Tuesday 2 January 2018

Drama Anak Ketiga_notes fb Yunda Fitrian

Drama Anak Ketiga

Tahun 2015 sewaktu lihat tanda strip kembar di test pack, perasaan saya ngeri ngeri galau.
Ini kali ketiga saya hamil.
Kalau sebagian perempuan langsung membayangkan betapa lucunya bayi mungil yang akan lahir, saya tidak.

Saya malah langsung membayangkan akan kembali hadir fase dimana hati teriris ketika berat badan anak saya dikomentari. Ya, kedua anak saya  selalu gagal mencapai berat badan ideal.

Maka ketika memberi tahu suami bahwa saya hamil, saya nangis bombay. Kata siapa saya tangguh. Saya mah suka rapuh..

Saya bilang, mungkin Allah memang percaya sama kita sehingga dititip anak ketiga. Tapi kenapa ya, yang saya ingat langsung betapa rempongnya jadi emak emak newbie?

Pertama membayangkan perjuangan hamilnya.

Mual yang akan datang seharian, gerahnya badan setelah hamil bulan ke-7, baju baju kesayangan gak muat lagi, emosi lebay makin menjadi. Tiap hamil saya selalu drama queen.

Saya juga masih takut lahiran. Sesar pernah, ngilu dan pusing setelah bius habis itu rasanyaahhh bikin jumpalitan. Ketawa dan bersin aja bikin cenut kepala.

Lahiran normal pernah. Mulesnya kontraksi gak ketulungan.  Saktnya bikin teriakan saya mungkin kedengeran ke seluruh alam semesta #lebay. Belum pas dijahit. Maap saya belum berhasil sepenuhnya hypnobirthing, hehe.
Kedua, membayangkan lelahnya setelah bayi lahir.

Malem begadang, siang hidupnya cuma dari ngASI ke ngASI. Sisanya nyuci baju bayi. Plus setelah masa cuti selesai, bergelut dengan kegalauan lanjut kerja atau di rumah aja..

Tapi semua itu belum apa apa. Hal yang sering bikin saya suka nangis diam diam adalah komentar orang membandingkan anak saya dengan anak lain yang tubuhnya montok berisi.

Komentar sesingkat dan sehalus apapun terasa seperti belati yang ditusuk keras keras ke ulu hati. Lebay? Ya memang, tapi itu yang saya rasakan.

Semua komentar termasuk nasihat tentang berat badan anak diterjemahkan oleh otak saya menjadi: kamu ibu gak becus, bikin anaknya gemuk aja gak bisa.

Seolah saya gak pernah usaha. Padahal tangan ini pegang makanan seharian, ngakalin balita GTM supaya mulutnya nelen makanan.

Fase itu membuat saya ingin punya remote tv kehidupan. Enaknya bisa pindah channel ganti episode lain yang lebih menghibur. Episode anak saya jadi gembil karena makannya gembul.

Glek.
Kok saya rasanya gak siap ya punya anak lagi??

Suami saya yang awalnya memancarkan wajah bahagia ketika mendengar saya hamil, ganti ekspresi terlihat berusaha empati. Alhamdulillah beliau gak ujug2 marahin saya atau nuduh saya istri gak bersyukur karena dikasih hamil malah nangis.

Suami saya mendengarkan dan berusaha menanggapi kegalauan saya dengan tenang. Dia memberi wejangan. Yang tak mampu saya cerna saat itu, karena lagi emosi jiwa.

Saya hanya ingat, ia berjanji akan mendampingi saya. Selalu ada untuk saya. Bahwa ketetapan Allah pasti baik.
Saya menghela napas dan berusaha berpikir positif. Saya ingin jadi ibu hamil yang bahagia.

Kehamilan ketiga pun berjalan. Di masa itu, ada beberapa peristiwa yang membuat saya stres karena berat terasa. Alhamdulillah, suami saya memenuhi janjinya: selalu ada untuk saya.

Kadang ia sibuk bermain dengan duo kakak agar saya bisa istirahat. Membantu cuci piring sampai memijat pegalnya kaki saya menopang bayi dalam rahim.

Bidadari ketiga itu pun lahir. Setelah 9 bulan berjibaku dengan berbagai riak riak kecil dinamika hidup ibunya.

Ternyata tak butuh waktu lama untuk segera jatuh hati pada mata bening bayi tak berdosa. Begitu ia didekapkan ke dada, rasa sakit yang muncul sebelumnya seolah sirna.

Seiring berjalannya waktu, anak ketiga ini mulai masuk pula fase gtm. Saya lagi lagi merasa terancam dengan penilaian bahwa keberhasilan seorang ibu ditentukan oleh berat badan anaknya. Lain itu tidak.

Tiap mendatangi timbangan, saya cemas. Buru buru liat KMS ada dimana berat badan bayi tercinta.

Tiap bersanding dengan emak lain yang bawa anak lebih gemuk atau lebih lahap makan, saya siaga. Udah kayak pramuka suruh baca dasadarma #apadeh.

Ketiga fase ini terjadi pada duo kakak, saya baper luarbiasa. Nangis mulu denger anaknya dibilang kurus.

Sekarang?

Saya sudah berubah.

Sekarang saya ksatria baja hitam...#apadah.

Sekarang saya memilih untuk jadi ibu bahagia.

Bahagia itu datangnya dari dalam hati saya.
Bukan ditentukan oleh komentar kiri dan kanan tentang cara saya.

Saya memilih untuk memfilter hati.
 Dari menyerap tanpa saringan komentar dan bahasa tubuh yang tidak nyaman menjadi masukan tanda cinta.

Saya sedang belajar untuk melebarkan danau sempit dalam jiwa menjadi samudera.
Agar sehitam apapun air yang dituang ke dalamnya, tak mengubah warna birunya.

Bohong kalau saya bilang sudah berhasil selalu menjadi ibu bahagia.

Terkadang masih hati ini tak mampu mengelola rasa. Lantas luka karena sesuatu di luar sana. Hanya saja sekarang sudah lebih cepet eling. Waras lagi untuk mengobati hati.

 Bukan orang lain yang membuat luka kita infeksi. Tapi kita yang tak sigap mensterilkannya dari bakteri hawa nafsu.

Lupa masih banyak keberuntungan dari Allah yang mestinya disyukuri.

 Saya tetap masih belajar. Masih galau dan baper kadang kadang, tapi berusaha makin jarang.

Sombong kalau saya mengklaim saya berhasil karena diri sendiri untuk sampai di titik ini.

Saya berhasil karena ada suami yang baik hati. Tak menuntut saya dengan seabreg daftar indikator istri ideal versi dia.

Tak membanjiri saya dengan nasihat yang berujung penghakiman atas kerja keras saya sebagai ibu.
Tak banyak mengkritik, justru rajin mengapresiasi.

Suami yang lebih banyak mendewasakan istri dengan keunikannya sendiri.

Suami yang mau membahagiakan istri dengan kongkrit turun tangan bertugas bantu anak mau mandi dan sikat gigi. Terimakasih, Cinta. Alhamdulillah.

Saya berhasil karena ada lebih banyak orang yang mencintai saya tanpa syarat (anak harus gemuk).

Jadi begitulah...saya kembali fokus pada apa yang harus dilakukan, bukan bagaimana penilaian orang.

Saya membekali diri dengan ilmu ilmu baru supaya pikiran tidak buntu. Supaya punya banyak cara agar anak tak kekurangan gizi meski makan belum jadi hobi.

Anak gemuk jadi kurus itu bukan dosa. Selama ibu dan bapaknya terus berusaha.

Udah gitu aja.

Ayuk buibu hari ini pilih bahagia :)

No comments:

Post a Comment