berbagi inspirasi : February 2018

Tuesday 27 February 2018

Jiwa Serapuh Kaca



Ini adalah hari terburuk dalam hidup Leonardo Di Caprio, meskipun sebelumnya ia baru saja merayakan keberhasilannya membekuk penjahat. Ia pulang ke rumah dengan perasaan bangga dan begitu gembira. Ia tak tahu, saat itu di rumahnya telah terjadi  tragedi yang akan mengubah seluruh hidupnya menjadi gelap gulita.

Sampai di rumah, sembari melepas lelah ia menceritakan dengan antusias pengalaman keberhasilannya barusan pada istrinya. Namun ia merasa ada yang aneh karena rumah begitu sepi, padahal seharusnya ketiga anak mereka sudah pulang sekolah dan berada di rumah.

Perasaan tak enak mulai menjalari Leo mengingat istrinya dalam kondisi kejiwaan yang tak stabil. Sebelum mereka pindah ke rumah baru ini, sang istri pernah membakar apartemen mereka karena stress.

Sejak itu, Leo mulai menyadari ada yang salah dengan mental istrinya. Kendati demikian, alih-alih menuntaskan masalah bersama, Leo justru melarikan diri dengan sibuk bekerja sepanjang waktu.

Sedetik kemudian Leo tersadar bahwa ia tak seharusnya membiarkan sang istri bergelut sendirian dengan mental yang tak sehat. Keselamatan jiwa anak-anak dapat menjadi taruhannya. Sayangnya, kesadaran Leo datang terlambat.

Ada yang bisa tebak apa yang terjadi? yang sudah nonton film Shutter Island pasti ingat adegan tragis ini. Leo menemukan 3 anaknya sudah tewas tenggelam di danau belakang rumah. Sementara istrinya hanya termenung duduk memandangi danau. Datar, tanpa ekspresi apa-apa.

Image result for shutter island sinopsis
Adegan yang bikin jantung berasa naik ke tenggorokan
Shutter Island ini salah satu film paling berkesan buat saya (seperti film film Om Leo lainnya, ihiw fans inih ceritanya). Tapi saya bukan mau bahas film ini. Saya mau bahas apa yang sudah saya tulis di buku Yakin Dia Jodohmu? bab Menikahi Jiwa Serapuh Kaca. Seandainya Leo dalam Shutter Island baca buku YDJ, mungkin ceritanya akan berbeda...Menurut saya semua ini juga relevan dengan beberapa berita meresahkan tentang orangtua (spesifiknya ibu) yang membunuh anak-anaknya karena diduga mengalami gangguan jiwa.

Tidak ada gangguan kejiwaan yang terjadi dalam satu malam. Prosesnya bukan karena satu dua kejadian atau setahun dua tahun pernikahan. Gangguan kejiwaan itu interaksi faktor biologis, psikologis, dan sosial sepanjang hidup seseorang, sejak dalam kandungan bahkan mungkin sejak proses pembuahan yang menyebabkan ia menjadi bakal calon manusia.

Kalaupun ada kejadian traumatis, itu bukan penyebab tunggal. Di belakangnya pasti ada sejarah, dan di depannya (setelah kejadian traumatis tersebut) pasti ada berbagai faktor yang membuat kejadian tersebut terus menggerus jiwa. Seperti di film ini, Leo pun akhirnya mengalami gangguan jiwa karena tak mampu memaafkan dirinya (Leo membunuh istrinya setelah menemukan mayat ketiga anaknya tadi).

Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan kejiwaan, yang tidak akan saya bahas di sini karena bisa berubah jadi buku teks psikologi dan psikiatri nanti. Yang jelas, semakin dini deteksi dan penanganan yang dilakukan ketika seseorang mengalami gangguan jiwa, semakin besar harapan untuk menjalani hidup layaknya manusia normal.

Bab Menikahi Jiwa Serapuh Kaca di buku YDJ membahas lengkap tentang ini. Mulai dari contoh kasus, cara deteksi, pencegahan hingga tips menghadapi pasangan yang menderita gangguan jiwa. Ketika menikah, kita tidak serta merta tahu semua sisi kepribadian pasangan. Sangat mungkin, ada sisi gelap pasangan yang menyimpan potensi gangguan kejiwaan. Setelah berstatus sebagai suami istri, kita wajib saling peduli dengan kesehatan mental pasangan. Jangan sampai terjadi apa yang dialami Leo di film Shutter Island (atau yang belakangan terjadi di negeri ini, hiks sedih...).

Penderita gangguan jiwa bisa hidup berdampingan dengan orang normal, beraktivitas seperti orang pada umumnya. Dukungan dan pendampingan dari orang terdekat adalah kekuatan yang sangat berarti bagi penderita. Pun jika tidak dapat menjalani kehidupan normal kembali, ada langkah-langkah penyesuaian yang mestinya dapat dilakukan agar kualitas hidup penderita maupun lingkungan terdekat tetap stabil tanpa tragedi.



Bab Menikahi Jiwa Serapuh Kaca, buku Yakin Dia Jodohmu?


Tak hanya berlaku buat pasangan, kita sendiri pun hendaknya senantiasa mengecek kewarasan diri. Jangan sampai terlalu banyak mengamati pasangan tapi lupa bercermin kepribadian sendiri.

Kalau kepala sudah mulai terasa sering berat, seperti penuh dengan masalah yang tak ada penyelesaian, saatnya BICARA pada orang yang dapat dipercaya. Jika perasaan tak berdaya, putus asa, dan hilang selera beraktivitas apapun mulai menerpa, carilah teman BICARA. Sebab tenggelam dalam pikiran sendiri tak banyak mengubah keadaan. Ada orang lain yang sangat mungkin membantu kita menawarkan sudut pandang yang lebih terang.

Ada banyak cara untuk menjaga kesehatan jiwa. Mendekatkan diri pada Tuhan, melatih keterampilan berpikir positif, berkomunikasi efektif, bergabung dengan komunitas produktif, semua dapat menjadi jembatan agar emosi teralirkan. Jauh dari kata frustrasi. Luka yang membekas di jiwa tersembuhkan kembali.

Dalam konteks parenting, kita sangat perlu membekali anak dengan coping strategy (cara mengatasi dan mengelola stres). Tidak cukup merangsang kognitif anak untuk problem solving. Sebab seringkali dalam hidup, kita tidak kuasa menyelesaikan masalah atau mengubah keadaan. Ada situasi tertentu yang di luar kendali kita sebagai manusia. Mengubah sudut pandang, menerima, mengambil hikmah adalah keterampilan yang tak kalah penting untuk dikembangkan. InsyaaAllah terkait ini saya berniat sharing workshop pengelolaan emosi yang saya ikuti 17-18 Februari lalu. Doakan saya sehat dan sempat :)


Begitulah. Semoga kita semua bisa menjalani (sisa) hidup ini dengan jiwa yang sehat. Saling menguatkan dan mendoakan dalam setiap episode kehidupan. Selalu ingat bahwa Tuhan dekat dan Maha Mengabulkan permohonan hambaNya. Bahwa Dia sejatinya tidak pernah menguji di luar batas kemampuan manusia. Bahwa selalu ada kemudahan di tengah kesulitan yang sedang melanda.

"Jika kita tidak mampu mengubah keadaan, ubahlah sudut pandang. Jika kita tak mampu menyelesaikan masalah, terima dan berdamailah. Kita selalu punya pilihan; untuk menyerah atau tabah (Fitrian, 2018)".

Ini lho penampakan bukunya bagi yang belum order...eh belum tau ;D




Aliran Rasa Mengamati Gaya Belajar Anak


Alhamdulillah, tantangan kali ini dapat terselesaikan meski saya merasa kurang optimal di sana sini. Manajemen waktu perlu kembali diperketat.
Alhamdulillah lagi, Si Tengah sebagai aktris utama dalam tantangan kali ini sudah sehat kembali :)

Selama mengerjakan tantangan 10 hari tentang gaya belajar, saya cenderung apa adanya alias kurang usaha. Saya merasa gaya belajar anak saya sudah sangat jelas, dominan di auditori dan kinestetik. Ada sisi visualnya tapi tidak terlalu dominan. Selebihnya saya berpendapat bahwa di usia balita, anak masih sangat terbuka menyerap berbagai informasi dari pancaindera. Kegiatan yang melibatkan sensorimotor masih sangat dibutuhkan, tidak terbatas pada dominasi gaya belajarnya saja.

Saya juga seperti menghadapi dilema. Di satu sisi saya berpikir, harus lebih banyak membaca dan mau bersusah payah untuk membuat stimulus pembelajaran bagi anak-anak. Di sisi lain saya masih meyakini bahwa anak semestinya diberi stimulus sealami mungkin. Bukan dijejali dengan yang serba buatan. Diberikan keleluasaan memilih dan berkreasi dengan apa yang ada di sekitarnya, bukan serba difasilitasi dengan bahan yang diada-adakan.

Nah, dua hal itu yang belum sinkron buat saya sehingga bukannya bergerak saya malah freeze. Memilih diam dan cukup mengamati apa yang terjadi sehari-hari. Akhirnya malah jadi merasa kurang proaktif. Ini tantangan berikutnya bagi saya, lebih banyak menggali dan belajar lagi soal stimulasi natural bagi anak.

Selebihnya, saya kembali menghayati pesan dibalik tantangan ini, yaitu agar orangtua semakin banyak terlibat, beraktivitas bersama, mengamati anak, dan berbagi kesenangan dalam keseharian. Seperti yang sudah dicontohkan Bu Septi dan Pak Dodik. Semoga saya bisa terus belajar dan konsisten membersamai tumbuh kembang 3 bidadari.

#level 4
#kelasbunsayIIP

Thursday 22 February 2018

Tantangan Hari ke-10 Mengamati Gaya Belajar Anak



Selasa kemarin, demam Nafsa sempat turun. Ia sudah mau main meski sebentar. Ia mengajak saya bermain bola. Di rumah kami memang memiliki cukup banyak bola. Ada bola bola plastik keci seukuran jeruk, ada pula bola karet sedang seukuran kol.

Saya mengajak Nafsa melempar bola ke dalam keranjang. Ternyata ia lebih jago dari saya, lebih sering berhasil memasukkan bola.  Nafsa juga mengajak saya main bulutangkis.

Semoga Allah segera angkat penyakitmu Sayang, kangen main sama Nafsa :)


Tantangan Hari ke-9 Mengamati Gaya Belajar Anak


Jumat lalu kami sekeluarga pergi menghadiri undangan pernikahan teman di Jakarta Selatan. Lokasi tepatnya di SMKN 57 Jakarta.

Selesai menikmati hidangan, kami memutuskan berkeliling lokasi sambil menunggu Ayah yang Jumatan di masjid dalam sekolah. Saat berkeliling, Nafsa tertarik pada lapangan olahraga dan mengajak kami ke sana.

Awalnya saya tidak tertarik dan mengira lapangan terkunci. Namun karena Nafsa ingin sekali, saya pun mengajak 3 bidadari ke sana.

Perhatian kami langsung tertuju pada sebuah kursi yang tinggi. Saya jelaskan pada anak anak bahwa itu adalah kursi wasit bulu tangkis atau voli.

Ide bersenang senang muncul. Saya menantang anak anak apakah berani naik kursi tersebut. Awalnya duo kakak ragu hingga saya yakinkan bahwa kursi itu aman karena saya bisa menjangkau mereka meski kursi lebih tinggi dari tubuh saya.

Nafsa yang langsung menjawab mau mencoba. Benar saja, dengan percaya diri ia sampai ke atas kursi dan duduk manis sendiri. Alhamdulillah, kami memberinya selamat. Nafsa tertawa senang dan tampak menikmati duduk di atas kursi tersebut.


Melihat adiknya berani, si sulung pun termotivasi untuk mencoba. Beda dengan Nafsa yang cepat sampai, si sulung sempat takut ketika menyadari posisinya sudah tinggi. Saya pun meyakinkan bahwa situasi aman, saya berada di dekatnya.

Beberapa menit kemudian ia pun yakin dan sampai di atas kursi.  Meskipun hanya berani beberapa saat saja lalu langsung turun kembali dengan sangat hati hati.


Kejadian ini kembali menambah bukti tentang gaya belajar dominan duo kakak. Si sulung dengan visualnya, si tengah dengan auditori kinestetiknya. Semoga bisa saling melengkapi yaa..


#level 4
#Kuliah_bunsay_iip

Tantangan Hari ke-8 Mengamati Gaya Belajar Anak


Salah satu ciri orang dengan gaya belajar dominan auditori adalah kepekaan terhadap suara. Bentuk kepekaan itu bisa berupa kebutuhan untuk hening saat sedang konsentrasi.

Ciri ini terlihat juga pada Si Tengah Nafsa. Beberapa hari yang lalu, saat sedang demam, Nafsa meminta kami menghentikan suara suara, padahal kami sudah pelan sekali bicara. Mungkin ia terganggu karena pendengarannya sangat peka.

Belum bisa banyak bereksplorasi karena Nafsa masih kurang sehat. Semoga segera sehat kembali, Nafsa Sayang...

#level4
#Kuliah_bunsay_iip

Tuesday 20 February 2018

Tantangan Hari ke-7 Mengamati Gaya Belajar Anak


Meskipun gaya belajar Nafsa dominan auditori dan kinestetik, saya tak memungkiri ia juga bisa menggunakan gaya belajar visual dengan baik.

Seperti beberapa hari ini. Ia ingin dibacakan buku cerita sambil melihat gambarnya. Meskipun sedang kurang sehat, semangat dibacakan buku sambil melihat gambarnya tetap menyala nyala.

Sebagian besar manusia memang visual, maka sebagai orangtua, kita tak perlu membatasi anak hanya fokus pada satu gaya belajar saja. Anak anak masih sangat berkembang dan perlu banyak stimulasi pancaindera untuk mengoptimalkan kecerdasannya.

#level4
#Kuliah_bunsay_iip

Monday 19 February 2018

Tantangan Hari ke-6 Mengamati Gaya Belajar Anak


Sedihnya si tengah hari ini masih demam. Saya akan menuliskan pengalaman beberapa hari lalu ketika ia sedang sehat.

Saat itu Nafsa menunjukkan tepuk Wudhu dan tepuk Sholat yang diajari di sekolahnya. Ia menyebutkan rangkaian kegiatan wudhu dan sholat dengan cara tepuk tepuk tersebut.

Awalnya Nafsa masih terlihat bingung dan berpikir ulang urutan tepuknya. Setelah beberapa kali mencoba dan saya dampingi meluruskan, Alhamdulillah Nafsa bisa melakukannya sesuai urutan aslinya.

Saya jadi dapat ide, mungkin setelah ia sembuh akan saya ajarkan tepuk beberes mainan supaya ia lebih mudah diajak membereskan mainan (dan buku-bukunya).

#gamelevel4
#gayabelajar

Saturday 17 February 2018

Tantangan Mengamati Gaya Belajar Anak


Wah, keasyikan sibuk di warung sebelah sampe lupa lapak yang ini ;D


Jadi saya coba tulis kembali pengalaman membersamai Nafsa si anak tengah.

Di hari ke-5, kami main peran bersama. Sebenarnya ini hampir tiap hari dilakukan Nafsa.

Setting ceritanya di sekolah.  Nafsa paling sering mau jadi gurunya. Tampaknya ia memang menyukai peran tersebut.  Terlihat dari ekspresi wajah, nada bicara, gerak tubuh yang sangat menjiwai peran tersebut.

Nafsa menirukan suara dan nada gurunya persis sekali. Naik turun dan tempo bicaranya sama persis dengan gaya guru favoritnya di sekolah. Nafsa mengajari saya berbagai tepuk dan mengajak membaca.

Demikian kisah belajar hari ke-5, makin tergambar gaya belajar  Nafsa yang dominan auditori dan kinestetik.

Monday 12 February 2018

Tantangan Hari ke-4 Mengamati Gaya Belajar Anak


Alhamdulillah bisa kembali menulis untuk game level 4 ini.

Jadu ceritanya, Jumat lalu saya mengaja duo kakak untuk bermain Ninja Warrior. Caranya sederhana saja. Saya menyiapkan beberapa barang di lantai seperti kursi plastik, bantal, keranjang cucian, dan beberapa buah mainan.

Tugas duo kakak secara bergantian melewati benda-benda tersebut dengan cara tertentu. Alhamdulillah keduanya senang bermain Ninja Warrior.

Nah, selama bermain saya mengamati dan kembali terlihat jelas perbedaan kedua kakak ini. Si tengah Nafsa lebih lincah dan cermat, serta berulangkali memainkan permainan ini. Sementara si sulung, setelah sekali bermain lalu masuk kamar dan seperti biasa, membaca buku sampai saya mengingatkannya untuk makan, sholat, mandi, dst.

Jadi saya mencermati lagi bahwa si tengah ini memang cenderung bergaya belajar auditori-kinestetik. Sementara si kakak sangat visual.

#gamelevel4
#kuliahBunsayIIP
#tantangan hari ke-4

Ketika Topeng Telah Terbuka_facebook Yunda Fitrian

Ketika Topeng Telah Terbuka
Setelah resmi dilamar Kak Edwin-begitu saya memanggilnya dulu-saya masih bertanya tanya dalam hati: kenapa ia memilih saya?
Saya tahu, tak sedikit perempuan yang bersimpati bahkan mungkin jatuh hati padanya. Walaupun yang naksir saya juga banyaak, ehem. #gakmaukalah.
Dengan gayanya yang luwes, hangat, dan supel, ia tentu punya banyak peluang untuk mencari perempuan yang lebih segala galanya dari saya. Apalagi jejaring beliau memang jauh lebih luas dari saya.
Ada perasaan minder dan ragu, apa bisa saya mengimbangi beliau? Dia yang level aktivitas dan gaulnya jauh di atas saya.
Rasa kagum akan rekam jejaknya sebagai anak baik sejak SMA juga membuat saya kian bertanya, apa saya pantas bersanding dengannya?
Mendekati hari H akad nikah, seorang sahabat mengirimi saya sebuah artikel. Isinya tentang bersiap menerima kekurangan pasangan. Kelak setelah bulan madu berakhir, suami istri akan mulai memunculkan sifat asli yang tidak terlihat sebelum menikah.
Sebesar apapun kekaguman seseorang pada pasangannya sebelum menikah, niscaya meluntur setelah masa bulan madu berakhir.
Sesempurna apapun terlihatnya seseorang sebelum menikah, kelak setelah menikah akan terlihat aib dan celanya.
Serajin apapun seorang Dilan berlaku romantis saat pedekate, kelak setelah nikah ia akan lebih rajin molor, Milea #apadah.
Setelah topeng kita terbuka, saat itulah komitmen pernikahan diuji.
Beberapa hari setelah akad nikah, saya merasa makin takjub dengan Kak Edwin. Ia seperti malaikat yang dikirim Allah untuk saya. Hatinya lembut, tutur katanya santun, pemikirannya visioner, bertanggung jawab dan humoris. Iya deh, ditambah ganteng (takut doi ngambek kalo ga diakui kegantengannya, wkwkkwk). Saya merasa dia begitu sempurna.
Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Ketakjuban saya berangsur memudar seiring waktu. Saya segera menemukan cela dari malaikat saya ini. Mulai dari kebiasaan kecil yang mengganggu, sampai perbedaan dalam memandang dan menyikapi berbagai masalah kehidupan.
Perasaan minder, khawatir tak mampu mengimbangi suami, sudah menguap ke udara. Berganti menjadi tanya mengapa suami saya seperti ini?
Ternyata,Kak Edwin pun merasakan hal yang sama. Iyalaah sama, kan kita jodoh #Ihiw.
Sebelum menikah, ia mengaku sempat merasa minder dengan sosok saya, yang di matanya sangat bersahaja, santun, lembut, cerdas tangguh, dan shalihah (ini pengakuan asli dari Kak Edwin lho, bukan karangan saya #pencitraan).
Ia sempat tak yakin, saya akan menerimanya. Sebab ia tahu ia juga punya 'saingan-saingan’ lain yang bisa jadi lebih masuk kriteria saya.
Setelah menikah, tepatnya beberapa minggu hidup berdua, ia mulai mengerutkan kening tanda berpikir keras.
Lho kok, Yunda tidak seperti yang saya pikir sebelumnya?Ternyata Yunda bisa mewek, ngambekan, jutek, bad mood dan lain sebagainya (malu ah kalo disebut semua kejelekannya, gagal nanti pencitraan saia).
Kami sama sama berada di fase mulai melihat watak asli pasangan. Dan kami harus berjuang untuk berdamai. Menurunkan standar ideal serta ekspektasi yang terlalu tinggi. Jika tidak, kami bisa bubar jalan.
Merasa salah pilih pasangan, menurut para ahli, adalah perasaan yang seringkali dialami setelah melewati masa bulan madu. Everybody Married The Wrong Person, tulis seorang psikolog dalam sebuah artikel, saat menggambarkan fenomena ini.
Kekecewaan terbesar biasanya dialami oleh mereka yang sebelum nikah menjadi secret admirer pasangannya. Merasa gak layak karena profil pasangan 'ketinggian', merasa si doi adalah sosok sempurna kayak di lagu Andra n the backbone (katauan dah generasi tuwir). Akhirnya gigit jari waktu nemu abcde sampai z sisi gelap pasangannya.
Alhamdulillah, masa terkaget kaget setengah kecewa itu sudah kami lewati. Melalui perjuangan yang tak singkat bernama berdamai dengan diri sendiri. Melalui airmata dan tawa tiap episode rumahtangga yang membuat kami terus belajar saling mengenal, saling menghargai, saling menerima.
Alhamdulillah, Allah memampukan kami melewati badai 5 tahun pertama. Pengalaman itu kami bagi di buku Yakin Dia Jodohmu? Maaf ya ini mah bukan iklan, cuma promosi 
Jadi buat para calon pengantin, yang masih ngerasa si dia adalah sosok penuh wibawa, anggun mempesona...aku mah apa atuh...remah remah rautan pensil warna...segeralah tegakkan kepala.
Daripada berlama lama dalam keminderan, lebih baik banyak belajar dan berkontribusi buat sesama. Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia! #kangenAlmamater.
Bersiaplah melihat wajah asli dibalik topeng nan mempesona.
Dan buat yang sudah jadi pengantin, ketika makin hari pasangan terasa makin bikin ilfil, cobalah untuk berdamai. Kalau bingung caranya gimana, baca aja buku Yakin Dia Jodohmu? InsyaAllah ketemu jawabannya.
Selamat hari Kamis, semoga hidup makin manis, berjibaku dalam perjuangan meraih kebaikan dengan optimis 
Special notes for my lovely sister Mulyati Solehah, enjoy your moment 

A HOME TEAM Resume Part 2


Bismillahirrahmanirrahim, baiklah..setelah semua princess tertidur saatnya emak tetep terbangun dan melanjutkan hidupnya :D

Pertanyaan kedua dari Mbak Merry, seperti apa sih tahapan berbagi peran itu? Pak Dodik dan Bu Septi menjawab, setelah melewati tahapan fokus kekuatan, buat dulu list peran masing-masing. Termasuk dengan anak-anak, jika mereka sudah cukup bisa diajak berkomunikasi.

Selanjutnya buat kesepakatan bagaimana membagi peran tersebut. Kemudian bergantian saling memback-up ketika dibutuhkan. Jadi tidak ada jalan masing-masing.

Dalam urusan domestik, misalnya. Tidak harus selalu istri yang mengerjakan. Manakala istri sedang fokus mengerjakan pekerjaan yang lebih prioritas, suami bisa memback-up. Bu Septi bercerita bahwa Pak Dodik itu lebih jago masak dan lebih teliti dari beliau. Pak Dodik pula yang bisa menjahit sementara Bu Septi tidak.

Kebetulan, di awal seminar Bu Septi sempat bertanya pada dua orang bapak yang hadir tanpa istri, mengapa mereka hadir sendirian. Bapak yang pertama menjawab berbagi peran dengan istrinya yang harus menjaga anak-anak, sementara Bapak yang kedua menggantikan istrinya yang sakit. Bu Septi pun mengaitkan jawaban dari pertanyaan tadi dengan dua bapak ini serta mengajak audiens mengapresiasi mereka.

Jujur, tiap kali ada bapak-bapak yang mau berbagi peran dengan istri, mau ikut seminar parenting, hati saya terasa sejuk seperti makan permen ment*s. Karena sependek yang saya tahu, tiap kali hadir kajian atau forum seminar apapun, curhatan mayoritas para ibu adalah tidak terlibatnya para bapak dalam urusan pengasuhan maupun kerja domestik. Jadi mari kita kasih 1000 jempol buat para bapak yang mau kembali pada fitrahnya sebagai pemimpin pengayom keluarga. Hidup Bapak Keluarga!!! (kepal tangan ke udara).

Pak Dodik mengatakan, jika peran istri adalah manajer keluarga, maka peran suami adalah sebagai pemimpin sekaligus pendukung penuh peran istrinya. Termasuk menyiapkan ‘ujian’ agar istri makin mahir dan bisa naik kelas.

Pak Dodik menceritakan ketika Bu Septi mulai merintis praktek menjadi ibu rumah tangga professional, Pak Dodik menguji istrinya dengan membuatkan kartu nama Bu Septi. Pada kartu nama itu tertulis status Bu Septi sebagai Ibu Rumah Tangga Profesional. Lalu Bu Septi dan Pak Dodik secara rutin menyebarkan kartu nama tersebut tiap kali bertemu orang dalam forum seminar.


Respon tiap orang yang hadir semuanya sama: bingung lalu bertanya, apa maksudnya IRT Profesional? Nah, tiap kali ada yang bertanya Pak Dodik tinggal njorogin Bu Septi biar menjelaskan. Awalnya Bu Septi tergagap-gagap, tapi setelah sekian banyak yang bertanya Bu Septi lancar menjelaskan. 

Supaya Bu Septi naik kelas, maka Pak Dodik pun menaikkan level ujiannya.   Beliau mengajak Bu Septi berkenalan dengan dosen UI dan mantan rektor ITB, agar Bu Septi mampu presentasi lebih kece lagi. 

Dengan berkelakar Pak Dodik berkata, “Jadi saya gak usah ngapa-ngapain. Cukup mendukung dari belakang terus jorogin Bu Septi,” disambut tawa dari kami semua.

Bagi saya ini so sweet banget. Tidak banyak suami yang peduli dengan potensi istrinya, sampai mau repot ikut terlibat seperti yang Pak Dodik lakukan. Alhamdulillah, suami saya termasuk yang mau repot dengan pencapaian (dan kebahagiaan) saya.

Bagaimana suami mendukung saya secara moral, material, dan spiritual sungguh mengingatkan saya pada ucapan Rasulullah. Ketika Beliau SAW mengatakan jika manusia boleh bersujud pada manusia, maka aku akan menyuruh seorang istri bersujud pada suaminya. Menurut saya, Abang Edwin pantas menjadi tempat sungkem takzim saya atas semua kebaikannya…hiks, jadi terhaaruuu. Semoga dia gak baca bagian ini, entar kege-eran, wkwkwk.

Jadi pelan-pelan, tergambar sudah mengapa Bu Septi menyebut Pak Dodik punya kapasitas sebagai imam.

Pertanyaan ketiga, yang terakhir saya catat lengkap, adalah dari Mbak Sari, teman sekelas matrikulasi dan bunsay saya. Beliau bertanya singkat dan padat, saya kira sangat mewakili kesulitan para istri dalam membangun komunikasi dengan suami. Pertanyaannya adalah bagaimana sih caranya ngobrol?
Pak Dodik menjawab dengan menggambar di flipchart. 

Beliau menggambar dua lingkaran bertuliskan INTEREST, kemudian menjelaskan. Jika diibaratkan lingkaran tersebut, tiap manusia punya interest atau ketertarikan yang berbeda-beda. Jika dua manusia tidak memiliki irisan interest, maka mereka hampir dapat dipastikan tidak akan bisa asyik mengobrol. Jadi untuk membuka dan membangun obrolan, suami istri harus punya irisan interest yang sama.

Sepasang suami istri yang sudah memiliki anak, semestinya punya irisan interest ketika membicarakan ANAK. Pak Dodik kembali guyon, “Gimana bisa gak interest kalo ngomongin anak, wong karya berdua kok, gak ada interestnya?!” Nah, menurut Pak Dodik, kalau sampai suami istri tidak interest saat ngobrol tentang anak bisa jadi karena saat ngborol itu mereka hanya ingin berbagai BEBAN, bukan berbagi KEBAHAGIAAN.

Ngobrol akan menggembirakan manakala yang dibicarakan mendatangkan kebahagiaan bersama. Maka ketika ngobrol, perbanyaklah apresiasi dan cerita sukses. Bukan evaluasi dan beban pikiran. Balik lagi contohnya seperti sesi mastermind yang sudah dibahas di resume 1 yaa.

Perkara ngobrol ini bikin saya merenung. Saya termasuk yang jaraaang dan susaaah ngobrol kalau gak dengan orang-orang yang sudah dekat atau setipe dengan saya. Makanya kadang sebagian orang mungkin merasa saya cuek atau dingin banget. Padahal mah cuma bingung mau ngomong apa, gak pinter basa-basi. Jadi ya kuncinya kalau saya mau lebih bisa luwes ngobrol (suami saya banget itu), saya harus pintar-pintar menemukan irisan interest dengan lawan bicara. Noted!

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya sudah saya catat seadanya, jadi mohon maaf jika kurang detail. Silakan koreksi atau menambahkan jika teman teman yang membaca ikut hadir dan masih ingat detail informasinya.

Setelah Mbak Sari, ada seorang bapak yang bertanya bagaimana jika beda konsep parenting dengan istri? Dalam hal ini ia mencontohkan kasus ketika anak minta izin main hujan-hujanan. Sebagai ayah ia berpikir biarkan saja anak main hujan, kalau sakit ia akan belajar dari pengalaman tersebut. Sementara istrinya sebagai ibu khawatir dan melarang.

Pertanyaan sejenis juga datang dari seorang bapak yang menceritakan pengalamannya disebut jahat oleh anak karena tidak mau membelikan mainan. Sementara ketika pulang kerja, justru istrinya membelikan mainan.

Pak Dodik menjelaskan, tiap orang punya Frame of Experience (sudut pandang berdasarkan pengalaman) dan Frame of Reference (sudut pandang berdasarkan nilai-nilai kelompok yang menjadi acuan) yang berbeda-beda. Begitu pula suami istri. 

Maka SELARASKAN perbedaan ini dengan KOMUNIKASI. Intensifkan komunikasi agar lama-kelamaan bisa selaras.  Tentunya komunikasi produktif yaa (ada bahasan khusus komunikasi produktif kalau kita ikut kelas Bunda Sayang IIP).

Suami istri tidak boleh bertengkar atau terlihat beda prinsip di depan anak. Meskipun tidak setuju, kalau masih di depan anak, diam saja dulu. Nanti dalam kamar baru dibicarakan baik-baik. Dengan gaya lucu Pak Dodik mencontohkan suami istri yang bertengkar di kamar tapi begitu keluar menemui anak-anak, kembali berwajah manis dan kompak :D

Saya setuju banget. Sudah cukup sering lihat anak-anak yang kesulitan berperilaku baik karena ketidakkompakan orangtua. Gak perlu diperpanjang, nanti saya bikin buku parenting lagi, wkwkwk
.
Untuk kasus mainan tadi, sayang rasanya kalau saya gak cerita tentang guyon berbobot Pak Dodik. 
Jadi waktu menjawab pertanyaan si bapak tadi, Pak Dodik berkata, “Pak, nanti pulang ke rumah, bilang sama anak gak ada yang namanya Abi Jahat, adanya ABU JAHAL. Kalau Abi, baik. Abi ceritain ya tentang Abu Jahal,” para peserta pun kembali terkikik. Tapi menurut saya apa yang disampaikan Pak Dodik benar: membangun komunikasi pada anak melalui cerita.

Pertanyaan berikutnya, saya ingat dari Mbak Respati (Rere, teman sesama matrikulasi batch 4 kemarin). Di sini juga Pak Dodik bikin riuh lagi:
Pak Dodik:  “Mbak tau artinya Respati?”
Mbak Re: “Tau, Pak”
Pak Dodik: (mengangguk) “Saya gak tau soalnya”
Wkwkwk.

Mbak Rere bertanya, siapa orang yang menginspirasi Pak Dodik sehingga bisa berprinsip anak-anaknya harus dididik oleh ibunya sendiri. Pak Dodik tidak menjawab to the point dengan menyebut nama seseorang. 

Beliau hanya bercerita bahwa sejak dulu sering nyantri; berkunjung dan ikut tinggal pada para ulama atau orang orang baik. Dari berbagai pengalaman nyantri itu, Pak Dodik terinspirasi.

Maka tugas sepasang suami istri adalah berbagi inspirasi (eeaa kayak judul blog saya yaa). Agar selaras dan sejalan ketika berada di lapangan.

Pertanyaan selanjutnya, dari seorang bapak. Ia menceritakan hasil pengamatannya bahwa beberapa orang yang ia lihat memiliki anak sukses, memiliki latar belakang wirausaha. Dimana sang ayah memiliki banyak waktu untuk keluarga. 

Ia membandingkan pengalaman pribadinya yang pergi pagi pulang malam tiap hari, week end sudah terlalu lelah dan hanya ingin istirahat. Merasa kurang memiliki waktu untuk anak. Nah, si Bapak bertanya bagaimana pandangan Pak Dodik tentang hal ini.

Pak Dodik mengatakan, beliau termasuk orang yang tidak terlalu percaya quality time. Menurut beliau, durasi dan intensitas perjumpaan tetap penting, tetap dibutuhkan. Namun demikian, Pak Dodik tidak sepakat jika ada kesimpulan bahwa anak yang sukses pasti orangtuanya wirausaha karena punya banyak waktu luang dengan anak-anak. Ada saja pengusaha yang anaknya tidak sukses, begitu juga pegawai kantoran, ada yang anaknya sukses.

Kedua orangtua Pak Dodik dan Bu Septi semuanya pekerja. Ayah Pak Dodik dan Bu Septi sama-sama tentara. Ibunya Pak Dodik kepala sekolah, sementara ibunya Bu Septi pegawai Depag. “Kami berdua bisa dibilang sukses kayaknya ya?” Tanya Pak Dodik dengan cengiran lucu. Jadi benang merahnya menurut beliau bukan bekerja atau tidaknya orangtua, tapi seberapa baik interaksinya bersama anak.

Interaksi mensyaratkan KEHADIRAN, baik fisik maupun psikis. Maka jauhi gadget ketika bersama anak. Terlibatlah secara penuh ketika berinteraksi dengan anak. Hadirkan hati dan jiwa sepenuhnya. Pakailah gadget hanya untuk mendekatkan ketika berjauhan. Bukan sebaliknya, menjauhkan ketika berdekatan.

Ada sebuah pengalaman yang sangat berkesan bagi Pak Dodik. Pada saat beliau wisuda, seorang ibu dengan kain jarik dan konde cempol sederhana, dipanggil ke depan podium. Sang rektor mengatakan bahwa ibu ini seorang ibu yang hebat. Dengan keadaannya yang single parent, buruh tani, mengasuh 7 anak dan semuanya menjadi lulusan cumlaude di 3 universitas terbaik se-Indonesia. "Salah satunya adalah tempat kuliah saya, maaf ya..!"canda Pak Dodik.

Ibu ini ditanya, bagaimana ia membesarkan putra putrinya. Sang ibu bercerita bahwa sebagai buruh tani ia harus berangkat pagi-pagi buta dan baru pulang lepas maghrib. Saat pulang itulah, ia membangun kedekatan dengan putra putrinya. Ia datangi anak-anak yang masih bangun satu-persatu, lalu diajaknya ngobrol. Sementara yang sudah tidur, ia ajak ngobrol dalam keadaan tidur, lantas ia doakan dan usap kepalanya. Masya Allah, luar biasa bukan..


Pak Dodik kembali mengingatkan kami untuk terlibat bersama anak dengan cara merawat masa kanak-kanak, jangan terlalu cepat tua setelah menikah. Tampillah sebagai anak ketika membersamai anak bermain. Juga mencandai pasangan. Pak Dodik bercerita bagaimana ia mencandai Bu Septi. Suatu ketika Bu Septi sedang serius bekerja di depan laptop. Diam-diam Pak Dodik menyelinap dan mengigit jari kaki Bu Septi! ngakak banget saya denger cerita ini, wkwkwkwk.

“Bu Septi kaget kan, marah ngejar-ngejar saya akhirnya kejar-kejaran deh, jadi seru ketawa bareng,” tutur Pak Dodik sumringah. Saya melirik Bu Septi yang tampak menutupi tawanya dengan kedua telapak tangannya. Hihi, so sweet lagiiii kaaan.

Bu Septi menambahkan, ada 3 hal yang tidak akan ditolak anak: main, cerita (dongeng), dan hadiah. Main dengan anak harus totalitas, tidak disambi. Bu Septi menceritakan pengalamannya saat membesarkan 3 anak. Pukul 7-14 Bu Septi total bermain bersama anak. Pekerjaan rumah tidak ada yang disentuh dan hanya dibereskan di luar jam tersebut.

Bahkan jika ada tamu, Bu Septi akan meminta maaf dan akan ganti berkunjung di luar jam 14 setelah selesai dengan anak-anak. Fiuuuh mauu banget kayak gini. Saya sendiri baru berhasil meminimalisir kata ‘nanti’ ketika anak ngajak main. Walaupun kadang masih banyak nanti karena lagi nanggung nyuci piringlah, ngejemurlah…jadi pengen pasang iket kepala lagi buat manajemen waktu beberes rumah.

Pertanyaan berikutnya dari seorang ibu yang menceritakan betapa datar suaminya. Jika diajak ngobrol, jawabannya hanya ‘biasa aja’, ‘iya-iya’ aja. Walaupun suaminya ini termasuk suami yang care, mau berbagi peran, sering membersamai anak. Namun sang istri ingin suaminya lebih antusias. Pertanyaan serupa juga datang dari seorang ibu yang sampai curhat jam 3 pagi nyetir sendiri ke RS karena suaminya gak perhatian.

Pak Dodik mengawali jawabannya dengan bertanya, “Tapi masih mau sama yang ini kan Bu? Gak mau ditukar?” Lalu beliau mengapresiasi kedua suami tersebut, sebab sangat jarang suami yang mau berbagi peran turun tangan membantu pekerjaan domestik dan mengurus anak. Maka yang perlu dilakukan pertama adalah TERIMA.

Ada yang harus disyukuri dan diterima saja dari pasangan, ada yang perlu diusahakan untuk diubah. Ini sama persis sama yang sering saya tulis di fb, juga di buku YDJ.  Terkadang karena terlalu banyak menuntut, kita lupa pada kekuatan pasangan.


Pak Dodik mengatakan, ubahlah sudut pandang kita dalam mencintai pasangan dari take & give menjadi give & given. Artinya bukan memberi karena mengharap balasan atau menuntut keinginan. Melainkan meyakini apa yang kita berikan, itu yang akan kembali pada kita. Maka rasakan kasih sayang dengan apa yang kita berikan, bukan apa yang kita tuntut. Duuh ini nyees banget buat saya yang hobi nuntut suami, hiks #sungkemjilid2dehsamasuami ;(

Selanjutnya Pak Dodik yang bertanya pada sang ibu, biasanya apa yang dilakukan untuk suami ketika bangun pagi? Berbuatlah yang berbeda jika mengharapkan hasil yang berbeda. Berikan respon yang berbeda ketika suami memberikan stimulus, jika kita menginginkan perubahan pada suami. Sekali lagi mantranya sama, for things to changes, I MUST CHANGE.

Tambahan lagi, jadilah pengamat ulung. Pada situasi seperti apa suami lebih antusias atau perhatian? Perbanyak situasi seperti itu. Pak Dodik mengambil contoh missal suami terlihat berbinar binar dan bercerita antusias ketika mendapati semangka matang di kebunnya. Maka istri berikan respon yang luar biasa. Yakinkan suami bahwa istri sukaa dengan suami yang menunjukkan ekspresi antusias itu. Perbanyak situasi yang membuat suami antusias seperti momen tersebut.

Selain itu, tetaplah berusaha mendekatkan diri dengan pasangan sesuai mantra IIP: perbanyak main bareng, ngobrol bareng, beraktivitas bareng. Niscaya kebersamaan itu akan terasa lebih bermakna. 
Berikutnya seorang ibu menceritkan kegalauannya. Di satu sisi, ia ingin bersama anak sepenuhnya di rumah. Di sisi lain, secara ekonomi ia masih butuh bekerja untuk membantu keluarga. Jawaban Pak Dodik buat saya bijak sekali.

Beliau berkata, rezeki itu meskipun kita berada di kolong kasur kalau sudah tertulis untuk kita, akan datang. Sebaliknya, jika bukan buat kita, seperti apapun kencangnya kita berlari, tetap tidak akan dapat. Jadi tugas kita hanya menyiapkan rongga hati yang besar untuk lapang menerimanya. 

Selain itu, jangan pisahkan keberhasilan mendidik anak menjadi dua kubu: jika bekerja di luar rumah berarti tidak bisa mendidik anak. Jika bekerja di rumah saja pasti bisa mendidik anak. Tidak seperti itu, menurut Pak Dodik dan Bu Septi. Semua kembali pada niat dan usaha untuk meningkatkan kualitas diri orangtua.

Terakhir Pak Dodik menyarankan, ada baiknya ibu tersebut berdiskusi dengan suami dan anak-anak. Jika suami ridho, anak-anak minta juga ibunya di rumah saja, maka bismillah lakukan. Serahkan persoalan rezeki pada Allah. Kembali lagi, jika suami ridho, insyaAllah ada jalan untuk menemukan kebahagiaan.

Selanjutnya ada lagi yang bertanya tentang tahapan untuk mencapai A Home Team. Di sini saya sudah semakin tidak detail mencatat, jadi saya hanya sarikan yang tertulis saja yaa :D #hadeuh

Ketika ditanya tentang proses menjadi A Home Team, Bu Septi menjelaskan buatlah indikator kesuksesan sesuai keunikan keluarga masing-masing. Tidak perlu membandingkan diri dengan keluarga lain. Fokuslah pada kekuatan keluarga sendiri. 

Begitu pula pada anak, jangan pernah bandingkan dengan anak orang lain. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah keluarga atau anak kita hari ini dengan 2 tahun yang lalu, 5 tahun yang lalu, dan seterusnya. Adakah perkembangan atau kemajuan yang berarti?

Ini juga saya setuju banget. Karena kalau membandingkan yang ada terbebani dan pusyiiing. Coba gimana gak pusing kalo ngebandingin keluarga saya sama keluarga Bu Septi yang udah super. Yang ada mager karena jiper #hiah bahasa jadul keluar.

Ada lagi pertanyaan tentang proses homeschooling anak-anak Bu Septi dan Pak Dodik. Yang saya catat intinya, tugas ibu bukan mengajar, tapi belajar bersama. Jadi ibu pun bertumbuh dan bertambah pintar seiring anak-anak belajar. Jika ada yang tidak bisa ibu ajarkan, ibu tinggal memfasilitasi dengan mencarikan ahli agar anak magang bersama mereka.

Bu Septi dan Pak Dodik menganut children centered learning. Anak-anak yang memutuskan sendiri, mereka mau sekolah atau di rumah, pesantren atau tidak. Ketika anak memutuskan homeshooling, maka orang tua harus mengupgrade diri lebih ekstra, terutama ibu.

Bu Septi bercerita, ketika menjalankan HS, Pak Dodik menyuruhnya membaca buku setiap hari. Bagi Bu Septi ini adalah ujian terberatnya menjadi istri Pak Dodik. Sebab, buku adalah obat tidur Bu Septi. “Kayaknya dulu waktu kuliah gak seberat ini deh,” kelakar Bu Septi. Konon saking beratnya tugas ini, Bu Septi sampai menangis. 

Ketahanan membaca beliau hanya berkisar 3 halaman. Maka ketika mengetahui kemampuan membaca istrinya hanya segitu, Pak Dodik pun memecah tugas membaca buku menjadi perbab, lantas akhirnya per artikel. Sependek mungkin agar Bu Septi mampu menyelesaikannya. Di sini saya makin paham, kapasitas imam yang Bu Septi sebut di awal. Seorang imam, sepatutnya bisa mendidik makmum sesuai kemampuan sang makmum. Tidak memberatkan, tapi tetap membangun.

Pertanyaan berikutnya menurut saya berkaitan dengan innerchild (boleh banget cari tahu lebih banyak tentang inner child, di blog ini juga ada). Jadi, ada seorang bapak yang mengaku dididik dengan keras oleh ayahnya. 

Setelah menjadi ayah dan banyak belajar bersama istri, ia sadar tidak ingin mengulang pola asuh keras dari sang ayah. Namun terkadang, ketika sedang lelah atau ada masalah, ia kelepasan kasar pada anaknya.

Saya terharu ketika mendengar bapak tersebut mengatakan, beberapa kali setelah sampai di kantor ia menangis menyesali perlakuan buruk pada anaknya. Ya Allah, beruntungnya bapak ini sudah Engkau mudahkan agar sadar untuk berubah lebih baik bagi anak-anaknya.

Pak Dodik menjawab, tidak beda jauh ia dengan penanya tersebut. Sebab ayahnya Pak Dodik juga sangat keras. Seorang tentara yang sangat ditakuti di rumah. Kalau sekarang Pak Dodik bisa berbeda dari ayahnya,  itu karena proses belajar dan bertumbuh.  Saya tambah terharu deh denger ini. Betapa orang bisa berubah dan berdamai dengan masa lalu, selama mau terus belajar, serta mendekati pemilik dirinya, yaitu Allah, agar dibimbing diberi kekuatan.

Untuk memudahkan, Pak Dodik  berbagi resep ‘gigit lidah’. Maksudnya, ketika beliau sangat ingin marah, ia segera menggigit lidahnya. Pertama agar sadar dari emosi sesat yang menguasai diri, kedua agar tidak bisa bicara. Jangan sampai mengeluarkan kata-kata buruk bagi anak-anaknya. Sounds helpful, saya sendiri tertarik mencoba. 

Jika terlanjur menyakiti anak, orang tua wajib minta maaf. Meskipun begitu, Pak Dodik berpesan, luka anak tidak akan hilang dengan kata maaf. Hiks, jadi inget diri sendiri yang suka marahin anak-anak…

Catatan terakhir, menanggapi pertanyaan seorang bapak tentang tanggapan lingkungan jika ia berbagi peran domestik dengan istri. Seringkali ada perbedaan pandangan dari lingkungan terdekat, karena mereka masih tinggal dengan orangtua.

Pak Dodik berpesan, memang sebaiknya suami istri tinggal jauh dari orangtua. Tujuannya agar ‘wangi’. Maksudnya, ketika hanya bertemu sesekali, orangtua hanya melihat yang bagus bagusnya saja dari rumahtangga anaknya. Kalaupun kondisi memang harus tinggal bersama, maka terima dan tetaplah santun, sampaikan perbedaan dengan ahsan. Bagaimanapun, ridho orangtua adalah yang utama bagi anak-anaknya.

Alhamdulillah…catatan saya sudah habis :D jari pun sudah lumayan pegel. Saksikanlah ya Allah saya sudah menyampaikan. Semoga bermanfaat dan memberi pencerahan bagi teman-teman, terima kasih sudah membaca dan membagikan. Mari bergandeng tangan menggulirkan (hanya) kebaikan di era digital ini..dimana menggulirkan bola salju keburukan terkadang dilakukan begitu mudah, tanpa pikir panjang..

Salam takzim, Yunda Fitrian. 


Sunday 11 February 2018

A HOME TEAM: Keluarga Berdaya dan Penuh Cinta Ala Pak Dodik dan Bu Septi


Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, hari ini berasa dapat kado (sebelum) ulang tahun yang saaangaat istimewa. Dengan izin Allah, kami berkesempatan mengikuti seminar A Home Team yang diadakan Ibu Profesional Tangerang Selatan. Sudah jauh-jauh hari kami mengosongkan agenda-dan mengisi celengan- agar bisa kecipratan inspirasi dari Pak Dodik dan Bu Septi.

Bu Septi mendapat giliran pertama untuk berbicara. Entah mengapa, aura ibu professional langsung terasa dari suara, intonasi, bahasa tubuh, dan isi perkataan beliau. Padahal baru kalimat pembuka lho.
Beliau membuka dengan apresiasi kepada peserta yang hadir tepat waktu. 

Menurut beliau, setiap acara IP harus dimulai sesuai dengan jadwal, berapapun peserta yang hadir. Sebab, jika kita ingin mengubah persepsi masyarakat Indonesia (oh iya termasuk saya, ehm) yang sering berkata “Ah, gak papa terlambat..nanti juga acaranya pasti belum mulai”, kita harus memulainya dari komunitas terkecil bernama keluarga, di sini diwakili oleh para ibu yang tergabung dalam IIP.

Setelah applause untuk para hadirin yang tepat waktu (tidak termasuk kami, hiks), Bu Septi menjelaskan kesepakatan dalam mengikuti seminar ini. Bu Septi juga menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh beliau berdua adalah pengalaman yang bisa cocok atau bisa tidak dengan peserta. “Kami hanya menyampaikan apa yang sudah kami jalankan,” tutur Bu Septi. Itulah integritas.
Berikutnya, kami diajak bermain games perkenalan dengan lagu.  Games ini sangat berhasil mencairkan kebekuan antar peserta. Kami saling berkenalan dan tertawa bersama. 

Melihat suasana riang diantara para peserta, Bu Septi menjelaskan hikmah dibalik permainan ini. Menurut beliau, jika ingin membangun tim dengan anak, maka kita harus bisa bergaya seperti anak-anak. Lebur menjadi anak-anak ketika terlibat dalam kegiatan bersama mereka. Itu yang membuat anak betah dan tidak bosan bersama orangtua. Jika kebersamaan dengan orangtua terasa membosankan, anak akan lebih suka membangun tim dengan teman-teman di luar rumahnya. 

Sampai sini saya langsung pasang iket kepala. Bertekad lebih menjiwai lagi saat-saat bisa bermain dengan anak-anak. Selama ini rasanya saya termasuk orangtua yang membosankan. Datar dan kudet.
Berikutnya Bu Septi masuk ke dalam materi dengan memulai kisah pernikahannya. Tahun 1995 Pak Dodik meminang Bu Septi. Syaratnya satu: Pak Dodik ingin anak-anaknya kelak dididik sendiri oleh ibunya. Pak Dodik tidak memberi Bu Septi waktu untuk menjawab selama beberapa hari, melainkan dalam hitungan kelima saat itu juga. “Bener-bener dihitung saat itu juga, bener-bener kayak pramuka,” tutur Bu Septi disambut tawa seluruh hadirin. Hitungan keempat Bu Septi langsung menjawab bersedia, tanpa benar benar tahu konsekuensi dari pilihannya.

Sebab menurut Bu Septi, Pak Dodik memiliki dua hal yang membuat Bu Septi mantap memilih. Alasan pertama lagi-lagi mengundang tawa audiens karena Bu Septi menyampaikan dengan cara yang jenaka. Menurut beliau, Pak Dodik itu penampakannya CLING banget gitu, kayaknya gak bosen ditonton 24 jam, wkwkwk, ternyata Bu Septi terpikat pesona cowok ganteng tahun 90-an :D

Nah, alasan keduanya yang idealis: Pak Dodik memiliki kapasitas untuk menjadi imam. Bu Septi tidak menceritakan detail tentang ini. Beliau hanya mengatakan, suami yang bisa menjadi imam bukanlah yang berkata, “Adek mau apa saja terserah, selama adek bahagia”. Bu Septi tidak melanjutkan penjelasan ini, namun saya sendiri merasa sangat mendapat gambaran peran imam tersebut melalui cerita beliau berdua sepanjang seminar.

Setelah menikah, Bu Septi mulai menjalani hidup baru dengan gelar ibu rumahtangga. Barulah beliau sadar bahwa ternyata peran itu tidak mudah. Tidak ada yang bercita cita menjadi ibu rumahtangga karena dianggap TIDAK PUNYA PEKERJAAN. Dan buat saya epic banget waktu Bu Septi menirukan narasi saat berbincang dengan tetangganya:'

Tetangga: “Kerja dimana Bu?”
Bu Septi: “Saya ibu rumah tangga”
Tetangga: “Ooooh ibu rumah tangga...kasian yaa udah sekolah tinggi-tinggi cuma jadi ibu rumahtangga!”
Kayaknya banyak audiens yang pernah mengalami..berarti mereka bakal jadi next Bu Septi lah ya, Ibu Rumah Tangga Profesional yang menginspirasi..AAMIIN :D

Masa penyesuaian diri sungguh berat dirasakan Bu Septi. Dari perempuan yang awalnya aktivis kampus kini harus di rumah saja. Di tahun awal itu juga masih sering terjadi konflik antara Pak Dodik dan Bu Septi karena masing-masing masih mendahulukan egonya.
Tahun berikutnya, 1996, Enes lahir, disusul Ara 15 bulan kemudian. Jadi Bu Septi ini mengalami sundulan, istilah awam buat yang anaknya lahir deketan. 

Nah, jangan minder nih kalau anaknya lahir sundulan, berarti lagi dapet kawah candradimuka buat jadi emak tangguh macam Bu Septi ;D

Bu Septi menyadari, anak sulungnya ini lahir dalam kondisi kedua orangtuanya masih fakir ilmu, masih saling mengedepankan ego, ekonomi pun belum mapan. Oleh karena itu, orangtua wajib minta maaf pada anak sulung. Kami pun sepakat itu terjadi pada sulung kami, hiks. Maafin Ayah dan Ibu yaa Kakak Faza ;(

Usia yang berdekatan membuat Enes dan Ara kompak membangun tim, sebab mereka punya common enemy bernama ibu. Mereka mengenal dengan baik kelemahan ibunya: menanggung beban menyetrika baju.

Suatu malam, Bu Septi mendapati kedua anak itu tertawa gembira sambil mengaduk-aduk pakaian rapi yang baru saja selesai disetrika. Awalnya Bu Septi kaget dan ingin marah. Namun alih-alih menjelma menjadi ibu geram yang galak, beliau justru menurunkan gaya menjadi anak-anak. Bu Septi ikut mengaduk-aduk setrikaan sampai Enes dan Ara bingung dan bertanya, “Ibu kenapa Bu?” karena biasanya ibunya tidak begitu.

Setelah proses mengaduk aduk setrikaan selesai, Bu Septi berkata, “Oke, sekarang Ibu jadi semut besar, kalian semut kecil. Kita akan mengumpulkan makanan. Ibu semut besar membawa makanan di keranjang sampai ke sarang. Kalian semut kecil membawa remah remah makanan dengan rapi. Remah remahnya baju-baju ini ya, kalian lipat rapi lalu masukkan ke keranjang ini!”

Enes dan Ara bersemangat dan baju baju itupun rapi kembali, tanpa harus ada suara ibu yang menggelegar marah atau anak-anak yang menangis ketakutan. Bu Septi makin sering main dengan anak-anak dan mendapatkan ‘bonus’ berupa karya yang beliau hasilkan dari interaksi dengan anak.
So sweet, ini buat saya ngena banget. Secara sebelum berangkat seminar, habis terjadi drama saat saya menyuruh duo kakak cuci sepatu. Saya pun bertekad akan menurunkan gaya menjadi anak-anak, ketika sedang terlibat bersama mereka. Pasang iket kepala (lagi).

Tahun 1998, ketika Bu Septi mulai berdamai dengan penyesuaiannya sebagai IRT, datang ujian baru berupa krisis moneter. Pak Dodik keluar dari bank dan mereka memutuskan membangun cikal bakal usaha Abacabaca, sebuah metode belajar membaca. 

Di tahun 2000, barulah wirausaha resmi dimulai, selain Abacabaca, lahir pula metode berhitung Jarimatika serta dirintisnya komunitas Ibu Profesional. Bu Septi menyebut semua ini sebagai ‘bonus’ dari kegiatannya bermain bersama anak.

Tahun 2003, Elan lahir, buku Jarimatika terbit serta Enes dan Ara mulai homeschooling. Bu Septi kian merasa usahanya menjalani profesi IRT mulai mengecap buah yang manis. Kiprahnya perlahan mulai meluas dan mendatangkan keuntungan materi. Semua itu tidak berlangsung lama, sebab tahun 2006 ujian kembali datang.

Menurut Bu Septi, kalau sudah merasa senang, akan datang ujian. Jika ingin sukses, harus senang dengan ujian. Siap mental menerima tantangan. Ini juga ngena banget buat saya, kayaknya saya masih cemen banget dah kalau dapet ujian.

Ujian Bu Septi dan Pak Dodik adalah harus pindah ke kota kecil Salatiga untuk merawat kedua orangtua Pak Dodik yang sudah sepuh dan mulai sakit sakitan.

Bu Septi sebenarnya cukup terpukul saat harus pindah. Usaha yang sedang berkembang di Jakarta harus ditinggal. Masuk ke lingkungan yang berisi pedagang dan petani, sama sekali bukan target market mereka. Namun demikian, semua keadaan harus diterima. Perlahan Bu Septi berdamai dengan dirinya, tentu dengan dukungan penuh dari Pak Dodik.

Beliau meyakini apapun yang dilakukan dengan kesungguhan dan ridho suami, suatu hari akan menuai hasil. Tahun 2008, barulah Bu Septi bisa kembali tune in melanjutkan kerja besarnya di Jakarta dulu. IIP telah sistematis dan makin berkembang. Bu Septi dan Pak Dodik mulai dikenal publik, diliput berbagai media nasional. Materi pun mengalir deras. Sesuatu yang tidak pernah didapatkan di Jakarta, ternyata tercurah di kota kecil Salatiga.

Sampai di tahun 2011, komunitas IIP sudah berkembang nasional di 52 titik se-Indonesia, ditambah IIP Asia dan Non Asia. Bu Septi menginspirasi para ibu untuk bersungguh sungguh dan totalitas menjalani perannya sebagai ibu.

Menurut Bu Septi, ada dua hari paling penting dalam hidup manusia. Pertama adalah hari ketika kita dilahirkan. Kedua, hari ketika kita menemukan alasan mengapa kita dilahirkan. Poin terakhir ini harus terus kita gali dari diri dan keluarga kita. Pada anak, poin ini bisa ditanyakan menjelang aqil baligh. Agar kelak ia menjalani perannya dengan tepat di usia dewasa.

Bagi sepasang suami istri, dua fase terpenting adalah hari ketika dipertemukan dengan jodoh kita, dan hari ketika kita menemukan jawaban mengapa dipertemukan. Alhamdulillah, insyaAllah kami berdua sudah saling paham misi dibalik rencana Allah mempertemukan kami..

Berikutnya Bu Septi memberikan dua gambar. Gambar pertama kerumunan orang di pasar. Gambar kedua sebuah tim sepakbola yang sedang merayakan keberhasilan mencetak gol. Beliau bertanya apa persamaan dan perbedaan kedua gambar tersebut.

Setelah audiens kompak menjawab, Bu Septi bertanya, keluarga kita lebih mirip kerumunan atau tim? Keluarga tim adalah yang memiliki tujuan bersama, bergerak dengan terkoordinasi, dan berkomunikasi. Bentuk komunikasinya bahkan tidak selalu bersuara, tetapi bisa saling memahami.
Untuk bisa sampai ke tahap saling memahami, saling percaya sebagai tim, Bu Septi meminta kami melakukan simulasi. Kami diminta bergantian menceritakan kehebatan pasangan selama satu menit. Sesi ini sangat menggelitik bagi kami berdua, dan benar-benar menjadi kesempatan yang baik buat semua pasangan yang hadir.

Rutinitas sehari hari seringkali membuat suami istri tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Tidak punya waktu untuk saling mengapresasi, yang ada hanya saling mengevaluasi. Jujur saya sendiri harus menahan diri tidak membarengi deretan kehebatan yang sudah saya sebutkan dengan embel embel seperti, “tapi kamu itu blablabla”. Rasanya lidah udah gatel pengin ngasih feedback, tapi buru buru inget bahwa ini sesi APRESIASI bukan EVALUASI. Ternyata oh ternyata saya berbakat jadi kritikus suami, maafin istrimu ini Sayaaang #sungkemsamasuami.

Selama suami dan istri masih sibuk dengan mengevaluasi dan lupa mengapresiasi, maka selamanya rumahtangga hanya akan menjadi tempat dua ego yang bertarung. Aku dan kamu, tidak pernah ada KITA.
Sesi menyebutkan kehebatan selesai. Bu Septi kemudian mengingatkan kami dengan pertanyaan:
Jadi apakah Anda YAKIN SUDAH MENIKAHI ORANG HEBAT?
Apakah Anda YAKIN SUDAH MENIKAHI ORANG BAIK?

Sebab dulu ketika memutuskan menikah, tentu kita berani memilih pasangan kita karena kita yakin mereka hebat dan baik. Kita memilih mereka karena kita pun berusaha menjadi orang hebat dan baik. Sebagaimana janji Allah, lelaki yang baik untuk perempuan yang baik, dan sebaliknya.


Maka mari sama-sama fokus pada kehebatan dan kebaikan pasangan, dibanding terus menuntut kekurangannya.
Setelah menemukan kembali kehebatan dan kebaikan pasangan, tahap berikutnya adalah membangun komunikasi produktif. Bagaimana menyampaikan keinginanmu dan keinginanku menjadi keinginan kita. Cita citamu dan cita citaku menjadi cita cita kita. Dengan begitu, terbangunlah pondasi rumahtangga KITA selangkah lagi menuju TIM yang tangguh.


Untuk sampai ke langkah selanjutnya yaitu fokus kekuatan, Bu Septi dan Pak Dodik menerapkan forum mastermind di keluarga. Forum mastermind adalah sarana komunikasi keluarga dimana semua anggota berkumpul untuk mendengarkan cerita sukses pekanan masing-masing. Bu Septi kemudian meminta kami melakukan simulasi mastermind.

Ruangan mulai riuh dengan cerita masing-masing orang di kelompoknya. Saya dan suami sekelompok dengan Mbak Nita dan Mas Dian sepasang suami istri yang baru menikah dan dikaruniai seorang putri berusia 2 tahun. Memang terasa sekali emosi positif dan kedekatan yang terbangun ketika kami saling mendengarkan cerita sukses satu sama lain, sekecil apapun itu. Saya sepakat, teknik mastermind ini sangat cocok diterapkan di forum keluarga. Syaratnya, semua yang mendengarkan dilarang nyinyir atau menimpali cerita yang lain dengan komentar negatif, kayak di temlen belakangan ini…hehehe.

Langkah berikutnya adalah BERBAGI PERAN. Tahap ini yang paling banyak ditanyakan di sesi diskusi, yang sebenarnya sesi Pak Dodik. Inilah salah satu keunikan seminar A Home Team kemarin, sesi diskusinya puaaanjaang bener. Meski tetap tak mampu menampung semua pertanyaan.
Jadi setelah 45 menit Bu Septi presentasi, Bu Septi memanggil Pak Dodik untuk menjelaskan. Lucunya, Pak Dodik hanya perlu beberapa detik untuk bicara, lalu langsung mempersilakan peserta bertanya sehingga akhirnya sesi diskusi berlangsung 2 jam 30 menit, dengan berhasil menjawab kurleb 12 pertanyaan! Emejing :D

Nah, detik detik awal Pak Dodik bicara itu, beliau menyampaikan hal ini. Menurut beliau, manusia hanya akan tertarik dengan sesuatu yang sesuai KEBUTUHANnya. Kalimat ini beliau sarikan dari pengalamannya ketika menyimak Elan saat ditanya di forum seminar. Saat itu ada orang tua yang bertanya, kenapa anak-anak seneng banget sama game online? Elan menjawab, karena game online itu update, minimal sekali sebulan pasti ada yang baru, bikin seru dan penasaran. Jadi anak gak pernah bosan, karena kebutuhannya akan sesuatu yang baru, menyenangkan, seru terpenuhi oleh game online. Maka, kalau mau jadi orang tua yang tidak membosankan, harus selalu update dengan dunia anak. Setuju pake banget 1000 kali (lebay).

Setelah itu dibuka sesi diskusi pertama, saya masih sempat catat rapi, hehe. Supaya enak dibaca, saya langsung tulis dengan jawabannya. Kalau sudah gak ada nama orangnya, berarti catatan saya udah gak rapi :D

Pertama pertanyaan Mbak Widhya, teman sekelas Bunsay saya. Beliau menanyakan apakah Bu Septi mengalami fase penolakan di awal perannya sebagai IRT?

Bu Septi menjawab, penolakan itu ada. Sebab yang beliau rasakan dari sekitar, dan dari dalam diri sendiri, tidak ada yang MENGHARGAI statusnya sebagai  IRT. Merasa malu dan minder tiap bertemu tetangga kanan kiri yang rapi wangi berangkat di pagi hari.

Setelah beberapa saat berada dalam keterpurukan, Bu Septi mendapat ilham. For things to change, I MUST CHANGE. Jika ingin orang lain menghargai profesi IRT, maka IRT sendirilah yang harus berubah menghargai diri sendiri. Maka Bu Septi pun memulai sebuah perubahan kecil: ganti kostum.

Ia memutuskan mengganti daster dan bergo kusut khas emak-emak rumahan menjadi baju formal selayaknya akan bekerja professional di luar rumah. Pak Dodik pun bertanya heran, “Kamu mau kemana?” saat melihat Bu Septi berubah kostum di pagi hari. Bu Septi hanya menjawab, saya ingin berangkat menunaikan tugas saya sebagai ibu rumah tangga.

Begitu terus Bu Septi mengubah cara berpakaiannya sampai 90 hari. Di hari ke-91 ia mulai merasa malu dengan kostumnya ketika berbelanja di tukang sayur hanya ngobrol masalah harga sayuran. Dengan kostum seorang professional mestinya ia beralih dari tukang masak keluarga menjadi MANAJER GIZI KELUARGA. Bu Septi malu jika hanya keluar antar jemput anak, ia harus beralih menjadi MANAJER PENDIDIKAN KELUARGA.

Dengan kostum itu ia juga malu hanya menjadi kasir keluarga, maka ia beralih menjadi MANAJER KEUANGAN KELUARGA. Semua itu memacu Bu Septi untuk berubah menjadi IBU PROFESIONAL, ibu rumah tangga yang meningkatkan kualitas dirinya, bersungguh sungguh dan totalitas dalam menjalankan peran menjadi MANAJER KELUARGA.

Pertanyaan kedua, sampai sesi kesimpulan bersambung dulu yaaa…harus kembali berjibaku dengan realita emak beranak tiga :D

Alhamdulillah ala kulli hal, terimakasih sudah membaca (6 halaman A4 XP) tulisan saya ;)

Sesi foto di akhir seminar. Gak muaat ;D



 
Alhamdulillah akhirnya berhasil mencegat Bu Septi dan kasih oleh-oleh buku Yakin Dia Jodohmu? buat Enes dan Ara :D



Thursday 8 February 2018

Tantangan Hari ke-3 Mengamati Gaya Belajar Anak

Hari ketiga ini saya mengajak Nafsa bermain tebak benda dengan mata tertutup. Ceritanya melatih sensorimotor si tengah.

Nafsa terlihat antusias bermain. Ia tertawa riang dan terus meminta permainan berlanjut.

Gaya belajar kinestetik dipakai dalam permainan ini.. Nafsa berhasil menebak hampir semua benda dengan tepat. Dua kali tampak ragu dan sekali tidak berhasil menebak karena bingung.



Wednesday 7 February 2018

Tantangan Hari Ke-2 Mencermati Gaya Belajar Anak

Di hari kedua ini, sebelum saya yang memberikan stimulus, Nafsa sudah lebih dulu mengajak saya bermain. Saya tinggal menyambut dan mengamati.

Ia meminta saya mendengarkan cerita yang ia narasikan. Saya selalu memuji Nafsa tiap kali ia menarasikan cerita. Sebab ia bisa menarasikan dengan pilihan kata kata sendiri, menyesuaikan dengan gambar dan ingatannya terhadap cerita asli yang pernah saya bacakan.

Dulu ketika berumur 3 tahun, narasi Nafsa masih 'kacau'. Ia benar benar mengarang bebas,  sering tidak nyambung dengan gambar. Asal comot kata kata saja.

Makin ke sini, Nafsa semakin mahir menarasikan cerita. Ia mampu menyampaikan cerita yang pernah didengar dengan gambar yang sesuai. Terkadang ia menyampaikan dengan bahasanya sendiri, dengan pilihan kata yang berbeda namun maknanya sama.


#gamelevel4
#Kuliah_bunsay_iip
#gayabelajar
#Tantangan hari ke-2

Tantangan Hari ke-1 Mencermati Gaya Belajar Anak


Pada tantangan kali ini, saya memilih Nafsa si anak tengah untuk menjadi partner.

Usia Nafsa 4,5 tahun. Sebetulnya sejak usia setahun saya sudah menangkap perbedaan gaya belajar Nafsa dengan si sulung Faza.

Nafsa terlihat lebih lentur dalam bergerak, ekspresif, lebih cepat meniru suara, lebih banyak bernyanyi. Bahkan  di usia 3 tahun ia sudah senang mengarang lagu dan tarian sendiri. Selain itu, juga menarasikan buku cerita bergambar sesuai yang pernah ia dengar, seolah sudah bisa membaca.

Sepertinya anak tengah saya ini perpaduan auditori dan kinestetik.

Pada tantangan hari pertama ini, saya mengamati Nafsa yang sedang asyik mengoperasikan boneka Hafizah mini. Ia berkata ingin menghafal surat Al Lahab.

Dengan cekatan ia memutar surat Al Lahab berulang ulang lalu mengikutinya. Saya menyimak dan membersamai Nafsa mengulang ulang hafalannya. Nafsa melakukannya dengan mata berbinar dan suara lantang ceria.

#gamelevel4
#Kuliah_bunsay_iip
#GayaBelajar
#Tantangan hari1