Tuesday 9 October 2018

Konsep Kesetaraan dalam Islam


Tafsir QS AnNisaa: 34

"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Sebab itu, maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tidak melukai,  tidak meninggalkan bekas).

Tetapi jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Mahatinggi, Mahabesar" (QS AnNisaa: 34).

Menurut saya, inilah salah satu ayat yang menjelaskan peran gender dalam Islam. Lelaki atau suami berperan sebagai pemimpin. Kewajiban mereka adalah bertanggung jawab terhadap semua kebutuhan dan kesejahteraan dunia akhirat keluarganya. Karena besarnya tanggung jawab ini, maka lelaki disebut memiliki keutamaan dalam jiwanya dibandingkan perempuan.

Mungkin jika dianalogikan dalam sebuah kapal, ada keutamaan untuk kapten dibandingkan anak buah kapal. Keutamaan ini disebabkan tanggung jawabnya yang besar untuk memelihara keselamatan seluruh awak kapal dan memimpin perjalanan sampai ke tujuan.

Dalam keutamaan tersebut ada kewenangan yang lebih pada kapten dibandingkan anak buah kapal. Misalnya kewenangan untuk mengambil keputusan, mengatur tugas anak buah, yang semua itu harus ditaati dengan baik agar perjalanan aman terkendali.

Karena keutamaan tersebut pula, seorang kapten semestinya memiliki kapasitas yang mumpuni untuk memimpin. Inilah tanggung jawab besar bagi orang tua yang memiliki anak laki-laki.

Sementara perempuan atau istri, wajib menaati suaminya selama dalam ketaatan pada Allah, agar peran kepemimpinan itu terlaksana dengan baik. Maka perintah untuk taat pada suami itu sesungguhnya sangat wajar, tidak berlebihan atau mengekang.

Kita kembali pada analogi kapal. Bayangkan apa yang terjadi jika anak buahnya tidak menaati perintah sang kapten. Apa yang terjadi jika anak buah merasa lebih tahu dan bertindak sesuka hati tanpa seizin kapten. Perjalanan bisa terhambat bahkan mungkin membahayakan keselamatan seluruh penumpang.

Inilah tugas orang tua yang memiliki anak perempuan. Mendidik mereka agar mampu menjalankan peran sebagai istri yang sigap, taat, dan lapang hati menerima kepemimpinan suami.

Lalu bagaimana jika sang kapten ternyata tidak mumpuni dalam memimpin perjalanan? Tentu saja anak buah kapal memiliki hak untuk memberi masukan, tetapi dengan tidak melampaui kewenangan sang kapten sebagai pemimpin perjalanan.

Bagaimana jika sang kapten ternyata membahayakan keselamatan penumpang? Maka di situlah ada pintu darurat bernama perceraian. Tentu keputusan ini melalui tahapan perbaikan yang panjang sebelumnya, dan memerlukan kajian khusus dari para ahli untuk membahasnya.

Saya membaca tafsir Ibnu Katsir tentang arti surat An-nisa ayat 34. Hal yang menarik adalah penjelasan tentang nusyuz. Dalam tafsir ini nusyuz didefinisikan sebagai wanita yang merasa lebih tinggi di atas suaminya dengan meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya.

Jika tanda-tanda nusyuz muncul, suami diminta untuk menasehati, memisahkan ranjang di dalam rumah atau tidak berbicara maupun bercengkrama, dan boleh memukulnya jika belum juga menunjukkan perbaikan sikap.

Kebolehan memukul ini dilakukan dengan syarat tidak melukai, tidak meninggalkan bekas sedikitpun, tidak menyakiti. Syarat ini disebutkan dalam Shahih Muslim sesuai sabda Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam dalam haji Wada'. Hal ini yang mendasari penjelasan Ibnu Abbas dan ulama-ulama lainnya tentang kebolehan memukul.

Jika kita bayangkan, memukul yang tidak menyakiti, tidak melukai, tidak meninggalkan bekas itu tentu bukanlah sebuah bentuk kekerasan. Pemukulan seperti ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang dalam kondisi emosi tak terkendali. Pemukulan yang dilakukan membabi buta dalam keadaan emosi pasti meninggalkan bekas, menyakiti, dan melukai.

Pemukulan tanpa bekas, tanpa luka, tanpa rasa sakit, hanya dapat dilakukan oleh orang yang berada dalam kondisi emosi stabil. Penuh sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah bentuk pendidikan. Tahap akhir dari proses panjang menasihati sampai mendiamkan karena istri tak menunjukkan itikad baik sama sekali. Bukan tahap awal untuk menegur istri, apalagi intimidasi agar ditaati.

Jika setelah tahap akhir ini tidak ada perbaikan, maka pintu darurat dapat digunakan untuk menghindari kemudharatan. Perceraian sungguh dibolehkan, jika di dalamnya lebih banyak kemaslahatan bagi semua pihak. Tidak ada kekerasan yang dibenarkan hanya karena istri dianggap sudah tidak bisa taat pada suami.

Jelaslah dalam Islam tidak diperbolehkan menyakiti istri dengan alasan nusyuz. Apalagi Allah menutup ayat ini dengan pesan yang indah untuk para suami: jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.

Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan arti ayat ini adalah ancaman untuk laki-laki jika mereka berbuat zalim pada istri, Allah yang Mahatinggi lagi Mahabesar akan menjaga para istri ini dan menghukum orang yang menzaliminya.

Maka terang benderang lah konsep kesetaraan dalam Islam. Kesetaraan yang tidak melanggar kodrat penciptaan lelaki dan perempuan.


Allah menyetarakan lelaki dan perempuan dengan keunikan perannya masing-masing. Memberi kasih sayang dan kesempatan yang sama untuk meraih taqwa, menempati derajat mulia di sisiNya sesuai hak dan kewajiban masing-masing. Wallahu alam bishshawab.

#bunsay
#ibuprofesional
#tantangan10hari
#fitrah seksualitas

No comments:

Post a Comment