Wednesday 22 November 2017

Game day 10 Komunikasi Produktif


Sepulang sekolah si sulung bertanya lagi tentang program imunisasi sekolah yang akan diadakan pekan ini.
Ia masih tidak mau diimunisasi, katanya belum siap.
Padahal September lalu saat ada imunisasi Rubella di Posyandu ia sudah membuktikan sendiri bahwa ketakutannya itu tidak beralasan. Sebab ternyata sakitnya hanya sedikit, begitu ujarnya.

Kali ini saya mendengar alasan tambahan, "Kalau mendadak gini kakak gak mau, gak siap!" ujarnya merengek.
Saya menjawab, "Kak, mendadak itu artinya hari ini kakak dikasih tahu terus hari ini langsung disuntik. Kalau ini kan udah dari minggu lalu dikasih taunya".
"Iya tapi terlalu deket waktunya, kakak gak mau!" ia berkeras.
""OK..kalau gitu menurut kakak harusnya waktunya kapan?" saya menantangnya berlogika.
"Yaa nanti.." tampaknya ia belum paham.
"Nanti kelas 3 ada imunisasi lagi, kakak siap gak? kan itu masih jauh?" pancing saya.
"Mmmh..iya nanti kelas 3 kakak siap, itu kan masih lama!" jawabnya terdengar berusaha meyakinkan diri sendiri. Pancingan saya kena. Setahu saya, ia juga anak yang tepat janji, sebagaimana saya selalu berusaha tepat janji pada ia dan adik adiknya.

"Bener ya, kakak udah janji lho, nanti kelas 3 ibu ingetin ya!"

Begitulah. Saya berusaha jadi orangtua yang fleksibel untuk hal-hal yang memang bisa dinego. Seperti imunisasi ini karena sifatnya booster, saya berani buka ruang negosiasi. Pun jika pilihannya sesuatu yang agak prinsip misalnya sholat yang masih suka ia tunda tunda, saya berusaha tidak menjadi diktator. Kecuali, sebelumnya kami sudah membuat kesepakatan.

Kalau sudah sepakat, saya bisa tega dan tanpa tapi. Kebiasaan gadget dan TV sudah menjadi saksi dari ketegasan saya. Makanya Alhamdulillah, jadwal mematikan TV tidak pernah membuat saya harus tarik urat.

Semoga saja apa yang saya lakukan masuk kategori komunikasi produktif.

Sejujurnya melakukan komunikasi produktif itu sangat butuh komitmen dan konsistensi. 
Seringkali ketika suatu respon saya lontarkan, saya sadar ada respon lain yang lebih produktif harusnya dapat saya berikan.
Tapi itulah, saya manusia biasa, ibu yang tak sempurna.

Saya tidak ingin membebani diri dengan tuntutan dan penyesalan yang justru tidak produktif terhadap pengasuhan.
Saya memilih untuk memaafkan diri sendiri dan minta maaf, lalu memperbaiki keadaan. Memberikan konsekuensi alami akibat perbuatan saya.

Misalnya jika saya masih kelepasan nada agak tinggi, saya lantas minta maaf dan berkata lembut. Menegaskan kembali bahwa apa yang saya lakukan itu buruk dan saya minta ampun kepada Allah, berjanji tak mengulangi lagi.

Maka komunikasi produktif adalah pembiasaan yang tak kenal henti. Tak selesai meski catatan ini sudah memasuki hari kesepuluh. Semoga tetap terpatri menjadi kenangan manis para buah hati.

No comments:

Post a Comment