Sunday 11 February 2018

A HOME TEAM: Keluarga Berdaya dan Penuh Cinta Ala Pak Dodik dan Bu Septi


Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, hari ini berasa dapat kado (sebelum) ulang tahun yang saaangaat istimewa. Dengan izin Allah, kami berkesempatan mengikuti seminar A Home Team yang diadakan Ibu Profesional Tangerang Selatan. Sudah jauh-jauh hari kami mengosongkan agenda-dan mengisi celengan- agar bisa kecipratan inspirasi dari Pak Dodik dan Bu Septi.

Bu Septi mendapat giliran pertama untuk berbicara. Entah mengapa, aura ibu professional langsung terasa dari suara, intonasi, bahasa tubuh, dan isi perkataan beliau. Padahal baru kalimat pembuka lho.
Beliau membuka dengan apresiasi kepada peserta yang hadir tepat waktu. 

Menurut beliau, setiap acara IP harus dimulai sesuai dengan jadwal, berapapun peserta yang hadir. Sebab, jika kita ingin mengubah persepsi masyarakat Indonesia (oh iya termasuk saya, ehm) yang sering berkata “Ah, gak papa terlambat..nanti juga acaranya pasti belum mulai”, kita harus memulainya dari komunitas terkecil bernama keluarga, di sini diwakili oleh para ibu yang tergabung dalam IIP.

Setelah applause untuk para hadirin yang tepat waktu (tidak termasuk kami, hiks), Bu Septi menjelaskan kesepakatan dalam mengikuti seminar ini. Bu Septi juga menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh beliau berdua adalah pengalaman yang bisa cocok atau bisa tidak dengan peserta. “Kami hanya menyampaikan apa yang sudah kami jalankan,” tutur Bu Septi. Itulah integritas.
Berikutnya, kami diajak bermain games perkenalan dengan lagu.  Games ini sangat berhasil mencairkan kebekuan antar peserta. Kami saling berkenalan dan tertawa bersama. 

Melihat suasana riang diantara para peserta, Bu Septi menjelaskan hikmah dibalik permainan ini. Menurut beliau, jika ingin membangun tim dengan anak, maka kita harus bisa bergaya seperti anak-anak. Lebur menjadi anak-anak ketika terlibat dalam kegiatan bersama mereka. Itu yang membuat anak betah dan tidak bosan bersama orangtua. Jika kebersamaan dengan orangtua terasa membosankan, anak akan lebih suka membangun tim dengan teman-teman di luar rumahnya. 

Sampai sini saya langsung pasang iket kepala. Bertekad lebih menjiwai lagi saat-saat bisa bermain dengan anak-anak. Selama ini rasanya saya termasuk orangtua yang membosankan. Datar dan kudet.
Berikutnya Bu Septi masuk ke dalam materi dengan memulai kisah pernikahannya. Tahun 1995 Pak Dodik meminang Bu Septi. Syaratnya satu: Pak Dodik ingin anak-anaknya kelak dididik sendiri oleh ibunya. Pak Dodik tidak memberi Bu Septi waktu untuk menjawab selama beberapa hari, melainkan dalam hitungan kelima saat itu juga. “Bener-bener dihitung saat itu juga, bener-bener kayak pramuka,” tutur Bu Septi disambut tawa seluruh hadirin. Hitungan keempat Bu Septi langsung menjawab bersedia, tanpa benar benar tahu konsekuensi dari pilihannya.

Sebab menurut Bu Septi, Pak Dodik memiliki dua hal yang membuat Bu Septi mantap memilih. Alasan pertama lagi-lagi mengundang tawa audiens karena Bu Septi menyampaikan dengan cara yang jenaka. Menurut beliau, Pak Dodik itu penampakannya CLING banget gitu, kayaknya gak bosen ditonton 24 jam, wkwkwk, ternyata Bu Septi terpikat pesona cowok ganteng tahun 90-an :D

Nah, alasan keduanya yang idealis: Pak Dodik memiliki kapasitas untuk menjadi imam. Bu Septi tidak menceritakan detail tentang ini. Beliau hanya mengatakan, suami yang bisa menjadi imam bukanlah yang berkata, “Adek mau apa saja terserah, selama adek bahagia”. Bu Septi tidak melanjutkan penjelasan ini, namun saya sendiri merasa sangat mendapat gambaran peran imam tersebut melalui cerita beliau berdua sepanjang seminar.

Setelah menikah, Bu Septi mulai menjalani hidup baru dengan gelar ibu rumahtangga. Barulah beliau sadar bahwa ternyata peran itu tidak mudah. Tidak ada yang bercita cita menjadi ibu rumahtangga karena dianggap TIDAK PUNYA PEKERJAAN. Dan buat saya epic banget waktu Bu Septi menirukan narasi saat berbincang dengan tetangganya:'

Tetangga: “Kerja dimana Bu?”
Bu Septi: “Saya ibu rumah tangga”
Tetangga: “Ooooh ibu rumah tangga...kasian yaa udah sekolah tinggi-tinggi cuma jadi ibu rumahtangga!”
Kayaknya banyak audiens yang pernah mengalami..berarti mereka bakal jadi next Bu Septi lah ya, Ibu Rumah Tangga Profesional yang menginspirasi..AAMIIN :D

Masa penyesuaian diri sungguh berat dirasakan Bu Septi. Dari perempuan yang awalnya aktivis kampus kini harus di rumah saja. Di tahun awal itu juga masih sering terjadi konflik antara Pak Dodik dan Bu Septi karena masing-masing masih mendahulukan egonya.
Tahun berikutnya, 1996, Enes lahir, disusul Ara 15 bulan kemudian. Jadi Bu Septi ini mengalami sundulan, istilah awam buat yang anaknya lahir deketan. 

Nah, jangan minder nih kalau anaknya lahir sundulan, berarti lagi dapet kawah candradimuka buat jadi emak tangguh macam Bu Septi ;D

Bu Septi menyadari, anak sulungnya ini lahir dalam kondisi kedua orangtuanya masih fakir ilmu, masih saling mengedepankan ego, ekonomi pun belum mapan. Oleh karena itu, orangtua wajib minta maaf pada anak sulung. Kami pun sepakat itu terjadi pada sulung kami, hiks. Maafin Ayah dan Ibu yaa Kakak Faza ;(

Usia yang berdekatan membuat Enes dan Ara kompak membangun tim, sebab mereka punya common enemy bernama ibu. Mereka mengenal dengan baik kelemahan ibunya: menanggung beban menyetrika baju.

Suatu malam, Bu Septi mendapati kedua anak itu tertawa gembira sambil mengaduk-aduk pakaian rapi yang baru saja selesai disetrika. Awalnya Bu Septi kaget dan ingin marah. Namun alih-alih menjelma menjadi ibu geram yang galak, beliau justru menurunkan gaya menjadi anak-anak. Bu Septi ikut mengaduk-aduk setrikaan sampai Enes dan Ara bingung dan bertanya, “Ibu kenapa Bu?” karena biasanya ibunya tidak begitu.

Setelah proses mengaduk aduk setrikaan selesai, Bu Septi berkata, “Oke, sekarang Ibu jadi semut besar, kalian semut kecil. Kita akan mengumpulkan makanan. Ibu semut besar membawa makanan di keranjang sampai ke sarang. Kalian semut kecil membawa remah remah makanan dengan rapi. Remah remahnya baju-baju ini ya, kalian lipat rapi lalu masukkan ke keranjang ini!”

Enes dan Ara bersemangat dan baju baju itupun rapi kembali, tanpa harus ada suara ibu yang menggelegar marah atau anak-anak yang menangis ketakutan. Bu Septi makin sering main dengan anak-anak dan mendapatkan ‘bonus’ berupa karya yang beliau hasilkan dari interaksi dengan anak.
So sweet, ini buat saya ngena banget. Secara sebelum berangkat seminar, habis terjadi drama saat saya menyuruh duo kakak cuci sepatu. Saya pun bertekad akan menurunkan gaya menjadi anak-anak, ketika sedang terlibat bersama mereka. Pasang iket kepala (lagi).

Tahun 1998, ketika Bu Septi mulai berdamai dengan penyesuaiannya sebagai IRT, datang ujian baru berupa krisis moneter. Pak Dodik keluar dari bank dan mereka memutuskan membangun cikal bakal usaha Abacabaca, sebuah metode belajar membaca. 

Di tahun 2000, barulah wirausaha resmi dimulai, selain Abacabaca, lahir pula metode berhitung Jarimatika serta dirintisnya komunitas Ibu Profesional. Bu Septi menyebut semua ini sebagai ‘bonus’ dari kegiatannya bermain bersama anak.

Tahun 2003, Elan lahir, buku Jarimatika terbit serta Enes dan Ara mulai homeschooling. Bu Septi kian merasa usahanya menjalani profesi IRT mulai mengecap buah yang manis. Kiprahnya perlahan mulai meluas dan mendatangkan keuntungan materi. Semua itu tidak berlangsung lama, sebab tahun 2006 ujian kembali datang.

Menurut Bu Septi, kalau sudah merasa senang, akan datang ujian. Jika ingin sukses, harus senang dengan ujian. Siap mental menerima tantangan. Ini juga ngena banget buat saya, kayaknya saya masih cemen banget dah kalau dapet ujian.

Ujian Bu Septi dan Pak Dodik adalah harus pindah ke kota kecil Salatiga untuk merawat kedua orangtua Pak Dodik yang sudah sepuh dan mulai sakit sakitan.

Bu Septi sebenarnya cukup terpukul saat harus pindah. Usaha yang sedang berkembang di Jakarta harus ditinggal. Masuk ke lingkungan yang berisi pedagang dan petani, sama sekali bukan target market mereka. Namun demikian, semua keadaan harus diterima. Perlahan Bu Septi berdamai dengan dirinya, tentu dengan dukungan penuh dari Pak Dodik.

Beliau meyakini apapun yang dilakukan dengan kesungguhan dan ridho suami, suatu hari akan menuai hasil. Tahun 2008, barulah Bu Septi bisa kembali tune in melanjutkan kerja besarnya di Jakarta dulu. IIP telah sistematis dan makin berkembang. Bu Septi dan Pak Dodik mulai dikenal publik, diliput berbagai media nasional. Materi pun mengalir deras. Sesuatu yang tidak pernah didapatkan di Jakarta, ternyata tercurah di kota kecil Salatiga.

Sampai di tahun 2011, komunitas IIP sudah berkembang nasional di 52 titik se-Indonesia, ditambah IIP Asia dan Non Asia. Bu Septi menginspirasi para ibu untuk bersungguh sungguh dan totalitas menjalani perannya sebagai ibu.

Menurut Bu Septi, ada dua hari paling penting dalam hidup manusia. Pertama adalah hari ketika kita dilahirkan. Kedua, hari ketika kita menemukan alasan mengapa kita dilahirkan. Poin terakhir ini harus terus kita gali dari diri dan keluarga kita. Pada anak, poin ini bisa ditanyakan menjelang aqil baligh. Agar kelak ia menjalani perannya dengan tepat di usia dewasa.

Bagi sepasang suami istri, dua fase terpenting adalah hari ketika dipertemukan dengan jodoh kita, dan hari ketika kita menemukan jawaban mengapa dipertemukan. Alhamdulillah, insyaAllah kami berdua sudah saling paham misi dibalik rencana Allah mempertemukan kami..

Berikutnya Bu Septi memberikan dua gambar. Gambar pertama kerumunan orang di pasar. Gambar kedua sebuah tim sepakbola yang sedang merayakan keberhasilan mencetak gol. Beliau bertanya apa persamaan dan perbedaan kedua gambar tersebut.

Setelah audiens kompak menjawab, Bu Septi bertanya, keluarga kita lebih mirip kerumunan atau tim? Keluarga tim adalah yang memiliki tujuan bersama, bergerak dengan terkoordinasi, dan berkomunikasi. Bentuk komunikasinya bahkan tidak selalu bersuara, tetapi bisa saling memahami.
Untuk bisa sampai ke tahap saling memahami, saling percaya sebagai tim, Bu Septi meminta kami melakukan simulasi. Kami diminta bergantian menceritakan kehebatan pasangan selama satu menit. Sesi ini sangat menggelitik bagi kami berdua, dan benar-benar menjadi kesempatan yang baik buat semua pasangan yang hadir.

Rutinitas sehari hari seringkali membuat suami istri tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Tidak punya waktu untuk saling mengapresasi, yang ada hanya saling mengevaluasi. Jujur saya sendiri harus menahan diri tidak membarengi deretan kehebatan yang sudah saya sebutkan dengan embel embel seperti, “tapi kamu itu blablabla”. Rasanya lidah udah gatel pengin ngasih feedback, tapi buru buru inget bahwa ini sesi APRESIASI bukan EVALUASI. Ternyata oh ternyata saya berbakat jadi kritikus suami, maafin istrimu ini Sayaaang #sungkemsamasuami.

Selama suami dan istri masih sibuk dengan mengevaluasi dan lupa mengapresiasi, maka selamanya rumahtangga hanya akan menjadi tempat dua ego yang bertarung. Aku dan kamu, tidak pernah ada KITA.
Sesi menyebutkan kehebatan selesai. Bu Septi kemudian mengingatkan kami dengan pertanyaan:
Jadi apakah Anda YAKIN SUDAH MENIKAHI ORANG HEBAT?
Apakah Anda YAKIN SUDAH MENIKAHI ORANG BAIK?

Sebab dulu ketika memutuskan menikah, tentu kita berani memilih pasangan kita karena kita yakin mereka hebat dan baik. Kita memilih mereka karena kita pun berusaha menjadi orang hebat dan baik. Sebagaimana janji Allah, lelaki yang baik untuk perempuan yang baik, dan sebaliknya.


Maka mari sama-sama fokus pada kehebatan dan kebaikan pasangan, dibanding terus menuntut kekurangannya.
Setelah menemukan kembali kehebatan dan kebaikan pasangan, tahap berikutnya adalah membangun komunikasi produktif. Bagaimana menyampaikan keinginanmu dan keinginanku menjadi keinginan kita. Cita citamu dan cita citaku menjadi cita cita kita. Dengan begitu, terbangunlah pondasi rumahtangga KITA selangkah lagi menuju TIM yang tangguh.


Untuk sampai ke langkah selanjutnya yaitu fokus kekuatan, Bu Septi dan Pak Dodik menerapkan forum mastermind di keluarga. Forum mastermind adalah sarana komunikasi keluarga dimana semua anggota berkumpul untuk mendengarkan cerita sukses pekanan masing-masing. Bu Septi kemudian meminta kami melakukan simulasi mastermind.

Ruangan mulai riuh dengan cerita masing-masing orang di kelompoknya. Saya dan suami sekelompok dengan Mbak Nita dan Mas Dian sepasang suami istri yang baru menikah dan dikaruniai seorang putri berusia 2 tahun. Memang terasa sekali emosi positif dan kedekatan yang terbangun ketika kami saling mendengarkan cerita sukses satu sama lain, sekecil apapun itu. Saya sepakat, teknik mastermind ini sangat cocok diterapkan di forum keluarga. Syaratnya, semua yang mendengarkan dilarang nyinyir atau menimpali cerita yang lain dengan komentar negatif, kayak di temlen belakangan ini…hehehe.

Langkah berikutnya adalah BERBAGI PERAN. Tahap ini yang paling banyak ditanyakan di sesi diskusi, yang sebenarnya sesi Pak Dodik. Inilah salah satu keunikan seminar A Home Team kemarin, sesi diskusinya puaaanjaang bener. Meski tetap tak mampu menampung semua pertanyaan.
Jadi setelah 45 menit Bu Septi presentasi, Bu Septi memanggil Pak Dodik untuk menjelaskan. Lucunya, Pak Dodik hanya perlu beberapa detik untuk bicara, lalu langsung mempersilakan peserta bertanya sehingga akhirnya sesi diskusi berlangsung 2 jam 30 menit, dengan berhasil menjawab kurleb 12 pertanyaan! Emejing :D

Nah, detik detik awal Pak Dodik bicara itu, beliau menyampaikan hal ini. Menurut beliau, manusia hanya akan tertarik dengan sesuatu yang sesuai KEBUTUHANnya. Kalimat ini beliau sarikan dari pengalamannya ketika menyimak Elan saat ditanya di forum seminar. Saat itu ada orang tua yang bertanya, kenapa anak-anak seneng banget sama game online? Elan menjawab, karena game online itu update, minimal sekali sebulan pasti ada yang baru, bikin seru dan penasaran. Jadi anak gak pernah bosan, karena kebutuhannya akan sesuatu yang baru, menyenangkan, seru terpenuhi oleh game online. Maka, kalau mau jadi orang tua yang tidak membosankan, harus selalu update dengan dunia anak. Setuju pake banget 1000 kali (lebay).

Setelah itu dibuka sesi diskusi pertama, saya masih sempat catat rapi, hehe. Supaya enak dibaca, saya langsung tulis dengan jawabannya. Kalau sudah gak ada nama orangnya, berarti catatan saya udah gak rapi :D

Pertama pertanyaan Mbak Widhya, teman sekelas Bunsay saya. Beliau menanyakan apakah Bu Septi mengalami fase penolakan di awal perannya sebagai IRT?

Bu Septi menjawab, penolakan itu ada. Sebab yang beliau rasakan dari sekitar, dan dari dalam diri sendiri, tidak ada yang MENGHARGAI statusnya sebagai  IRT. Merasa malu dan minder tiap bertemu tetangga kanan kiri yang rapi wangi berangkat di pagi hari.

Setelah beberapa saat berada dalam keterpurukan, Bu Septi mendapat ilham. For things to change, I MUST CHANGE. Jika ingin orang lain menghargai profesi IRT, maka IRT sendirilah yang harus berubah menghargai diri sendiri. Maka Bu Septi pun memulai sebuah perubahan kecil: ganti kostum.

Ia memutuskan mengganti daster dan bergo kusut khas emak-emak rumahan menjadi baju formal selayaknya akan bekerja professional di luar rumah. Pak Dodik pun bertanya heran, “Kamu mau kemana?” saat melihat Bu Septi berubah kostum di pagi hari. Bu Septi hanya menjawab, saya ingin berangkat menunaikan tugas saya sebagai ibu rumah tangga.

Begitu terus Bu Septi mengubah cara berpakaiannya sampai 90 hari. Di hari ke-91 ia mulai merasa malu dengan kostumnya ketika berbelanja di tukang sayur hanya ngobrol masalah harga sayuran. Dengan kostum seorang professional mestinya ia beralih dari tukang masak keluarga menjadi MANAJER GIZI KELUARGA. Bu Septi malu jika hanya keluar antar jemput anak, ia harus beralih menjadi MANAJER PENDIDIKAN KELUARGA.

Dengan kostum itu ia juga malu hanya menjadi kasir keluarga, maka ia beralih menjadi MANAJER KEUANGAN KELUARGA. Semua itu memacu Bu Septi untuk berubah menjadi IBU PROFESIONAL, ibu rumah tangga yang meningkatkan kualitas dirinya, bersungguh sungguh dan totalitas dalam menjalankan peran menjadi MANAJER KELUARGA.

Pertanyaan kedua, sampai sesi kesimpulan bersambung dulu yaaa…harus kembali berjibaku dengan realita emak beranak tiga :D

Alhamdulillah ala kulli hal, terimakasih sudah membaca (6 halaman A4 XP) tulisan saya ;)

Sesi foto di akhir seminar. Gak muaat ;D



 
Alhamdulillah akhirnya berhasil mencegat Bu Septi dan kasih oleh-oleh buku Yakin Dia Jodohmu? buat Enes dan Ara :D



7 comments:

  1. salam kenal mbak Yunda. Terimakasih resumenya sangat bermanfaat terutama buat saya yang datang terlambat.
    silakan berkunjung ke laman saya:
    htttp://jurnalaqiqa.blogspot.co.id

    ReplyDelete
  2. Mbak Yunda terima kasih resumenya. Saya kebagian di KC, hanya bisa masuk pas 15 menit terakhir. Mendapat gambaran setelah membaca tulisan Mbak Yunda, gimana serunya sesi di dalam :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama sama Mba Nani, part 2 nya jangan lupa baca juga biar lengkap ;D

      Delete
  3. Teh yunda salam kenal lagi teh..pernah jumpa teteh isi acara di sekolah amiera creative😊 barangkali teh Yunda masih ingat saya hehe.. hatur nuhun teh sudah menceritakan isi seminar langsung terbayang bagaimana serunya suasana dan isi seminarnya ...soalnya saya ga bisa hadir bersama pasangan😢. Sekali lagi terima kasih teh Yunda

    ReplyDelete
  4. Teh yunda salam kenal lagi teh..pernah jumpa teteh isi acara di sekolah amiera creative😊 barangkali teh Yunda masih ingat saya hehe.. hatur nuhun teh sudah menceritakan isi seminar langsung terbayang bagaimana serunya suasana dan isi seminarnya ...soalnya saya ga bisa hadir bersama pasangan😢. Sekali lagi terima kasih teh Yunda

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama sama Teh Dwi, semoga bermanfaat :D semoga ketemu lagi yaa kapan2 ;)

      Delete