Sunday 17 December 2017

Magnet Mama

Magnet Mama

“Omaaa...omaaa", tangis anak bungsu saya siang itu terdengar berbeda. Biasanya ia memanggil Ibu atau Ayah ketika menangis. Namun kali ini, oma yang dipanggilnya.

Oma adalah sebutan yang dibahasakan ibu saya untuk cucu-cucunya. Saya mencoba menerka nerka mengapa siang itu si bungsu menangis memanggil omanya.

Saya baru sadar, selama di jogja 3 hari ini si bungsu cukup intens main dengan oma, lain dari hari biasa yang kadang baru bertemu 2 hari sekali. Itupun hanya 2-3 jam ketika saya atau oma saling mengunjungi.

Lantas ketika kami pulang dari jogja, oma tidak ikut karena ingin singgah di rumah kakak saya di boyolali selama sepekan. Karena cucu lelaki semata wayangnya sudah kangen berat padanya.

Mungkin si bungsu menangis karena kangen juga.  Masih terkesan akan kebersamaan dengan omanya berapa hari ini. Mama memang selalu punya cara untuk masuk ke dunia anak anak dengan kegembiraannya.

Mama, begitu saya memanggilnya, memang orang yang asyik. Ia adalah sosok ibu yang selalu bisa menjadi sahabat bagi siapapun yang mengenalnya.

Mama bahkan selalu bersahabat bagi sahabat anak-anaknya.
Mama kenal baik dengan semua sahabat anak-anaknya. Bahkan sahabat sahabat kakak sulung memang mama dengan sebutan Bunda. Karena memang sangat keibuan bagi mereka. Ibu yang gaul dan bersahabat. Jauh dari sosok kaku, cerewet, atau galak.

Cara mama mendengarkan membuat orang betah curhat padanya. Begitu juga ketika diminta memberi nasihat, mama bisa menyampaikan dengan bahasa yang enak didengar. Tidak menggurui atau menghakimi.

Makanya banyak orang yang gampang curhat ke mama. Apalagi pembawaan yang luwes dan riang membuat orang lebih mudah 'nempel’ padanya. Kadang saya merasa, mama ini lebih 'nyiko' daripada saya yang sarjana psikologi.

Saat masih tinggal dengan mama waktu saya SMP, cukup sering saya memergoki mama mendengarkan kerabat yang sedang curhat padanya sampai menangis. Hingga kini, kadang mama meminta pendapat saya atas curhatan orang orang di sekitarnya. Tuh kan,terbukti mama lebih cocok jadi sarjana psikologi.

Kemampuan mama menjadi sosok ibu yang bersahabat sangat berbeda dengan apa yang pernah didapatnya saat menjadi anak.
Mama tumbuh dengan kedua orangtua yang mendidik secara konvensional. Bapaknya keras dan sangat sedikit bicara. Sosok yang sangat ditakuti oleh anak istri. Sama sekali jauh dari bersahabat dengan anak.

Ibunya, nenek saya, memang sosok yang berkebalikan dengan sang suami. Nenek adalah sosok yang supel, ceriwis, periang. Namun masih mendidik dengan pola asuh lama.
Lebih banyak mengkritik, mendikte, mengancam.
Bahkan ikut memperlakukan mama dengan kekerasan di masa kecilnya. Sangat berbeda dengan didikan yang saya dapat dari mama.

Mama adalah ibu sejati. Ia mampu melampaui pola asuh yang diterimanya menjadi pola asuh lebih baik bagi anak anaknya. Dengan kemampuan belajar yang tak kenal henti, mama berusaha berdamai dengan didikan masa kecilnya yang traumatik.

Mama kecil dididik dengan pukulan dan teriakan. Dua hal yang tak pernah kami warisi darinya hingga saat ini.

Mama kecil dididik dengan pemaksaan dan ancaman. Dua kata yang tak diterapkan mama saat mendidik kami.

Justru mama sangat membebaskan kami untuk memilih. Dari yang kecil seperti buku cerita sampai yang besar seperti menentukan jurusan kuliah. Mama tak pernah mendikte apalagi marah ketika kami memilih yang beda dari harapannya.

Dari mama saya belajar, tak perlu memaksa anak untuk memastikan masa depan mereka lebih baik dari orangtua. Cukup pastikan anak mandiri agar mereka mampu survive tanpa harus bergantung pada orangtua. Karena pemaksaan tak pernah menjamin kebaikan, tapi pasti mengurangi cinta dan mendatangkan penyesalan.

Mama kecil selalu mendengar omelan atas kesalahan dan kenakalan remeh kanak kanak. Sesuatu yang tak kami dapati darinya.

 Saya ingat pernah tak sengaja membuat kaca meja retak karena saya pukul dengan vas bunga. Mama gemeletuk giginya menahan teriakan marah, ia hanya menatap saya lekat sambil berkata, kan sudah mama bilang nanti pecah!

Mama tak pernah menghujani kami dengan tuntutan apalagi penghakiman berujung hukuman ketika kesalahan kami memang bukan kenakalan berbahaya.

Saya ingat di kelas 2 SMA nilai rapor saya anjlok. Biasa dapat peringkat 1 sejak SD, kali ini saya tak dapat peringkat. Saya sedih, kecewa, marah pada diri sendiri. Sekaligus takut mama marah dan kecewa juga.

Ternyata mama tidak murka sama sekali. Ia hanya berujar datar, kamu yang merasakan sekarang. Belajar itu untuk dirimu sendiri, katanya.

Mama kecil sering mendengar keluhan dan cacian terhadap orang dekatnya, sesuatu yang tak pernah diajarkan mama pada kami anak anaknya.

Meskipun mama dan bapak punya masalah serius hingga akhirnya bercerai, mama tak pernah mengajari  kami membenci bapak.

Bahkan ketika mereka beberapa kali bertemu saat mengunjungi kami, tak ada permusuhan apalagi api pertengkaran. Mereka tertawa seperti dua teman lama.

 Saya sangat bersyukur tak pernah diajarkan membenci ayah kandung saya, meski mungkin ia pernah menyakiti perempuan yang melahirkan saya.

Saya sungguh belajar banyak dari mama. Kelamnya masa kecil tak membuat mama latah menjadikan masa kecil anak-anaknya kelabu.

 Pahit perjuangan hidupnya tak pernah membuat mama melampiaskan amarah pada kami. Ia justru mengajarkan manisnya bersyukur atas semua yang terterjadi.

Mama selalu menjadi magnet kegembiraan dan kehangatan bagi anak cucu dan siapa saja yang mengenalnya. Sehingga rindu akan menghinggapi hati siapapun yang pernah membersamainya.

Mama, dengan segala kekuranganmu, engkau ibu terbaik yang kami miliki. Semoga kami dapat berbakti padamu sepanjang masa. Maafkan jika bakti kami belum sempurna. Semoga Allah mengizinkan kita berkumpul menjadi keluarga di surga, aamiin.
Terimakasih mama tercinta :)

No comments:

Post a Comment