Monday 13 April 2015

Don't Judge Ikhwan by His Jenggot

Ya, it is the same with dont judge akhwat by her hijab. Juga sama dengan dont judge a person by his/ her social media. Because sometimes facebook is just fakebook. Intinya, jangan tertipu karungnya! Cari tahu tentang isinya, benar-benar kucing atau jangan jangan kambing! Cover memang semestinya merepresentasikan isi, tapi tidak selalu begitu, bukan? Ada saja cover-cover yang sekedar kulit pembungkus. Topeng yang kita pilih agar dianggap berisi sesuatu sesuai stereotip cover tersebut. Namanya juga sampul, tidak akan cukup detail menggambarkan isi keseluruhan yang berada di baliknya. Ngomong-ngomong soal sampul, saya pernah tuh kira-kira 10 tahun yang lalu, mendengar sebuah ucapan dari balik hijab musola SMA #eeaa. Waktu jaman saya jadi marbot musola SMA, saya memang hobi banget ke musola. Ada aja yang saya kerjain di sana. Tapi percaya deh, saya ga pernah ke musola buat tiduran kayak para abang2 di luar sana ;p Musola kami dulu dihijab rapat dengan gorden tebal. Namun ketebalan gorden itu tidak pernah mampu menyembunyikan suara-suara berbisik para ikhwan di seberang sana. Secara bisik2nya kayak orang orasi. Salah satunya, pengalaman hari itu. Entah mereka sedang ngobrol apa, tetiba sampai ke telinga saya ujaran beliau, ‘akhwat-akhwat itu cuma jilbabnya aja yang lebar, tapi ilmunya cetek’...jleb! nyes! Glek! GGRRRRR!!! Seketika itu kuping saya panas. Saya tahu siapa yang bicara, dan ingin rasanya menyahut nyaring dari balik tirai, ‘HEI BRO!! SOMBONG NIAN DIKAU!!!’. Tapi buat apa coba? Kalau dipikir2 memang sebagian akhwat waktu itu-termasuk saya, memang lebih banyak bermodal semangat daripada ilmu syariat. Tapi lalu apakah menjadi benar bagi dia untuk menggeneralisasi dan meng-underestimate kami?? Yah akhirnya saya diam saja nahan gondok. Dipikir-pikir, ambil hikmahnya saja. Saya-dan para akhwat yang shalihat lainnya-memang harus banyak belajar ilmu syar’i ya toh? Nah, masalah judging the cover ini jadi ribet manakala sampai ke wilayah mencari pasangan hidup. Beberapa kali saya sedih sesedih sedihnya karena mendengar cerita sedih tentang pernikahan para muslimah shalihah. Ketika pernikahan yang mereka  impikan ternyata tak lepas dari duri-duri rumah tangga. Salah satunya, karena terjebak cover si lelaki idaman. Semua yang telah terjadi memang takdir, atas sepengetahuan dan izin Allah. Tapi bukan berarti kita lantas diam berpasrah. Lalu menyerah dengan keadaan dan menjadi pihak yang lemah. Kita kuat, selama masih bersandar pada Allah. Selama yang kita lakukan masih dalam koridor syar’i dalam rangka taqwa. Kita wajib mencari hikmah, belajar dari pengalaman pahit agar kelak menemukan solusi yang manis. Bukan, ini bukan tentang membuka aib. Ada kalanya duri-duri rumah tangga itu harus diceritakan pada orang yang kita percaya. Bukan pada sembarang orang atau diumbar di sosial media. Apalagi pada seluruh keluarga. Tapi pada satu-dua orang yang bisa membantu kita melihat masalah dengan lebih jernih. Bahwa harapan itu masih ada. jalan keluar itu terbuka. Hanya kadang kita gelap mata. Curhatan beberapa muslimah shalihah itu bermuara pada satu benang merah bernama ASUMSI. Betapa seringnya kita mengasumsikan jenggot, amanah dakwah, tumpukan buku, dan hal-hal sampul lainnya merepresentasikan kepribadian seseorang. Kita membayangkan para pria yang terlihat shalih itu sudah mampu mengaplikasikan semua pengetahuan Islam mereka. Kita mengASUMSIkan bahwa mereka pasti penyayang, sabar, dan setia. Tentu kita tidak boleh berprasangka, tetapi kita WAJIB tabayun atau konfirmasi. Bukan sekadar percaya tanpa menggali. Apa yang menjadi pengetahuan dan standar perilaku belum tentu diwujudkan dalam tindakan, manakala iman ternyata masih goyah. Atau malah salah kaprah terhadap pengetahuan yang dimiliki. Sejujurnya, saya dan suami pun punya banyak ASUMSI yang tidak kami konfirmasi ketika proses menikah. Dan alhamdulillah BANYAK ASUMSI yang ternyata tidak tepat alias bikin kami nelen ludah. Daripada nelen lidah ntar gabisa ngomong ;p tapi ya, Alhamdulillah, semua asumsi yang salah kaprah itu masih berada di zona toleransi. Menjadi sebuah kepedihan ketika ternyata ASUMSI yang salah itu berada pada zona merah alias darurat rumah tangga. Gimana gak sedih kalau ternyata imam rumah tangga kita main tangan, selingkuh, atau punya gangguan kepribadian? Nauzubillahiminzalik. Girls, ini nyata. Tentu tak seorang pun dari kita yang berharap punya suami seperti itu bukan? Karena itulah kita wajib teliti sebelum berjanji. Konfirmasi setiap ASUMSI. Saya ingat seorang teman yang beberapa waktu lalu menanyakan tentang tes kepribadian untuk calon pasangan. Ia bertanya, apakah ada tes khusus untuk mengetahui kecocokan calon pasangan? Setahu saya belum ada, tapi itu bisa dilihat dari kepribadian calonnya. Cocokkah dengan dia? Selang beberapa waktu kemudian, saya tanyakan kembali teman tersebut tentang prosesnya. Ternyata beliau mengambil tes MBTI-salah satu tes kepribadian- setelah konseling dengan seorang psikolog. Kabar terakhir beliau tidak melanjutkan proses ke tahap yang lebih lanjut. Saya bukannya promosi alat tes psiklogis sih, tapi saya pikir itu salah satu cara cerdas untuk konfirmasi. Setidaknya bisa menghemat waktu, energi, plus dapat data yang valid reliabel tentang calon pasangan ;p selebihnya, gali sebaik mungkin dengan rentetan pertanyaan. Kalau perlu INTEROGASI calon dan semua orang terdekatnya..(ini asli bahasa yang LEBAY;p). Saya salut dan kasih ribuan jempol deh buat para akhwat kritis ini. monggo ditiru! Selain proses konfirmasi, ingat pula istikharah dan musyawarah. Kalau masih ada keraguan, please jangan MAKSA. Jangan abaikan tanda-tanda. Lihat bagaimana respon doi ketika berhadapan dengan masalah. Bagaimana track recordnya ketika bertemu godaan dunia. Bagaimana calon pasangan menyikapi konflik? Indikasi kekerasan bisa kita baca dari ceritanya tentang cara menangani konflik. Coba tanya pengalamannya, bukan seandainya. Bukan bertanya seandainya dalam rumah tangga nanti ada masalah...tapi tanya bagaimana antum menyikap masalah dengan si fulan, atau ade di rumah, dsb. Satu lagi, konon katanya karakter asli seseorang bisa dilihat ketika berada di alam bebas dimana dia harus survival. Coba cek aja, gimana pengalaman orang yg pernah bareng2 dia di situasi alam bebas, atau situasi konflik pribadi, organisasi, dsb. Terus, tambahan, perhatikan bagaimana ia biasa bersikap pada orang tua dan anak kecil. Konon (lagi) orang yang baik tidak dingin terhadap anak kecil dan tidak abai terhadap orang tua. So, girls... if you are falling in love, please stay ALERT. Give your brain enough time to think more critically. Let your heart, body, and soul peacefully decide the best choice. Jangan pernah takut menghadapi kenyataan sehingga mengabaikan tanda tanda yang bisa menyelamatkan masa depan kita. Jangan berASUMSI, lakukan KONFIRMASI. Wallahualam bish showab. Teriring doa untuk kebahagaiaan sejati kita semua.  

2 comments:

  1. seru kak. wah saya ga begitu akrab dengan anak kecil. takut salah pegang sih.

    ReplyDelete
  2. Haha bisa aja dimas :D yang penting ga takut salah asuhan

    ReplyDelete