jadi saat gempa terjadi di kepala saya masih terngiang ngiang kisah penduduk sodom yang berakhir dengan terbaliknya bumi. Bikin merinding gimanaa gitu. Berasa langsung simulasi...Simulasi azab :(

Pembahasan ustazah Vira dimulai dengan menampilkan pengertian sex, gender, dan istilah fiqh kontemporer terkait tema ini. Secara biologis, sangat jelas dan tak terbantahkan Allah hanya menciptakan dua jenis kelamin: lelaki dan perempuan (istilah sex).


Sementara secara sosial, kejelasan ini menjadi buram manakala batas perilaku lelaki dan perempuan dikaburkan (penyimpangan gender). Gender sendiri merupakan sekumpulan karakteristik maskulin (untuk lelaki) dan feminin (untuk perempuan) yang dibentuk oleh nilai nilai masyarakat. Kalau dalam Islam, jelas lelaki dan perempuan SETARA dengan kodrat masing masing yang khas sesuai keunikannya. Tidak serta merta sama.

Dalam kajian fiqh kontemporer ada istilah khuntsa, yakni manusia berkelamin ganda. Khuntsa pertama kali tercetus dalam hukum Islam ketika Amir Adh Dharab, seorang hakim, didatangi oleh seorang ibu yang melaporkan keadaan anaknya yang berkelamin ganda.


Kasus khuntsa diputuskan sedemikian rupa dalam Islam hingga jelas orang tersebut akan dihukumi sebagai pria atau wanita. Sebab dalam Islam, hukum untuk lelaki dan perempuan sangat spesifik dan disesuaikan dengan keunikan masing masing. Mulai dari masalah berpakaian, ibadah, hingga waris dan muamalah.


Khuntsa berbeda dengan al mukhannats (lelaki menyerupai perempuan) dan al mutarajil (perempuan menyerupai lelaki). Keduanya tidak diperkenankan dalam Islam.

Namun demikian, sikap seorang Muslim tidaklah mencela, mengejek, atau mengucilkan orang orang yang bingung dengan identitas gendernya. Justru sebagai rahmat semesta alam, kita harus merangkul dan mengajak mereka kembali pada fitrahnya, sesuai kondisi biologis mereka.

Ustazah Vira juga menyinggung tentang usaha pembelaan kaum menyimpang ini dengan berbagai penelitian yang ingin membuktikan bahwa gay adalah genetik. Namun tidak ada satupun penelitian tersebut yang dapat memvalidasi gay sebagai bawaan lahir. Saya juga pernah membaca di buku Fitrah Based Education tentang ini. Perdebatannya bisa sangat panjang dan saya ikut aturan Allah saja yang sudah jelas hanya menyebut dua jenis kelamin untuk manusia #cariaman.


Sejatinya, jauh di lubuk hati sebagian mereka mungkin merasa bahwa ini bukanlah jalan kebenaran. Namun seringkali mereka terjebak untuk melanjutkan kesalahan ini karena terlanjur dibuang oleh keluarga dan lingkungannya. Inilah mengapa penting bagi kita untuk tidak membenci  pembawa bendera pelangi. Perilakunya lah yang kita musuhi.

Banyaknya propaganda dan pembelaan terhadap kaum penyimpang ini adalah akibat isu bullying yang digembar gemborkan. Akhirnya mereka menjadikan bullying ini sebagai bumerang bagi para pelakunya sendiri. Sebagai korban mereka menuntut kesamaan hak agar bebas dari diskriminasi.


Setting play victim yang mereka mainkan sangat berhasil. Terbukti saat ini di Indonesia saja sudah ada 119 organisasi berbendera pelangi dengan pendanaan milyaran dari UNDP. Tuntutan utama mereka adalah legalisasi pernikahan sejenis, yang sudah terpenuhi di lebih dari 20 negara.

Mereka juga gencar melakukan kampanye melalui media. Mereka mengusung hak asasi manusia sebagai tameng hukum yang melindungi perbuatan menyimpangnya. Film dan berbagai karya bertema cinta sejenis dipublikasikan untuk menarik simpati.Berdalih cinta tak bisa disalahkan. Kalau aku cinta sesamaku dan ingin menikahinya, itu hak kami. Begitu kira kira pesan mereka.

Di Amerika sendiri ada parade tahunan kaum gay dan lesbian yang begitu semarak sekaligus menyeramkan (bagi kami). Facebook, whatsapp, android, youtube menyediakan banyak sekali pintu masuk ke dunia pengingkar fitrah ini.



Dari berbagai media sosial itulah, mereka masuk ke tempat teraman: rumah kita. Mbak Farras, anak Ustazah Vira, memaparkan hasil temuan kasus yang ia hadapi. Dua keluarga Islami yang anak anaknya disekolahkan di sekolah Islam, turut menjadi pelaku tindakan sodomi. Padahal sekilas, keluarga dan lingkungan mereka terlihat aman.

Kakak beradik sesama lelaki ini melakukan sodomi meniru video di internet. Mereka tidak paham itu apa, hanya permainan yang mendatangkan sensasi tersendiri saja. Bahkan di keluarga yang satu lagi, permainan itu dilakukan di masjid, diantara waktu maghrib ke isya. Sampai sebelas anak yang terlibat. Kami hanya bisa istighfar dan mengucap naudzubillahi min dzalik.

Semua tidak akan berhenti sampai di sini. Semakin kita lalai dari anak anak, semakin dekat mereka menjangkau rumah kita. Semakin kita keras, kasar, dan over protective pada anak, semakin besar energi anak untuk memberontak. Maka yang dapat dilakukan adalah menjadi orangtua yang diidolakan anak. Dipercaya untuk menjadi tempat bertanya dan berbagi rahasia. Tempat anak mengambil nilai nilai prinsip untuk menghadapi hidup di zamannya.

Sosok ayah dan ibu sangat penting untuk selalu dekat dengan anak. Terlibat dalam kegiatan bersama, terikat dalam satu ikatan kasih sayang bernafaskan cinta padaNya. Semua itu penting agar anak memiliki imunitas dari berbagai penyakit mengerikan di zamannya.

Selain itu, orang tua juga perlu kenal dan berkomunikasi dengan lingkungan sekolah maupun pertemanan anak. Jangan ragu bertanya pada sesama orangtua, guru, maupun teman teman anak tentang perilaku anak saat tak berada bersama kita.

Alhamdulillah selesai sudah hutang saya. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah. Terimakasih telah membaca dan menyebarkan :)

Yunda Fitrian, 250118

Notes: beberapa slide seminar




Tentang Postpartum Depression


Saat sebagian orang bersemangat dengan resolusi tahun baru, dua ibu muda ini justru putus asa karena merasa hidup tinggal jalan buntu.

Masalah demi masalah yang sejak usia dini bertumpuk dalam diri, tak mampu terurai menjadi solusi. Keputusan untuk menyudahi gelapnya hidup mereka pilih. Bagi mereka, jalan terang itu adalah mati.

 Tak serta merta keputusan itu diambil. Semua sudah melalui pertimbangan masak masak. Termasuk memikirkan anak anak. Jika ibunya pergi, bagaimana nasib mereka? Tentu akan lebih sengsara tak ada yang peduli. Jangan sampai mereka merasakan pahit yang sama. Mereka lebih baik dibawa mati.

Dua berita memilukan tentang ibu muda ini mengusik hati saya. Seingat saya, bukan sekali ini terjadi. Setelah saya telusuri, benar adanya kasus kasus ini hampir tiap tahun terjadi. Itu yang tercatat, entah yang tidak.

Saya tidak ingin berpanjang panjang menjelaskan tentang apa yang terjadi. Kita semua bisa cari tahu sendiri (baca postpartum depression, PPD). Saya hanya ingin mengajak kita sama sama mencari solusi.

Kemarin pagi, saya berbagi kegelisahan ini di dua grup WA. Pertama grup alumni psikologi UI 2005, yang kedua grup komunitas Ibu Profesional Tangsel. Alhamdulillah saya mendapatkan secercah titik terang. Di grup pertama, seorang teman berbagi pengalaman melahirkan di Australia.

Di sana, setelah melahirkan bidan datang berkunjung untuk memberikan pelayanan kesehatan. Bidan akan rutin berkunjung sampai bayi agak besar jika terlihat sang ibu sendirian atau butuh bantuan.

Dalam beberapa minggu setelah melahirkan, ibu juga diminta mengisi kuesioner kesehatan mental. Jika ada indikasi gangguan kesehatan mental, ibu akan dirujuk ke dokter. Dua langkah terakhir ini yang mungkin belum ada di Indonesia dan perlu dilakukan.


Kalau bidan datang ke rumah, saya sempat mengalami saat kelahiran anak ketiga. Dan rasanya memang beda ya, seperti ada yang sangat peduli, mendukung, sekaligus memberi solusi dengan keilmuan mumpuni.

Sharing lainnya dari teman teman adalah program konseling keliling dari para psikolog. Ada yang mencontohkan mobil konseling keliling di Bandung, atau program konseling di mall di Jakarta yang dilakukan salah satu teman kami.

Selain itu juga mengoptimalkan kehadiran psikolog di (sebagian) puskesmas. Kami menyadari, sebagian masyarakat masih memandang tabu mendatangi psikolog. Seolah label sakit jiwa itu akan langsung melekat. Padahal, justru orang yang datang ke psikolog adalah orang yang sehat mental karena bisa diajak bekerjasama untuk mengendalikan diri sendiri.

Sementara di grup sebelah, saya juga mendapatkan sharing yang menarik. Di Bogor, komunitas Ibu Profesional pernah mengadakan program Pelita (Peduli Ibu dan Balita). Bentuknya sosialisasi dan konseling terkait PPD.

Selain itu, teman teman juga mengatakan kami bisa menjadi bagian dari solusi dengan lebih peka terhadap sesama. Orang orang yang mengalami PPD ini sangat mungkin tertolong jika sejak awal diketahui tanda tandanya, dan ada yang begerak menolong. Bisa jadi mereka memang tidak sanggup bercerita, atau di lingkaran terdekatnya tidak ada yang peka meski ia sudah menunjukkan tanda tanda.

Selain itu, teman teman juga setuju untuk lebih terlibat kegiatan masyarakat seperti posyandu, taklim ibu ibu maupun PKK. Tak ketinggalan, aktif memberi informasi dan solusi terkait permasalahan para ibu melalui media sosial kami masing masing.

Satu hal yang masih mengganjal adalah, jangkauan dari berbagai alternatif solusi ini. Sebab beberapa kejadian yang tercatat berlangsung di daerah, bukan pusat kota. Di pusat kota animo masyarakat dan SDM terkait mungkin masih sangat memadai.

Akhirnya, mari lakukan apapun yang bisa kita lakukan. Sebab menjadi bagian dari solusi adalah cara bersyukur kita atas nikmatNya.

Teriring salam terimakasih atas  teman teman yang sudah berbagi di grup psikologi 2005 dan komunitas ibu profesional tangsel.

Yunda Fitrian, 250118

Notes:

kuesioner PPD link kiriman Fatimah psikologi 2005:
https://www.beyondblue.org.au/health-professionals/perinatal-mental-health/perinatal-mental-health-questionnaires

Gejala PPD:

www.bidankita.com/10-tanda-depresi-post-partum-depresi-paska-melahirkan/

Sunday 21 January 2018

Tantangan Hari ke-7 Melejitkan Kecerdasan Anak


Baru sempat menuliskan lagi hasil proyek Faza Bercerita.

Hari Sabtu lalu Faza memutuskan ingin menulis saja ceritanya. Ia mengaku bersyukur karena bisa bermain di rumah neneknya.

Sehari sebelumnya, saya membacakan terjemahan Alquran surat Arruum tentang tanda tanda kebesaran Allah. Si sulung mendengarkan dengan baik dan memberikan respon positif.

Semoga kecerdasan spiritualnya semakin terasah.

#Tantangan hari ke-7
#Kuliah_bunsay_iip
#game_level_3
#kami_bisa

Menulis untuk Bahagia-Review Kelas Belajar Menulis IIP Tangsel


👩🏻‍💻Menulis untuk Bahagia 😇😇👸🏻👸🏻

Apa yang teman teman rasakan setelah selesai menuliskan sebuah pengalaman?

Lega, senang, puas, atau justru lesu, sedih, kecewa?

Terlepas dari apapun pengalaman yang kita tulis, biasanya ada sedikit kelegaan ketika sudah meluapkan perasaan lewat tulisan.

Kata kata yang kita pilih, kalimat yang dirangkai, adalah hasil kerja otak untuk 'berdamai' dengan kegaduhan rasa di jiwa. Saat kita menulis, pengalaman dan perasaan menjadi terstruktur, terurai jelas menjadi pemahaman tentang hikmah (insight). Oleh karena itu, menulis menjadi salah satu kegiatan terapeutik dalam berbagai sesi konseling.

Beberapa penelitian di dunia psikologi dan kesehatan membuktikan, terapi menulis membantu orang meningkatkan daya tahan tubuh. Efek terapi dari menulis dapat dirasakan jika tulisan mampu menghadirkan sudut pandang positif atas kejadian yang dituliskan.

Menggunakan kata kata 'karena', 'mengerti’, 'menjadi' sebagai bentuk pemahaman akan sebab akibat membantu seseorang memaknai pengalaman tidak menyenangkan maupun traumatis menjadi sudut pandang baru yang lebih bijaksana. Jadi menulis sebagai terapi bukan sekadar mengumpulkan kata, melainkan mencari makna.

Tulisan Mba Wenti saya pilih karena berhasil membuktikan efek terapi dari menulis. Mba Wenti mampu membangkitkan rasa bahagia dari hasil menuliskan pengalaman masa kecil yang menyenangkan.

 Semoga teman teman di sini juga merasakan manfaat yang sama dari menulis. Lalu tiba tiba, saat menuliskan ini saya membayangkan anak anak kita membaca tulisan kita tentang masa kecilnya...betapa tulisan kita akan jadi harta karun amat berharga bagi mereka.

Semoga jadi tambah semangat menulis yaa buibu semua ✍🏼💪🏻💪🏻🔥⚡❄

Sekian review dari saya, mohon maaf jika tidak memberikan tips khusus tentang menulis. Semoga memberikan perspektif baru tentang kegiatan menulis. 💍🏌🏼‍♂💡💎🌈

Bagi yang mau intip intip referensi silakan klik tautan di bawah ini. Terimakasih teman teman atas waktu dan tulisannya 🙏🏻🧕🏻😇❤

www.apa.org/monitor/jun02/writing.aspx

scholar.google.co.id/scholar_url?url=http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED436788.pdf&hl=en&sa=X&scisig=AAGBfm3SW_lxNvmIIps_Ku9PJIuIMjy1Jw&nossl=1&oi=scholarr&ved=0ahUKEwiL_tP1oefYAhVDLo8KHa2SD34QgAMIHSgAMAA

Tulisan Mbak Wenti:

 Ketika Menulis Membuatmu Bahagia..

Salah satu hal yang menjadi perhatian saya di tahun ini adalah saya ingin mencoba fokus pada hal-hal yang membuat saya bahagia. Kalau kata orang, seorang ibu itu harus bahagia karena ia bisa menularkan kebahagiaan itu kepada seluruh keluarganya. Dan saya pikir, ah ada benarnya juga. Saya tidak butuh me time yang ribet-ribet, harus dinner ke restoran lah, harus nonton ke bioskop lah, harus pergi liburan kesini dan kesitulah.. (ah masa sih ga butuuh?  ߘ←. Saya tidak terlalu menuntut me time yang semacam itu karena pada dasarnya saya memang lebih suka dirumah. Saya hanya ingin punya waktu untuk menulis. Itu saja..

Sudah hampir 13 hari ini saya berusaha konsisten untuk menulis. Bahkan dalam 1 hari kadang saya harus menyelesaikan 2-3 tulisan karena saya ikut beberapa kegiatan yang menuntut saya menulis dengan tema yang berbeda. Cape juga ternyata.. Tapi menyenangkan...!ߒᅠ Ketika tulisan itu sudah jadi, rasanya lega sekali. Meski mungkin tak semua orang menyukainya.. Meski bahasanya tidak apik dan menarik. Tapi saya tak terlalu peduli dengan semua itu. Yang penting saya sudah menuangkan  apa yg ada dalam pikiran saya ke dalam tulisan dan itu sudah cukup membuat bahagia.

Sejak awal, resolusi yang ingin saya lakukan tidaklah muluk-muluk. Saya hanya ingin konsisten untuk menulis. Itu saja. Mungkin kalau kelak sudah konsisten menulis, saya ingin menaikkan level menulis saya ke tingkat lebih tinggi.. Mungkin saya akan ikut kelas menulis, coba2 ikutan lomba, dan bikin buku mungkin.. ߘ¢ah.. Entahlah.. Yang jelas, saya hanya ingin lebih disiplin dalam menulis dan lebih banyak membaca. Itu hal pertama yang harus saya lakukan.

Oh ya.. Menarik sekali ketika selama beberapa hari ini ternyata ada saja ide tulisan yang muncul untuk dituliskan. Dan kebanyakan sebenarnya berasal dari sesuatu yang sederhana dan dekat dengan kehidupan. Alhamdulillah.. Inspirasi menulis itu selalu ada.  Mudah-mudahan terus berlanjut untuk seterusnya..

Saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman saya menulis beberapa hari ini. Ada satu hari, saat saya menulis tentang pengalaman saya sewaktu kecil. Dan entah kenapa saya merasa begitu bahagia. Saya seakan  ditarik ke masa lalu yaitu ke masa-masa yang begitu berkesan dalam hidup saya..  daaan efeknya ternyata  sangat menyenangkan. ߒハ
Saya sampai terinspirasi untuk menuliskan "novel" tentang masa kecil saya ke dalam blog ini.. Saya ingin menuliskan setiap detail berharga dan berkesan yang saya pernah rasakan karena ternyata menuliskan kenangan masa kecil itu bisa membuat bahagia (dan saya baru menyadari semua ini!).  Saya pikir suatu saat pun mungkin anak-anak akan membaca kisah-kisah ketika ibunya masih kecil.. Bahwa dulu ibunya hidup di kampung sejuk dan menenangkan. Bahwa ibunya sering bercengkrama dengan alam... Bahwa nenek dan datuknya adalah orang yang menginspirasi. Dan bahwa semua itu sungguh merupakan  pengalaman yang tak terlupakan.

Saya ingin mencoba mengingat-ngingat masa-masa bahagia itu dan merekamnya lewat tulisan agar bisa menjadi rekam jejak dalam kehidupan saya... Saya hanya ingin fokus pada kenangan bahagia  dan hal-hal yang baik.. Karena saya tahu  suatu saat mungkin  usia saya akan senja.. Dan ketika jatah hidup di dunia ini telah usai,  tinggallah tulisan-tulisan saya yang akan terus abadi... Dan itulah yang saya akan coba lakukan  mulai saat ini. Mudah-mudahan saya bisa membuat tulisan yang membahagiakan dan bisa memberi manfaat kepada orang lain.. Aamiin...

"Write only what you love, and love what you write. The key word is love. You have to get up in the morning and write something you love, something to live for". (Ray Bradbury)

Wenti Indrianita di 1/13/2018 08:21:00 PM

Thursday 18 January 2018

Belajar Jeda-status Facebook Yunda Fitrian

Belajar Jeda

Pagi itu saya menjejak kantor dengan hati kosong. Tidak ada semangat mengalir seperti biasanya. Punggung saya terasa berat bagai membawa sekarung penuh batu bata.

Adu argumen dengan suami semalam menyisakan sesak di hati. Masalah belum selesai karena saya terlanjur terbawa emosi tingkat tinggi. Kata kata tajam disertai deras airmata saya membuat suami hanya diam seribu bahasa. Kami tidak bertegur sapa sama sekali hingga pagi.

Saat sedang melipir di sudut kantor untuk menenangkan hati, ponsel saya bergetar tanda pesan singkat diterima.

Ternyata pesan itu dari suami saya. Ia curhat betapa sedih dan bingung menghadapi saya. Tidak tahu lagi harus apa sebab usaha dan niat baiknya malah disalahpahami oleh saya.

Seketika saya ingin segera pulang dan menyelesaikan perselisihan kami yang meruncing. Sungguh tidak enak bertengkar dengan orang yang kita cinta. Apalagi sampai membawa masalah ke tempat kerja. Maklum, waktu itu saya belum baca buku Yakin Dia Jodohmu? Jadi belum tau gimana mengelola konflik dalam rumahtangga #eeeaaa.

Pertengkaran (ter)besar itu terjadi di tahun kedua pernikahan kami. Alhamdulillah sampai saat ini tidak pernah ada letupan sebesar itu lagi. Kalau ngambek ngambek kzl atau manyun manyun sayang mah masih rajin #apadeh.

Selebihnya, kami berusaha semanis mungkin menyelesaikan konflik. Tidak berlarut dibawa saat masing masing kami terpisah aktivitas di luar rumah. Tidak diumbar di sembarang ember, eh tempat...

Ketika episode konflik datang, kami akan membahasnya segera setelah sama sama tenang dan bertatap muka di rumah. Tidak ada cerita berantem via WA. Ngabis ngabisin kuota #fakirdata.

Yang satu ini alasannya sederhana, yang namanya bahasa tulisan, terlalu multitafsir. Kata 'terserah' aja bisa beda nyampenya ke yang baca. Kalau dibaca orang yang lagi santai, nadanya bisa adem. Tafsirannya oh terserah, berarti si pengirim pesan ridho sama pilihan pembaca pesan.

Lah kalau yang baca pesan lagi rusuh hati karena abis dimarahi atasan, tafsiran kata terserah itu jadi BODOAMAT SUKA SUKA LU AJA!!! Nah...berabe kaan.
Maka konflik membutuhkan keterampilan agar terkelola apik menjadi bumbu penyedap rumahtangga. Bukan justru menjadi penyebab kandasnya pernikahan.

Bahkan konflik sejatinya adalah sarana mendewasakan diri. Suami istri semakin matang dan membijaksana manakala konflik dikelola dengan baik.

Ada banyak keterampilan yang terasah jika konflik dijadikan sarana belajar. Ada keterampilan berkomunikasi efektif, manajemen emosi, positive thinking, problem solving, dan kawan kawannya. Berita baik lainnya, konflik yang terselesaikan dengan baik akan membuat cinta makin membara #ihiw.

Sayangnya, seringkali kita terjebak pada pergulatan emosi saat berkonflik dan merespon tanpa JEDA. Bicara (baik langsung maupun via hp) saat dua kepala sedang panas panasnya tidak akan menghasilkan solusi. Yang ada malah sakit hati.

Sejatinya, keterampilan mengelola konflik berakar dari keterampilan mengenali diri dan pasangan. Ini juga dibahas tuntas di buku Yakin Dia Jodohmu?  #catet.

Semakin matang seseorang, semakin ia paham perasaan, keinginan, dan permasalahan dirinya sendiri. Dengan pemahaman utuh tentang diri sendiri, jiwa yang matang akan mencoba menyampaikan pesan kepada orang lain dengan cara yang tepat. Bukan menyerang orang lain berdasarkan persepsinya sendiri.

Saya termasuk pihak yang lebih sering baper duluan saat berinteraksi dengan suami. Suami saya nanya udah masak nasi apa belom, saya langsung tersinggung. Yang saya denger di kepala: kok jam segini belom masak nasi? Ngapain ajaa wahai istri pemalass??? Haha, lebay banget dah.

Jadi saya suka udah bertanduk duluan tuh cuma gara gara pertanyaan netral begitu. Saya maunya langsung jawab TANGAN SAYA DUA ANAKNYA TIGA YA BELOM SEMPET BAAAANG...!!! Tapi terus saya ngeREM, ambil JEDA. Dicerna ulang dulu pertanyaannya, jawab sesuai fakta. Bukan persepsi pribadi apalagi emosi jiwa.

Gak gampang memang. Apalagi jika kita dibesarkan dalam lingkungan yang cenderung reaktif. Ada stimulus langsung reaksi tanpa JEDA untuk mencerna. Ditambah kita dalam kondisi lelah atau dalam diri sendiri sedang banyak masalah. Tapi percayalah, dengan latihan JEDA, akan terasa BEDA. Akan ada ruang yang membuat hati lebih LEGA.

Latihan jeda ini bukan cuma bermanfaat dalam menghadapi konflik rumahtangga, tapi bisa diterapkan dalam semua respon keseharian kita. Ada kalimat yang bikes di medsos, coba jeda. Jangan langsung terpancing membalas.

Lakukan dulu konfirmasi, setelah kita menenangkan diri. Ada omongan orang yang gak enak, terasa nyelekit..coba jeda. Ini beneran bermaksud menyerang kita, atau dia hanya sedang ribut dengan dirinya sendiri? Sebagian respon menyerang itu kadang karena gak bisa damai dengan diri sendiri #ngambilkaca.

Begitu juga menghadapi anak. Kalau gak pinter pinter jeda, pasti anak pusing karena emaknya marah marah mulu. Berhenti marahnya pas tidur doang. Gimana anaknya mau betah di rumah. Berantakin mainan, emak marah. Main akur seru sama adek sampe suara ketawa kenceng, emak marah. Gak sengaja numpahin minum emak marah. Harga beras naik emak marah #yaiyalah.

Terus cara latihan jeda gimana? Ah itu mah baca sendiri aja ya di buku Yakin Jodohmu? Hehehe. Udah kepanjangan ngetiknya, saatnya emak berlanjut ke agenda lainnya #segalajeniscucianmemanggil.

Selamat Hari Jumat, semoga mampu berjeda saat terasa sempit di dada :)

Yunda Fitrian

Kacamata

Menjalani hidup dengan kacamata hakim bisa jadi membuat langit selalu terlihat gelap.
Sebab dimanapun berada, hanya kesalahan, dakwaan, vonis, dan hukuman yang menjadi tujuan.

Siapapun yang membersamai terasa menyakiti karena kacamata hakim hanya melihat tuntutan dan dosa dosa. Tak ada habisnya, tak ada baiknya.

Tak ada yang bebas dari hukuman. Kebaikan yang ada dipandang kecil, hanya untuk meringankan tuntutan.

Bukan berarti kacamata hakim tidak dibutuhkan. Kacamata hakim justru sangat dibutuhkan, tetapi biarlah hanya berada di ruang pengadilan. Dimana hukum membutuhkan sang ahli untuk memutuskan.

Kacamata hakim tak terlalu diperlukan di ruang ruang selainnya. Apalagi di ruang keluarga kita.

Sebagai gantinya, pakai saja kacamata hikmah.
Dimana setiap memandang, ada kebaikan yang terpampang.

Dimana setiap kesalahan adalah sarana belajar tentang kebaikan.

Dimana berdamai dengan diri sendiri, masa lalu, dan luka jiwa adalah episode favoritnya.

Kacamata hikmah mengubah sepekat apapun masalah menjadi indah.

Sebab ia terang dengan cahaya cinta Tuhan. Kemilau yang meyakinkan bahwa setiap peristiwa adalah caraNya mengajarkan cinta.
Segelap apapun cuaca, sepahit apapun berita, seperih apapun dunia nyata.

Kacamata hikmah akan melihatnya sebagai pemandangan fana.
Sebab baginya, perjalanan dunia hanya singgah sementara.

Dan surgalah tujuan akhir yang diperjuangkannya sepenuh jiwa.

#catatanuntukdiri
#kacamata

Tuntutlah SESUATU-status facebook Yunda Fitrian

Tuntutlah SESUATU

Suatu ketika saya bertemu dengan dua orang teman perempuan, kami semua sudah menikah. Setelah basa basi obrolan berlanjut menjadi curhatan.
Teman yang datang paling akhir cerita tentang suaminya yang sangat jauh dari harapan.

Dia ingin suaminya bisa menjadi imam di keluarga. Dalam arti sebenarnya, sebagai imam sholat baik di rumah maupun mengajak anak berjamaah di masjid.

Namun sampai 16 tahun menikah, tidak sekalipun suaminya mau mengimami sholat berjamaah di rumah. Apalagi mengajak anak ke masjid.

Berulang ulang ia menceritakan kekecewaan pada suaminya, sampai saya terhanyut dan ikut merasakan betapa lelah berada di posisi beliau. Bertahun tahun berharap dan sudah melakukan berbagai usaha tapi bertepuk sebelah tangan. Pengen tos sama Hayati rasanya, bikin hashtag #hayatilelahbang.

Tak lama, teman saya itu pamit karena suatu urusan. Saya dan teman lain belum beranjak karena ingin melanjutkan perbincangan. Setelah teman saya itu pergi saya berkomentar, “iya ya, kasihan juga dia. Capek banget ya kalau begitu”.

Tapi balasan teman yang masih bersama saya diluar dugaan. Membuat saya berpikir ulang dan akhirnya dapet inspirasi #bikintulisanini. Kata teman saya itu:

“Aku kok ngebayangin jadi suaminya, lebih capek lagi ya..Enam belas tahun dikomplen terus sama istri, dituntut terus gak pernah diapresiasi..”.

Glegh.

Ingatan saya melayang ke tahun tahun awal pernikahan. Dimana topeng pangeran sempurna milik suami saya sudah terbuka. Dimana harapan saya tentang dirinya yang ideal mulai menjadi bumerang untuk saya sendiri.

Saya sering menangis bertanya pada Tuhan, mengapa suami saya tidak sesuai harapan? Maklum, waktu itu belum baca buku Yakin Dia Jodohmu? Jadi belum nemu jawaban #eeaa.

Pernah seusai sholat malam, saya bikin surat curhat. Saya tulis semua kekecewaan saya. Saya tulis tuntutan tuntutan saya. Dua lembar penuh bolak balik. Suami saya cuma diam saat membacanya. Tidak ada tanggapan #mungkindialelah.

Sampai di tahun keempat pernikahan, selesai berdoa di suatu malam, saya kembali berpikir, apa maksud Allah mempertemukan saya dengan suami?

Saya baru sadar, dosa dan aib saya pun banyak. Apa layak selama ini saya menuntut suami demikian tinggi? Bukankah segala sesuatu di sisi Allah ada ukurannya? Dia pasti sudah mengukur saya dan suami. Ibarat tu***rware dengan tutupnya, sudah pas dengan pasangan masing masing.

Saya mulai melakukan kilas balik. Kebaikan suami sudah begitu banyak. Terlalu banyak jika disandingkan dengan kekurangan saya sebagai istri.
Saat itu pula, Allah mempertemukan saya dengan satu demi satu teman yang curhat tentang pernikahan mereka.

 Dimana suaminya melakukan hal hal yang sangat mengerikan buat saya.
Hal hal yang sudah masuk kategori zalim karena melanggar syariat Allah.
Lalu saya malu sendiri. Kok bisa saya kufur nikmat dengan suami yang sudah sebaik ini?

Saya pun bertaubat. Sejak itu saya berusaha berdamai dengan diri sendiri.
Karena sejatinya saya berkonflik dengan diri sendiri. Dengan harapan yang terlalu tinggi, hingga lupa kebaikan suami.

Saya yang harus melapangkan hati. Karena terlalu fokus pada rumput tetangga, lantas lalai pada rumput di rumah sendiri.
Bukan suami yang tak kunjung berubah. Tapi saya yang harus berbenah.

Bukan berarti istri tidak boleh menuntut suami.

Saya setuju sama lagunya Tulus: Jangan cintai aku apa adanya Tuntutlah sesuatu agar kita maju ke depan.

Boleh saja menuntut, tapi syarat dan ketentuan berlaku.

Kalau dicerna baik baik Tulus bilang tuntutlah SESUATU.
SESUATU bukan SEBANYAK BANYAKNYA.

SESUATU itu berarti SATU hal yang membuat kita maju ke depan. Bukan bermacam tuntutan yang gak penting2 amat buat masa depan.

Bukan tuntutan kelewat langitan (yang sebetulnya) mungkin masih bisa digantikan dengan tuntutan lain yang lebih BAIK dan lebih MUDAH dilakukan.

Lagipula yang harusnya banyak tuntutan itu di pengadilan, bukan pernikahan.
Dalam pernikahan mah banyakin cinta dan kasih sayang ajah...#uhuk.

Gimana kalau tuntutannya cuma satu tapi KETINGGIAN?

Nah ini perlu saya sampaikan pesan Abah Ihsan. Menurut beliau, kita semua memulai dari titik yang berbeda ketika membangun rumahtangga.
Maka SESUAIKAN tuntutan dengan titik awal kita.

Tepatkah menuntut suami jadi imam hafal 30 juz padahal ia tak pernah diajarkan baca Alquran sejak kecil, misalnya.

Adakah tuntutan pengganti yang lebih tepat, lebih terjangkau dari titik awal pasangan? Daripada menuntut sesuatu yang terlalu sulit dicapai.

Maka selanjutnya jika tuntutan itu ada, sampaikan dengan CARA yang tepat. Tidak di muka umum apalagi lewat medsos.

Sampaikan dengan bahasa cinta agar tidak menjadi tuntutan tetapi tuntunan.
Sampaikan bukan dengan rentetan kata penuh emosi jiwa. Apalagi dengan cara membandingkan suami tetangga.

Coba aja dibalik kalo suami yang ngomong ke istri:
Mah, kenapa sih kamu ga bisa kayak istrinya si Anu yang selalu cantik di rumah?
Bun kamu kok gak langsing langsing kayak emaknya Fulanah?

Gubragbragbragbrag....! Genderang perang dunia ketiga ditabuh!

Yang ada istri bukan baper lagi tapi berubah jadi macan laper siap memangsa pengganggu emosi jiwa..
Suami (anak dan siapapun) juga gak sukalah dibanding bandingin. Gak masuk pesan baiknya. Yang ada sakit hatinya.

Jadi ubahlah cara menuntut kita menjadi tuntunan penuh cinta. Misalnya, “Mas, kayaknya lebih sehat lho kalau kamu tidur cepat. Sering begadang bisa bikin penyakit, nih aku ada artikelnya”, share deh ke misua.

Pasti beda efeknya dari kalimat ini: “Mas kamu begadang melulu tuh ngapain sih! giliran pagi2 aku rempong butuh bantuan, kamu malah enak enak tidur!”.

Selanjutnya selain cara, WAKTU sangat menentukan efektivitas tuntutan yang kita sampaikan.

Bayangkan kalau suami baru sampai di depan pintu sepulang kerja yang terdengar nada tinggi “Kamu tuh kebiasaan gak ngabarin pulang telat! Emangnya kamu masih bujangan apa!”.

Kenapa gak dipeluk dulu aja suaminya pulang dengan selamat, sambil bilang yang lembut, “aku seneng banget kamu udah pulang..”.

 Masalah kenapa pulang telat dan istri maunya gimana, disampaikan nanti setelah suami rebahan di kasur.

Kuncinya memang empati. Sebelum bicara, tanyakan diri sendiri, sudahkah kita berusaha berada di posisinya?
Apa yang ia inginkan dalam situasi itu? Tepatkah disampaikan dengan cara ini, saat ini?
Atau ada cara dan waktu yang lebih baik?

Selain itu, jika kita menuntut suami (anak atau siapapun) untuk berubah, jadilah teladan. Buka juga telinga untuk mendengarkan. Jangan hanya mau didengarkan.

 Sebab bisa jadi, perilaku kita sendiri yang selama ini memancing respon perilaku yang tidak kita inginkan.
Misalnya suami pulang kerja bukannya ngobrol sama istri malah asyik nonton tv. Kzl deh istri. Coba tanyakan dengan bahasa cinta, di saat yang tepat.

Jangan jangan jawabannya: males ngobrol sama istri karena ujung ujungnya istri curhat terus nyalahin suami sambil nangis bombay. Padahal suami pengen istirahat dari penatnya urusan kantor.
Muungkin curhatan istri malah lebih ditanggapi kalau ikut nonton sama suami, masuk ke dunianya dulu. Kalau udah ketawa atau seru seruan bersama, baru deh cerita. Pelan pelan aja.
Ini berlaku juga buat ke anak.

Lalu setelah tuntutan tersampaikan, pasrahkan pada Sang Pembolak balik hati. Langitkan doa dalam sujud saja. Tidak perlu tjoerhad kekinian di social media. Kecuali masalah sudah selesai lalu bermaksud berbagi hikmah.

Beningkan hati di hening sepertiga malam dari bermacam tuntutan yang menyiksa.

Jangan sampai capek sendiri karena menuntut terlalu tinggi. Jangan jangan nanti para suami bikin hestek #abangjugalelahhayati.

Mari alihkan energi dari fokus kekurangan menjadi fokus pada kebaikan. Jangan tambah lagi beban pikiran karena harapan yang berlebihan.

Ada kalanya harapan harus dilepaskan. Tuntutan dikurangi. Standar disesuaikan.
Jangan buat hidup jadi lebih rumit karena gagal berdamai dengan diri sendiri.
Gagal menyederhanakan persepsi. Gagal menangkap kebaikan di sekitar diri.

Mari berdoa agar Tuhan memampukan kita membedakan mana yang harus diubah dan mana yang hanya perlu diterima, dari diri sendiri maupun suami.

Selamat hari Jumat, selamat memilih untuk berdamai dengan diri sendiri.

Yunda Fitrian, penulis Yakin Dia Jodohmu?

Tuesday 16 January 2018

Tantangan Hari ke-6 Melejitkan Kecerdasan Anak

 Hari keenam, saya mencoba memancing si sulung dengan cara bersyukur yang lebih luas.

Saya bercerita bahwa cara bersyukur itu bukan hanya mengatakan alhamdulillah atau menyebutkan nikmat Allah saja. Cara bersyukur adalah dengan berbagi dan berbuat baik.

Saya menyebutkan contoh cara bersyukur dengan berbagi senyuman, bermain bersama. Sebelum saya selesai, si sulung sudah mendahului dengan berkata bahwa ia juga berbagi makanan dengan teman di sekolah hari ini. Alhamdulillah saya memujinya dan menjelaskan bahwa apa yang ia lakukan adalah perbuatan bersyukur yang baik.

#Kuliah_bunsay_iip
#game_level_3
#kami_bisa


Tarbiyah Jinsiyah_Ida Nur Laila

PENDIDIKAN SEKSUALITAS SEJAK DINI

@lailacahyadi

Ukhtifillah, tema kali ini semoga menarik. Menilik banyaknya kasus yang merebak di masyarakat dan juga kurangnya pemahaman bahkan di kalangan ummahat, maka temanya adalah: “Pendidikan Seksualitas Sejak Dini “


“Hah? Nggak salah tuh?”
Mungkin ada yang mengerutkan dahi melihat judul di atas. Bagaimana mungkin anak kecil sudah diajari pendidikan seksualitas?
 Pertama saya ingin bahas istilah dulu. Seringkali kita mendengar kata pendidikan seks. Sebenarnya yang tepat adalah pendidikan seksualitas.

Seks mananya adalah jenis kelamin atau hubungan kelamin, yang demikian mungkin tak perlu pendidikan, hanya butuh coaching saja. Tetapi seksualitas maknanya lebih luas dari sekedar pendidikan seks.

Sebenarnya lebih santun menggunakan istilah tarbiyah jinsiyah, dengan istilah itu terkandung makna yang lebih luas, bahwa pendidikan seksualitas berada dalam bingkai pendidikan secara umum. bukan berdiri di ruang hampa.

Adapun dengan judul diatas...Eits, jangan salah sangka dulu. Yang namanya mendidik anak, memang harus dimulai sejak dini. Yup, bahkan sejak masih merencanakan berkeluarga. Yaitu saat seseorang memutuskan untuk menikah. Siapa pasangan hidupnya, itu adalah awal pendidikan seks untuk anaknya kelak. Jika lelaki menikah dengan perempuan dan sebaliknya seorang perempuan memilih lelaki untuk pasangan hidupnya, ini adalah awalan yang benar. Bukankah sekarang telah ada pernikahan sejenis yang dilegalkan ataupun diam-diam. Keluarga adalah role model bagi anak untuk meniru identitas dan peran gender!


Demikian pula sejak proses pembentukan keluarga itu sendiri. Saat pasangan memualinya dengan santun sesuai kaidah agama dan norma kebaikan yang berlaku di masyarakat, maka anak-anak nanti akan belajar bagaimana awal mula keluarganya terbentuk. Berlanjut pada masa kehamilan. Saat orang tua merencanakan kehamilan, hindarkan dari terlalu berharap anaknya nantinya memiliki jenis kelamin tertentu. Orang tua bisa kecewa dan ‘menolak’ kehadiran anak secara psikologis saat tahu anak yang dikandungnya atau bahkan telah dilahirkan ternyata perempuan, misalnya karena ia ingin anak laki-laki. So, siapkan diri menjadi orang tua, mencintai dan menerima takdir jenis kelamin sang anak.


Bagaimana konten pendidikan seksualitas ini? Sesungguhnya ia tidak berdiri sendiri sebagai sebuah bahasan. Betapa dangkalnya jika pendidikan seksualitas hanya dikaitkan dengan kesehatan reproduksi, perasaan tidak nyaman dan keamanan si anak. Pendidikan seks mestinya menyangkut masalah keyakinan keimanan, ibadah dan juga akhlak. Waah masak sih? Kita meyakini hanya ada dua gender atau jenis kelamin di dunia ini yang diciptakan Tuhan, karena ada dalam kitab suciNya. Terlaknatlah kaum yang membolehkan lelaki menyerupai perempuan dan perempuan menyerupai lelaki atau saling menyukai terhadap yang sejenis. Semua agama sepakat dalam hal ini. Situasi dewasa ini telah membuktikan dengan maraknya kasus HIV/AIDS, yang belum kunjung menemukan pengobatan yang tepat. Penyakit ini diduga karena hubungan seksual sejenis. Keimanan seseorang juga akan menyetir perilakunya, mengekang nafsu dan menjaga kehormatan diri. Yakin kan jika masalah pendidikan seks adalah bagian dari keimanan?


Menyangkut ibadah, benarkah? Manusia diciptakan untuk menghamba pada Tuhan. Memberikan yang terbaik sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Setiap perbuatannya adalah bagian dari ibadahnya, termasuk cara ia berpakaian, bergaul, berumah tangga dan memiliki anak-anak. Agama telah mengaturnya dengan lumayan rinci. Bahkan dalam Islam diatur cara bersuci dari hadats, najis dan junub setelah melakukan hubungan suami istri. Ada juga doa dan tuntunan dalam berhubungan suami istri sebagai bagian ibadah. Adapun bagian dari pendidikan akhlak, tak diragukan lagi. Ketinggian akhlak akan berpengaruh pada ketinggian peradaban. Generasi yang bualitas tergantung dari pendidikan moral dan perilaku mereka.


Pendidikan seksualitas adalah bagian dari membangun masyarakat yang beradab, jauh dari prilaku seksual menyimpang, pelecehan seksual dan kejahatan seksual. Sebagian bunda lebih suka mengenalkan pendidikan seksual ini dari sudut pandang sains dan anatomi. Saya mengajak untuk melengkapi dengan melihatnya dari sudut pandang ibadah/agama. Nah baca selengkapnya ya...


TAHAP PENDIDIKAN SEKSUAL

a.      Usia 0-2 Tahun Adalah Usia Bayi Pada Masa Penyusuan

Bagaimana pendidikan seksual pada usia ini?

Sekalipun bayi kita seolah belum mengerti apa-apa, sesungguhnya mereka selalu belajar melalui indera dan rasa, maka selayaknya orang tua mulai menanamkan rasa malu dengan cara tidak mengumbar aurat bayi di sembarang tempat. Saat memandikan, mengganti baju, mengganti popok, mencebok bayi, diusahakan dalam ruang tertutup. Jika di tempat terbuka, tutuplah auratnya dari pandangan orang lain dengan selembar kain misalnya. Saat sang ibu menyusui bayi, maka hanya bayinya yang berhak untuk berinteraksi dan melihat aurat bagian atas ibunya. Kakak-kakak bayi yang sudah tidak dalam masa menyusu, sudah tidak berhak untuk melihat nenen bunda.

Penting diketahui bahwa menjadi ibu susu untuk anak lain hanya berlaku saat anak susu masih berusia dibawah dua tahun. Tidak boleh menyusui anak orang lain (menjadi ibu susu) bagi anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Para bunda selayaknya bersiap menyapih anak pada saat usia 2 tahun. Jika ada masa toleransi masa penyapihan, maka usahakan hanya beberapa bulan saja, bukan berbilang tahun.

Orang tua yang melakukan proses hubungan suami istri, tidak boleh disaksikan oleh anaknya sekalipun masih bayi. Bahkan suaranya pun tidak boleh terdengar oleh bayinya. So, lakukan hanya saat bayi tidur atau saat tak ada bayi/anak dalam ruangan orang tua.

      Prinsip pada masa ini: berusaha menutup aurat anak dan aurat diri.


b.      Usia 2-4 Tahun Memasuki Masa Penyapihan

Semestinya anak (disebutnya anak, bukan bayi lagi) sudah tidak boleh melihat nenen. Pada usia ini, anak mulai diberikan pemahaman tentang menutup aurat mugholadzoh (aurat berat), yakni qubul dan dubul. Sudut pandang psikologi menyebut usia 1,5 – 3 tahun adalah fase anal dan dilanjut dengan fase uretral. Ditandai dengan matangnya syaraf otot sfingter anus, sehingga anak mulai belajar mengatur berak dan nantinya pipis. Anak kadang memegang-megang alat kelaminnya. Bagaimana sikap yang tepat?Anda dapat mengalihkan tangan anak anda untuk melakukan aktivitas lain yang lebih manfaat seperti melipat kertas, memainkan tali dan mainan lain yang akan menyibukkan dan melatih tangannya. Lakukan dengan lembut. Pada saat yang tepat, beri pengertian untuk untuk tidak banyak menyentuh alat kelaminnya kecuali ada keperluan seperti mau pipis, atau ada keluhan sakit.

Jika anak bertanya mengapa tidak boleh memainkannya? Saatnya anda memberi tahu tentang sopan santun, bagian tubuh yang wajar untuk dilihat dan dipegang. Beberapa perilaku seperti onani dan masturbasi dapat bermula pada masa kanak-kanak karena ketidaksengajaan. Saat mereka merasakan nyaman dan nikmat dengan memainkan alat kelaminnya, maka membuat ketagihan bahkan bisa berlanjut hingga saat dewasa.

Toilet training memasuki saat yang penting untuk tuntas pada masa ini, sehingga anak  belajar mengontrol kapan ia harus BAB dan BAK. Anak diajari untuk tahu dimana dan dengan siapa ia harus meminta tolong melakukan aktivitas tersebut. Beritahukan pada anak, siapa saja orang yang boleh menolongnya. Semua larangan yang berlaku pada masa bayi, terus berlaku pada masa ini, seperti menutup aurat orang tua dan anak.

Saya pernah mendengar orang tua yang mengajak anak mandi bersama. Jika sesekali melakukannya, usahakan lakukan dengan anak yang berjenis kelamin sama dan orang tua tetap memakai baju basahan/baju renang, tidak boleh membuka aurat di depan anak. Jangan memandikan beberapa anak secara bersama-sama dalam keadaan mereka telanjang bulat. Minimal pakaian celana dalam jika terpaksa anak mandi bersama. Misal diantara saudara kandung atau terjadi di PAUD atau tempat pendidikan prasekolah. Hal ini menghindarkan dari mereka saling melihat aurat.


c.       Usia 4-7 Tahun

Anak sudah sampai pada pemahaman bahwa dia hanya boleh dicebok dan dilihat auratnya oleh mahram atau pengasuh yang dipercaya (atau ibu guru di sekolah). Seiring proses, anak dilatih untuk melakukan proses istinjak sendiri secara benar. Inilah saat anak mengenal secara istilah dan praktek bahwa prosesi cebok, adalah bagian dari ibadah, yakni bersuci.

Pada saat usianya maksimal 7 tahun, anak semestinya telah pandai melakukannya dengan benar. Mengajari bersuci/istinjak juga bagian dari menjaga kebersihan dan kesehatan alat kelaminnya, selain bahwa itu adalah bagian dari ibadah.Ini juga fase tepat anak belajar untuk dipisahkan tidur dari kamar ortu.Tetap harus diingat bahwa sekalipun anak boleh tinggal/ tidur di kamar ortu, namun dalam proses hubungan suami istri, tetap tidak boleh ada anak di dalam kamar.

Selain itu, anak juga dikenalkan pada area tubuh yang tidak boleh dilihat dan disentuh oleh orang lain. Hal ini untuk mencegah anak menjadi korban pelecehan seksual. Sekali lagi bukan hanya tidak boleh disentuh, tapi juga tidak boleh dilihat. Yakni bagian antara pusar dan lutut bagi anak laki-laki dan ditambah bagian dada pada anak perempuan.Bukan hanya alasan tidak nyaman saat anak dilatih untuk menjaga bagian aurat tersebut, namun ini adalah perintah agama. Jika hanya berdasar perasaan tidak nyaman, bisa jadi ada anak-anak yang tetap saja merasa nyaman bahkan senang saat orang lain mengeksplorasi bagian tubuhnya, karena alasan permainan atau alasan bentuk kasih sayang.

Untuk keamanan si anak, ditambahkan area mulut sekalipun bukan bagian dari aurat. Misalnya, sampaikan pada anak: “Bagian ini yang boleh melihat dan memegang hanya ayah dan ibu karena membantumu mandi dan membersihkan diri atau dokter yang memeriksa kamu dengan didampingi ayah atau ibu...”, “Nak, tidak boleh ya orang lain memegang bagian tubuhmu selain tangan dan lutut ke bawah, anak yang sopan juga tidak boleh memegang pantat orang, atau perut, tanpa seijinnya...”

Anak tidak hanya belajar memproteksi diri, namun juga belajar tentang sopan santun pergaulan, dalam perkataan, perbuatan dan menjaga pandangan.Misal kita dalam perjalanan dan melihat ada orang yang pipis sembarangan, apakah orang dewasa atau anak. Ajak anak menjauh dan katakan bahwa yang demikian tak boleh dilihat, apalagi ditiru. Prosesi khitan atau sunat pada anak lelaki sebaiknya dilakukan pada tahap usia ini.

Proses identifikasi gender biasanya mulai usia ini. Ia bertanya dan mulai mengerti perbedaan laki-laki dan perempuan. Bagian dari pendidikan seksual adalah orang tua mengawal masa pembentukan identitas ini agar tidak terjadi penyimpangan. Saat anak melihat tontonan yang merancukan pemahaman gender, lelaki berpakaian dan bertingkah perempuan, atau sebaliknya, apa yang harus dilakukan orang tua? Berikan penjelasan untuk anak, bahwa manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, maka masing-masing harus menjalankan perannya dan tidak boleh bertukar karakter atau jenis kelamin. Ajarkan dan contohkan sikap dan pakaian yang sesuai. Eh.. dengan bahasa anak-anak tentunya. Usia 7 tahun adalah salah satu terminal penting. Target pencapaian :

1.      Anak sudah memahami batasan aurat.

2.      Anak memiliki konsep gender yang sesuai antara fisik dan mental psikis.

3.      Anak dapat melakukan proses bersuci/istinjak/cebok secara mandiri dan benar.

4.      Belajar untuk menutup aurat secara sempurna.

5.      Anak mengerti dan mempraktekkan adab pergaulan.

6.      Anak telah dipisahkan tidurnya dari orang tua.

7.      Anak belajar adab meminta ijin memasuki kamar orang tua.

Demikian bahasan kita kali ini, semoga bermanfaat. Yang akan datang akan saya sambung untuk tahapan usia 7-14  tahun.
Terimakasih.

Wassalamualaikum wr. wb.

Monday 15 January 2018

Tantangan Hari ke-5 Melejitkan Kecerdasan Anak

Alhamdulillah di hari kelima ini si sulung tidak terlalu merasa sulit menyebutkan nikmat yang disyukuri. Waktu untuk mengerjakan video jadi lebih singkat.

Tantangan Hari ke-4 Melejitkan Kecerdasan Anak

Hari keempat lalu, awalnya Faza masih bingung apa yang harus disyukuri.
Saya kembali memancing lewat cerita. Saya sebutkan nikmat yang bisa disyukuri seperti rumah tempat berteduh, bisa bersekolah. Lalu si sulung menimpali "punya ayah ibu", sebagai salah satu nikmat. Saya segera merespon dengan pujian dan dukungan atas jawabannya.

Malam harinya sebelum tidur si sulung pun siap syuting video Faza Bercerita. Sebelumnya saya bertanya mengapa kita melakukan proyek ini, mengapa bersyukur penting. Saya mengulangi cerita yang sudah disampaikan kemarin tentang nikmat yang akan ditambah dan perasaan bahagia yang didapat jika bersyukur.

#Tantangan _hari_4
#Kuliah_bunsay_iip
#game_level_3
#kami_bisa

Saturday 13 January 2018

Tantangan Hari ke-3 Melejitkan Kecerdasan Anak


Di hari ketiga, ketika saya ajak bersiap syuting video Faza Bercerita, si sulung mengaku belum tahu mau cerita (bersyukur apa).

Saya pun berusaha menerima kebingungan dan kejujurannya. Kemudian saya ajak ia bicara pelan pelan.

“Sejak kita bangun tidur, sampai tidur lagi, nikmat Allah yang bisa disyukuri banyaaak sekali, Kak. Nih, waktu kita baru bangun, kita bisa bangun buka mata terus melihat. Itu nikmat Allah. Ada banyak orang yang gak bisa melihat. Menurut Kakak gimana rasanya kalo gak bisa melihat?”.

Si sulung menatap saya lekat, tampak menyimak dengan serius. Saya meneruskan, “waktu kita bangun dan bernapas, itu nikmat Allah yang bisa disyukuri karena ada yang tidak bisa bernapas lagi Kak”

Saya melanjutkan cerita tentang berbagai nikmat pancaindera sampai bagian kita berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi lalu mencukupkannya. Khawatir terlalu banyak bicara.

Saya bertanya bagaimana pendapat si sulung. Ia hanya tersenyum seolah sedang mencerna cerita saya.
Saya pun memberinya ruang untuk berpikir. Semoga hari berikutnya bisa disyukuri dengan lebih baik lagi.

#kuliah _bunsay_iip
#game level 3
#Tantangan hari ke-3
#kami_bisa

Thursday 11 January 2018

Tantangan Hari ke-2 Melejitkan Kecerdasan Anak

Di hari kedua ini, si sulung tampak masih kurang lancar dalam mengenali nikmat Allah dan pengalaman menyenangkannya. Kami mengulang syuting agar video tidak kepanjangan karena menunggu Si sulung menceritakan pengalamannya.

Setelah syuting video berhasil, saya bertanya pada kakak Faza apa ia tahu mengapa saya memilih tema bersyukur? Ia menjawab tidak tahu. Saya lalu bercerita bahwa Allah berpesan dalam Alquran tentang orang yang bersyukur.

Saya jelaskan di ayat Alquran, Allah berkata bahwa orang yang bersyukur nikmatnya akan bertambah. Selalu merasa tenang dan senang hatinya. Sebaliknya jika tidak bersyukur, semua terasa tidak enak.

Saya mencontohkan misalnya si sulung makan dengan ikan asin. Walaupun hanya ikan asin, kalau bersyukur, akan terasa sangat nikmat, kenyang, enak banget makannya.

Contoh tidak bersyukur, makan dengan fried chicken tapi mengeluh ayamnya kurang besar, kurang empuk, kurang kriuk. Akhirnya makan terasa tidak nikmat karena kurang bersyukur.

Si sulung tampak mendengarkan dengan serius. Sambil sesekali menimpali cerita saya dengan penambahan kata kata saat menggambarkan makanan.
Semoga hari ketiga lebih baik lagi :) aamiin.

Tantangan_hari_2
Kuliah_bunsay_iip
Level_3
Kami_bisa

Tuesday 9 January 2018

Tantangan Hari 1 Melejitkan Kecerdasan Anak

Bismillah.

Senang sekali rasanya ketika kelas Bunsay membukakan mata para ibu bahwa ada banyak kecerdasan yang perlu dibangkitkan pada anak untuk survive dalam hidup. Bukan sekadar kecerdasan akademik yang nyatanya tidak menjadi satu satunya jaminan keberhasilan dan kebahagiaan manusia.

Setelah kami membahas 4 jenis kecerdasan (inteligensi, emosional, spiritual, adversity), tibalah saatnya melatih diri kami untuk membangkitkan kecerdasan ini. Kami diminta memilih 1 anak dan 1 kecerdasan untuk diasah dalam sebuah proyek bersama selama 10 hari ke depan.

Dengan mempertimbangkan kondisi faktual anak, saya memilih kecerdasan spiritual untuk dikembangkan pada si sulung. Semoga dengan proyek ini, kecerdasan spiritualnya dapat lebih berkembang lagi.

Saya merumuskan proyek ini melalui indikator yang sudah dibagikan di grup. Selama 10 hari ke depan, saya akan fokus pada indikator 1 dan 2 (lihat gambar). Proyek akan diwujudkan dalam video, narasi, maupun dokumentasi lainnya dengan tema “Faza Bercerita”.

Pada proyek Faza Bercerita ini, si sulung akan kami minta menceritakan rasa syukur, perasaan, pengalaman menyenangkan, dan perbuatan baik yang sudah dilakukannya tiap hari. Selain itu, kami juga menyelipkan cerita terkait indikator kecerdasan tersebut.
Si sulung sangat antusias ketika diajak membuat video. Maklum kids jaman now :D

Pada edisi pembukaan proyek tanggal 8 Januari, kami sudah mulai membuat 1 video (maunya dilampirkan, semoga sinyal dan data bersahabat :D). Di tanggal 9 Januari kemarin, proyek kami lakukan dengan membuat papan resolusi keluarga, berdasarkan hasil rapat Desember lalu.

 Sambil mengerjakan, saya bercerita tentang sabar dan syukur yang merupakan keajaiban hidup seorang Muslim. Duo kakak tampak serius mendengarkan, meskipun saya belum sempat mengkonfirmasi apa yang mereka pahami dari cerita singkat tersebut (keburu dicegat bayi bungsu).

Baiklah, sekian laporan proyek hari ini. Semoga besok lebih seru lagi :)
#tantangan_hari1
#Kelas_bunsay3_iip
#Level_3
#kami_bisa


Friday 5 January 2018

Changemaker Family 2018

Bismillah

Sejak awal menikah, Alhamdulillah suami sudah memandu saya dengan visi keluarga. Rapat kerja (raker) perdana di kontrakan kami gelar dua pekan setelah menikah, membidani visi dan misi bersama. Sejujurnya saat itu saya terkaget kaget dan sedikit geli dengan istilah raker yang dipakai suami. Saya pikir ia mengalami post power syndrome setelah lulus kuliah, hehe.
Saya masih ingat rumusan visi keluarga kami adalah menjadi madrasah peradaban yang memancarkan cahaya keindahan Islam. Karena saat itu saya belum mengenal Ibu Profesional, kami berdua sama sekali belum tahu tentang family team. Visi misi yang dirumuskan kami jalani seadanya tanpa detail yang jelas. Malah terkadang kami merasa disorientasi.

Alhamdulillah setelah bergabung dengan IIP, saya kembali bersemangat dan tercerahkan untuk mewujudkan visi ini. Saya makin sering ngobrol dan berkegiatan bersama suami dan anak agar frekuensi kami sama.

Beberapa impian yang merupakan turunan dari visi di awal menikah, dengan izin Allah telah tercapai. Diantaranya menulis buku bersama, mengisi seminar pranikah berdua, dan mendirikan taman baca.
Selanjutnya tahun 2018 ini kami merencanakan target sebagai berikut:

1. Perbaikan diri dan keluarga inti dalam manajemen waktu dan ritual ibadah.
Target perilaku yang diharapkan:
#punya waktu untuk berkarya dan berbagi ilmu
#mengikuti kajian keilmuan dan membuat serta membagikan resumenya minimal sebulan sekali
#lebih banyak terlibat bersama anak
#sholat tepat waktu
#menggiatkan sholat tahajud
#melakukan forum keluarga rutin sepakan sekali
#belajar mengendarai motor (khusus ibu)
#olahraga (khusus ayah)


2. Perbaikan akhlak diri dan anak
Target perilaku yang diharapkan:
#hanya menggunakan suara ruang ketika berbicara
#mengelola marah menjadi bahasa cinta (teknik menenangkan diri, hanya menyampaikan pesan setelah marah reda)

3. Kontribusi pada lingkungan
Target perilaku yang diharapkan:
#lebih sering ngobrol positif dengan tetangga
#lebih sering sholat berjamaah di mushola
#menyentuh posyandu (menjadi donatur dan berbagi ilmu pada kader posyandu)
#lebih aktif di lingkungan POMG
#membuat program kelas inspirasi dan kunjungan lapangan di taman baca

Tanggal 29 Desember 2017 lalu, kami sempat melakukan sosialisasi raker pada duo kakak. Kami memilih nama keluarga dan menurunkan visi pernikahan menjadi visi keluarga surga untuk memudahkan duo kakak mencerna. Sebab selama ini duo kakak sudah sering diceritakan tentang surga dan sangat antusias mendengarkan.

Nama yang kami pilih adalah Tim Kerjasama yang merupakan akronim dari Keluarga Berjalan Bersama Menuju Surga. Rada maksa gapapa yang penting nyambung, hehe.

Kami hanya mensosialisasikan poin 2 kepada duo kakak. Kami menceritakan bahwa penduduk surga bicara pelan lembut, tidak ada yang berteriak marah marah.

Demikian ide perubahan Tim Kerjasama. Semoga kami berhasil memperbaiki diri :) :)

Tuesday 2 January 2018

Drama Anak Ketiga_notes fb Yunda Fitrian

Drama Anak Ketiga

Tahun 2015 sewaktu lihat tanda strip kembar di test pack, perasaan saya ngeri ngeri galau.
Ini kali ketiga saya hamil.
Kalau sebagian perempuan langsung membayangkan betapa lucunya bayi mungil yang akan lahir, saya tidak.

Saya malah langsung membayangkan akan kembali hadir fase dimana hati teriris ketika berat badan anak saya dikomentari. Ya, kedua anak saya  selalu gagal mencapai berat badan ideal.

Maka ketika memberi tahu suami bahwa saya hamil, saya nangis bombay. Kata siapa saya tangguh. Saya mah suka rapuh..

Saya bilang, mungkin Allah memang percaya sama kita sehingga dititip anak ketiga. Tapi kenapa ya, yang saya ingat langsung betapa rempongnya jadi emak emak newbie?

Pertama membayangkan perjuangan hamilnya.

Mual yang akan datang seharian, gerahnya badan setelah hamil bulan ke-7, baju baju kesayangan gak muat lagi, emosi lebay makin menjadi. Tiap hamil saya selalu drama queen.

Saya juga masih takut lahiran. Sesar pernah, ngilu dan pusing setelah bius habis itu rasanyaahhh bikin jumpalitan. Ketawa dan bersin aja bikin cenut kepala.

Lahiran normal pernah. Mulesnya kontraksi gak ketulungan.  Saktnya bikin teriakan saya mungkin kedengeran ke seluruh alam semesta #lebay. Belum pas dijahit. Maap saya belum berhasil sepenuhnya hypnobirthing, hehe.
Kedua, membayangkan lelahnya setelah bayi lahir.

Malem begadang, siang hidupnya cuma dari ngASI ke ngASI. Sisanya nyuci baju bayi. Plus setelah masa cuti selesai, bergelut dengan kegalauan lanjut kerja atau di rumah aja..

Tapi semua itu belum apa apa. Hal yang sering bikin saya suka nangis diam diam adalah komentar orang membandingkan anak saya dengan anak lain yang tubuhnya montok berisi.

Komentar sesingkat dan sehalus apapun terasa seperti belati yang ditusuk keras keras ke ulu hati. Lebay? Ya memang, tapi itu yang saya rasakan.

Semua komentar termasuk nasihat tentang berat badan anak diterjemahkan oleh otak saya menjadi: kamu ibu gak becus, bikin anaknya gemuk aja gak bisa.

Seolah saya gak pernah usaha. Padahal tangan ini pegang makanan seharian, ngakalin balita GTM supaya mulutnya nelen makanan.

Fase itu membuat saya ingin punya remote tv kehidupan. Enaknya bisa pindah channel ganti episode lain yang lebih menghibur. Episode anak saya jadi gembil karena makannya gembul.

Glek.
Kok saya rasanya gak siap ya punya anak lagi??

Suami saya yang awalnya memancarkan wajah bahagia ketika mendengar saya hamil, ganti ekspresi terlihat berusaha empati. Alhamdulillah beliau gak ujug2 marahin saya atau nuduh saya istri gak bersyukur karena dikasih hamil malah nangis.

Suami saya mendengarkan dan berusaha menanggapi kegalauan saya dengan tenang. Dia memberi wejangan. Yang tak mampu saya cerna saat itu, karena lagi emosi jiwa.

Saya hanya ingat, ia berjanji akan mendampingi saya. Selalu ada untuk saya. Bahwa ketetapan Allah pasti baik.
Saya menghela napas dan berusaha berpikir positif. Saya ingin jadi ibu hamil yang bahagia.

Kehamilan ketiga pun berjalan. Di masa itu, ada beberapa peristiwa yang membuat saya stres karena berat terasa. Alhamdulillah, suami saya memenuhi janjinya: selalu ada untuk saya.

Kadang ia sibuk bermain dengan duo kakak agar saya bisa istirahat. Membantu cuci piring sampai memijat pegalnya kaki saya menopang bayi dalam rahim.

Bidadari ketiga itu pun lahir. Setelah 9 bulan berjibaku dengan berbagai riak riak kecil dinamika hidup ibunya.

Ternyata tak butuh waktu lama untuk segera jatuh hati pada mata bening bayi tak berdosa. Begitu ia didekapkan ke dada, rasa sakit yang muncul sebelumnya seolah sirna.

Seiring berjalannya waktu, anak ketiga ini mulai masuk pula fase gtm. Saya lagi lagi merasa terancam dengan penilaian bahwa keberhasilan seorang ibu ditentukan oleh berat badan anaknya. Lain itu tidak.

Tiap mendatangi timbangan, saya cemas. Buru buru liat KMS ada dimana berat badan bayi tercinta.

Tiap bersanding dengan emak lain yang bawa anak lebih gemuk atau lebih lahap makan, saya siaga. Udah kayak pramuka suruh baca dasadarma #apadeh.

Ketiga fase ini terjadi pada duo kakak, saya baper luarbiasa. Nangis mulu denger anaknya dibilang kurus.

Sekarang?

Saya sudah berubah.

Sekarang saya ksatria baja hitam...#apadah.

Sekarang saya memilih untuk jadi ibu bahagia.

Bahagia itu datangnya dari dalam hati saya.
Bukan ditentukan oleh komentar kiri dan kanan tentang cara saya.

Saya memilih untuk memfilter hati.
 Dari menyerap tanpa saringan komentar dan bahasa tubuh yang tidak nyaman menjadi masukan tanda cinta.

Saya sedang belajar untuk melebarkan danau sempit dalam jiwa menjadi samudera.
Agar sehitam apapun air yang dituang ke dalamnya, tak mengubah warna birunya.

Bohong kalau saya bilang sudah berhasil selalu menjadi ibu bahagia.

Terkadang masih hati ini tak mampu mengelola rasa. Lantas luka karena sesuatu di luar sana. Hanya saja sekarang sudah lebih cepet eling. Waras lagi untuk mengobati hati.

 Bukan orang lain yang membuat luka kita infeksi. Tapi kita yang tak sigap mensterilkannya dari bakteri hawa nafsu.

Lupa masih banyak keberuntungan dari Allah yang mestinya disyukuri.

 Saya tetap masih belajar. Masih galau dan baper kadang kadang, tapi berusaha makin jarang.

Sombong kalau saya mengklaim saya berhasil karena diri sendiri untuk sampai di titik ini.

Saya berhasil karena ada suami yang baik hati. Tak menuntut saya dengan seabreg daftar indikator istri ideal versi dia.

Tak membanjiri saya dengan nasihat yang berujung penghakiman atas kerja keras saya sebagai ibu.
Tak banyak mengkritik, justru rajin mengapresiasi.

Suami yang lebih banyak mendewasakan istri dengan keunikannya sendiri.

Suami yang mau membahagiakan istri dengan kongkrit turun tangan bertugas bantu anak mau mandi dan sikat gigi. Terimakasih, Cinta. Alhamdulillah.

Saya berhasil karena ada lebih banyak orang yang mencintai saya tanpa syarat (anak harus gemuk).

Jadi begitulah...saya kembali fokus pada apa yang harus dilakukan, bukan bagaimana penilaian orang.

Saya membekali diri dengan ilmu ilmu baru supaya pikiran tidak buntu. Supaya punya banyak cara agar anak tak kekurangan gizi meski makan belum jadi hobi.

Anak gemuk jadi kurus itu bukan dosa. Selama ibu dan bapaknya terus berusaha.

Udah gitu aja.

Ayuk buibu hari ini pilih bahagia :)

Aliran Rasa Melatih Kemandirian Anak

Aliran Rasa Melatih Kemandirian Anak

Bulan Desember hawa liburan begitu kuat menusuk :D
Membuat saya lumayan kendor dalam menerapkan latihan kemandirian.

Alhamdulillah keterampilan yang ditargetkan untuk anak masih ada yang tercapai, meskipun lebih banyak yang belum tercapai #tetapsemangat.
Ada beberapa hal yang saya catat sebagai pelajaran:

# mengajarkan skill pada anak akan jauh lebih mudah dengan memecah skill tersebut menjadi tahapan kecil-pendek. Misalnya yang saya alami saat mengajarkan skill istinja mandiri pada si tengah.

 Mulai dari tahap membuka celana sendiri, proses istinja sampai berakhir dengan memakai kembali celana. Untuk tiap tahapan ada waktu dan tentu saja stok sabar yang harus disiapkan.

# untuk memberi instruksi pada anak, dibutuhkan kemampuan komunikasi produktif yang terus diasah. Di saat instruksi ortu kurang jelas, terlalu panjang, atau dibarengi dengan kemarahan, anak bukan hanya gagal paham, tapi juga jadi luka hati. Hiks, maafin Ibu yaa Nak.

# mengobservasi dan mencatat perkembangan anak dalam latihan kemandirian, membuat saya mengerti proses yang harus dilewati. Fokus latihan jadi lebih terarah, efektif dan efisien.

# konsistensi akan diuji manakala berada di luar rumah. Saat berkunjung ke berbagai tempat saya lebih sering turun tangan. Alhamdulillah selama di rumah bisa tetap konsisten meskipun belum mulus prosesnya.

Sekali dua Nafsa masih menguji dengan minta diceboki. Bahkan pernah dia berkata, “Bu aku kelas 1 SD aja ya cebok sendirinya..”, dengan muka memelas. Kasihan sih,tapi saya tetap usaha supaya ia melakukannya dengan senang hati. Apresiasi, dukungan, dan pendampingan mutlak diperlukan agar keterampilan terbentuk.

Begitulah. Pada akhirnya sebagai orangtua, memang stok kesabaran dan konsisten yang masih mengungguli keterampilan apapun untuk dimiliki. Tak ketinggalan, kekompakan orangtua dengan semua yang terlibat dalam pengasuhan harus sejalan. Semoga tiga bidadari kelak menjadi anak mandiri :)