Wednesday 21 March 2018

DO IT YOUR WAY, THE BETTER WAY




DO IT YOUR WAY, THE BETTER WAY

Saya suka iseng bertanya sesuatu yang ‘berat’ sama anak-anak, sebagai bahan masukan diri sendiri. Misalnya, suatu kali saya tanya si sulung dan si tengah:
“Kalian senang gak jadi anak Ibu?”
“Kalau kalian boleh milih sama Allah, mau jadi anak Ibu apa anak orang lain?”
“Menurut kalian, Ibu udah baik apa belum?”

Biasanya saya tanya saat sedang bermain atau di perjalanan bersama. Jawaban mereka selalu menarik buat saya. Dan pertanyaan kemarin yang saya lontarkan saat mereka main peran ibu-ibuan, membuat saya tak henti merenung dan belajar.

Ini pertanyaan yang saya lontarkan pada duo kakak:

“Kalau kalian jadi ibu-ibu, mau jadi seperti Ibu atau lebih baik lagi?”

Si Sulung menjawab, “yaa ada yang mau kayak Ibu ada yang nggak,”

Si Tengah menjawab singkat, “yang lebih baik!”

Ooh oke..so, you will do a better way than me, bisik saya dalam hati.

Di satu sisi saya takjub dengan tekad mereka untuk menjadi ibu yang baik (padahal masih bocah XD)

Di sisi lain saya ngenes...karena jawaban mereka berarti saya belum berhasil menjadi ibu idola terbaik sedunia...Alhamdulillah yaaa sesuatu banget, artinya saya masih harus terus belajar jadi ibu terbaik :D


Saya pun mencoba menggali jawaban mereka. Oh oke, saya paham dimana kekurangan saya sebagai ibu. Biarlah hanya duo kakak yang tau, daripada pencitraan saya gagal wkwkwkwk...

Akhirnya, saya menyimpulkan di depan mereka,

“Iya ya Kak, Ibu emang harus terus belajar ya biar jadi lebih baik lagi,”. Kemudian Si Sulung menjawab dengan kalimat yang terus terngiang di telinga saya:


“Iya Bu, jadi orang itu semakin tua harus semakin baik!”

Deg, jleb banget di hati. Tapi mendengar suara yang mengatakannya begitu cempreng, dan wajah yang mengucap begitu imut, rasanya perut saya kayak dikelitikin pengen ngakak. Gak nyangka dengar kalimat itu dari anak kelas dua esde :D

Alhamdulillah saya berhasil menahan diri dari menertawai atau meremehkan komentar Si Sulung. Saya hanya tersenyum lebar sambil mengapresiasi jawabannya. Terus saya balikin, pakai buat nasihatin dia juga, hehehe.

Apa yang dikatakan Si Sulung membuat saya merenung. Semakin tua harusnya kita semakin baik. Makin bijak.

Makin memahami, bukan terus minta dipahami. Makin bisa menghargai apapun pilihan anak. Sebab mereka hidup di zaman yang sungguh berbeda dari kita sendiri.

Saya bertanya pada diri sendiri, siapkah saya jika kelak anak-anak mengambil pilihan pilihan hidup yang berbeda dengan saya?

Siapkah anak-anak memilih yang terbaik sesuai dengan nilai-nilai keyakinan yang selama ini saya tanamkan?

Akankah saya ridho, bijak, terima, ketika anak memutuskan sesuatu yang berbeda dari kehendak saya?

Bagaimana saya merespon, jika mereka kelak mendidik anak anaknya dg cara mereka sendiri, yang mereka yakin jauh lebih baik dari saya?

Akankah saya menjadi orangtua yang selalu merasa benar dan tidak ridho anak mencoba meretas jalannya sendiri?

Ataukah saya akan selalu menuntut anak agar menjadi persis seperti saya karena merasa cara saya paling benar?

Ya Allah betapa beratnya jadi anak saya, kalau saya hanya mau melihat mereka tumbuh menjadi seperti saya. Tidak mengizinkan mereka merekah dengan rona warnanya sendiri…

Saya tersadar. Saya ingin anak-anak saya kelak lebih tau yang terbaik buat diri mereka sendiri. 

Saya ingin mereka memutuskan pilihan mereka sendiri, dengan ridho saya sebagai orangtua, karena saya yakin mereka tau yang terbaik bagi diri mereka sendiri.

Saya tidak ingin punya anak seperti robot, yang remote controlnya di tangan saya.

Ya Allah, saya ingin seperti yang diucapkan  Si Sulung: makin tua makin baik.
Saya tidak ingin seperti yang diucapkan Bu Elly Risman: tua merasa paling tau.

Padahal belum tentu.

Banyak hal yang kita tidak tau sebagai orangtua, sebab anak bertumbuh lebih cepat dari gerak kita yang sudah melambat. Anak bisa jadi tau jauh lebih banyak dari kita yang taunya itu-itu saja.

Tugas kita sebagai orangtua hanya menumbuhkan fitrah tauhidNya. Menguatkan iman yang sudah dipersaksikannya di hadapan Allah, nun saat masih di alam ruh.

Bukan memaksakan jalannya harus sama dengan jalan kita. Melainkan memastikan nilai-nilai yang akan dipilihnya saat membuat keputusan, adalah nilai-nilai kebenaran Ilahi.

Memastikan Allah yang menjadi tujuannya dalam setiap langkah kaki. Bukan memastikan langkahnya harus serupa dengan langkah kita.

Agar kelak, mereka menjalani hidup sepenuh-penuhnya, tanpa menuding kita sebagai penyebab ketidakbahagiannya. Atau menyesali pilihannya yang berasal dari keterpaksaan atas otoritas orangtua. Berbakti tapi tidak bahagia…

Ah, ternyata belajar bijaksana memang tidak pernah mudah.

Terima kasih, Nak, kamu telah mengingatkan Ibu untuk kembali berkaca. Bahwa Ibu harus menyiapkan rongga hati untuk menjadi lebih bijaksana, menerima pilihan hidupmu kelak, jika tak seperti yang Ibu inginkan. 


Sebab tugas Ibu hanya membekalimu dengan taqwa, bukan menjejalimu dengan isi kepala versi ibunda.

*Dan lagu My Way terngiang-ngiang di kepala, menjadi backsound dari tulisan ini.
And now, the end is near
And so I face the final curtain
My friend, I'll say it clear
I'll state my case, of which I'm certain
I've lived a life that's full
I traveled each and every highway
And more, much more than this, I did it my way

Regrets, I've had a few
But then again, too few to mention
I did what I had to do and saw it through without exemption
I planned each charted course, each careful step along the byway
And more, much more than this, I did it my way

……..

For what is a man, what has he got?
If not himself, then he has naught
To say the things he truly feels and not the words of one who kneels
(lirik diambil dari https://terjemah-lirik-lagu-barat.blogspot.co.id/2017/08/my-way-frank-sinatra.html)

Yes, just do it your way, Sweetheart, a better way than mine ;)






No comments:

Post a Comment