Monday 24 September 2012

Cinta Bola Salju

“Nda…cintaku kepadamu bagaikan bola salju..” katanya sambil tersenyum manis.
“ semakin hari semakin besar…” sambungnya dengan senyum makin mengembang.
Saat itu kami sedang bergandengan tangan menyusuri jalanmenuju mal cijantung. Aku terpaku menatap matanya sambil mencerna kalimat yang barusan ia ucapkan.
Tidak biasanya suamiku melontarkan kalimat puitis nan romantis. Belum sempat aku melontarkan komentar pujian karena senyumku yang terlanjur merona, ia serta merta berucap,
“itu kan syair lagu dangdut, hehehe”. Gubrak…aku langsung tertawa kecele.
“baru aku mau kagum puji2 kamu..eh taunya contekan!” kataku pura-pura kesal sambil cengengesan. belakangan aku baru tau itu lagunya Sule, yang lawakannya sering 'menginspirasi' suamiku.

Suamiku memang humoris, setidaknya jika disandingkan dengan aku yang serba serius memandang hidup. Dia biasa melucu setiap saat. Tiada hari tanpa tawa bersamanya. Ia juga suka acara lawak di tv, acara yang tidak aku sukai.

Aku dan suamiku memang bagai pinang beda spesies, alias beda tipe. Kami adalah dua orang yang sangat berbeda. Suamiku periang, aku pendiam. Dia penghangat suasana dan pengundang tawa, sementara aku pemurung dan lebih suka mendengarkan tanpa komentar. Bahkan salah satu rekan kerjaku yang terkenal humoris sempat berkelakar, “ukuran saya lucu itu kalau bu yunda tertawa”. Katanya sambil mesem2. Karena memang aku yang paling jarang nimbrung tawa kalau ada lelucon di ruang kerja. Aku juga tak tahu kenapa.

Meskipun beda karakter, toh aku dan suamiku saling cinta. Mungkin benar kata orang, bahwa suami istri itu saling melengkapi, makanya pasti banyak perbedaan. Aku setuju. Tapi ada persaman yang tidak bisa ditawar harus ada diantara pasangan suami istri; persamaan visi.

Dua orang dengan latar belakang dan karakter yang berbeda hanya bisa bersatu dengan visi yang sama. Itu syarat utama menurut saya, lain tidak. Visi itulah yang akan melebur semua perbedaan yang ada menjadi warna warni indah dalam jalinan nikah.
Pendiam dan periang tidak akan jadi langit dan bumi atau kucing dan anjing di bawah naungan visi yang sama. Karena itulah, hal terpenting dalam memilih pasangan adalah seperti apa visinya.
Apa yang ia anggap penting dalam kehidupan, apa yang menjadi impian dalam keluarga yang akan dibangun, dan sebagainya.

Kalau sekedar karena sayang, sudah sangat kenal tabiat dan keluarganya, sudah nyaman bersamanya, tapi pandangan tentang hidup dan prinsip yang dijalani berbeda, jangan harap bisa jadi pasangan yang bahagia. Suami ingin punya istri yang mengurus keluarga di rumah sementara istri berprinsip harus punya karier tinggi di luar rumah. Dua pandangan  yang berbeda. Jika tidak ada kompromi untuk visi awal yang dibangun bersama, rumah tangga tadi bisa kiamat alias the end.  Tinggalah luka dan trauma membekas di kehidupan masing-masing, apalagi jika sudah punya anak.

Saya tidak tahu berapa banyak porsi menyatukan visi ini dalam pacaran yang umum dijalani orang. Saya memilih tidak pacaran dan menyatukan visi dengan cara lain. Pacaran yang katanya penjajakan, ajang pengenalan dan pertimbangan memilih pasangan rasanya tidak punya bukti akan menjamin kelanggengan setelah menikah. Begitu pula jalan yang saya pilih. Yang jelas, tidak artinya perasaan cinta mendalam pada pasangan jika pada akhirnya rasa itu kalah oleh tuntutan kehidupan nyata. luntur oleh guratan usia dan permasalahan rumah tangga.

Dua orang yang menikah karena cinta, menyatukan perasaan kasih yang telah berurat di jiwa, belum tentu mampu melawan badai kenyataan dalam hidup rumah tangga. Dulu saling cinta, begitu diterpa kondisi finansial yang sulit, padamlah sang cinta berganti kebencian dan airmata. Awalnya saling kasmaran, tetapi akhirnya dendam berdebaran karena sang kekasih bertemu yang lebih cantik dan muda. Begitulah. Rumah tangga memang penuh badai. Jika bahtera visi kita tak kokoh, apalah daya dayung cinta yang kita punya…

*ya Allah jadikanlah kami keluarga sakinah sampai ke surga..aamiin

No comments:

Post a Comment