Saturday 9 December 2017

MIMPI BOLEH KOMPROMI, ASAL JANGAN MATI-arsip FB Yunda Fitrian

MIMPI BOLEH KOMPROMI, ASAL JANGAN MATI
Menjelang nikah, saya minta wejangan dari ibu seorang sahabat tentang pernikahan.
Ibu paruh baya itu menasihati saya dengan lembut.
Katanya, kelak jika jadi istri banyak banyaklah melapangkan hati.
Menerima kepemimpinan suami dan semua perilakunya dengan sabar.
Jangan membangkang atau egois mementingkan diri sendiri. Itulah kunci rumahtangga bisa bertahan hingga lanjut usia.
Waktu itu saya hanya mengangguk ringan, seolah sudah sangat paham dan siap melaksanakan.
Lalu masa masa itu pun tiba.
Masa dimana mengikuti kepemimpinan suami tak semudah menganggukkan kepala.
Ketika kehendak suami bersimpangan dengan ambisi pribadi.
Tiba masa dimana keputusan yang diambil suami untuk memprioritaskan keutuhan rumahtangga harus menunda, mengubah, bahkan menghapus cita cita istri.
Waktu itu baru beberapa bulan kami menikah, satu persatu impian saya harus kandas.
Berganti dengan skala prioritas baru bernama keutuhan rumahtangga.
Saya tak menyangka, apa yang sudah kami sepakati saat taaruf ternyata harus diubah menjadi opsi baru. Opsi yang sama sekali tidak saya bayangkan.
Saat taaruf saya minta pada calon suami untuk tetap tinggal di Depok. Karena saya masih ingin mengajar di sekolah terminal.
Saya juga minta suami tetap mengizinkan saya mobile ke Tangerang, karena masih ingin rutin ke sekolah almamater untuk mengisi mentoring.
Calon suami saya menyanggupi. Ia tahu, saya telah jatuh cinta pada anak anak di sekolah terminal, juga pada jiwa jiwa muda di sman doeta dan zoetanx (nama smp saya versi alay). Maka saya meminta agar kelak pernikahan tidak memisahkan saya dari mereka.
Namun yang selanjutnya terjadi tidak sesuai rencana.
Baru 2 pekan menikah, saya positif hamil. Lantas sempat flek dan dianjurkan istirahat.
Lalu tiba tiba, suami dapat tawaran menjadi kepala cabang bimbel di daerah tangerang selatan.
Pertimbangan demi pertimbangan berujung pada keputusan suami mengajak saya pindah ke Tangerang. Kembali ke kota kami tercinta.
Dan berarti melepaskan satu cinta lain yang saya genggam selama ini. Yang begitu membuat saya berbinar tiap pagi.
Tapi lalu saya tak banyak argumentasi. Pikir saya, kini ada prioritas baru bernama anak, amanah Allah dalam rahim saya. Dengan pindah domisili, saya masih bisa beraktivitas di ladang lain, sekolah almamater.
Tak dipungkiri saya masih bergumul dengan kerelaan hati. Melepas anak anak yang saya sayangi. Dan saya yakini dengan kurangnya SDM di sana, saya masih sangat dibutuhkan.
Di kala sunyi, seringkali bayangan wajah anak anak dan episode kegembiraan kami di sekolah terminal-yang aslinya bau pesing dan kumuh itu-menari nari di kepala saya.
Mengiris hati dan mengalirkan sungai di pipi.
Saya mencoba berdamai dengan diri sendiri. Memang inilah pernikahan. Ada mimpi yang harus terkubur oleh skala prioritas bernama keutuhan rumahtangga.
Ternyata tak hanya sampai di situ. Mimpi lainnya pun menyusul harus kandas. Mimpi kuliah ilmu syari di sebuah kampus di Jakarta Selatan.
Tadinya saat taaruf suami pun sudah oke dengan rencana satu ini. Tapi kondisi saya yang hamil muda, perdana, dan sempat flek membuat impian ini harus tertunda.
Lagi lagi ada gurat kecewa, tapi saya telan saja.
Bukankah ini pernikahan? Dimana mimpi istri (dan juga suami) harus mau berkompromi demi sebuah prioritas bernama keutuhan rumahtangga.
Tahun demi tahun berlalu.
Berseliweran foto foto teman seangkatan kuliah lagi. Ada yang di dalam dan di luar negeri.
Iri?
Ah, tidak!
Tidak salah lagi..hehehe.
Bukankah harus iri dengan orang orang yang punya kesempatan menuntut ilmu menjelajah negeri? Supaya kelak bisa lebih menebar manfaat dengan ilmunya yang makin tinggi.
Sebenarnya saya sudah bercita cita mau kuliah di Aussie sejak SMP. Sejak membaca tentang Great Barrier Reef. Haha gak nyambung sih sama psikologi. Tapi itu tetap saya patri dalam hati. Apalagi saat s1, saya baru tahu ternyata kampus saya punya program double degree dengan kampus di Aussie. Nah, nyambung kaan. (Apanya dah yang nyambung?!).
Saya pun merayu suami. Berbekal kemampuan bahasa Inggris yang tinggal poles dikit bisa lolos syarat beasiswa. Juga senangnya belajar mandiri baik dari web, buku, workshop, atau kesempatan lainnya.
Saya bilang, kapan kita kuliah di luar negeri? Sesuai mimpi. Karena saya tahu ia pun punya mimpi yang sama.
Lalu apa kata suami? Bertahun tahun jawabannya cuma ini:
“Aku belum bisa ninggalin bisnis di sini”
Dan saya pun mundur lagi. Menyimpan info2 menggiurkan beasiswa di sana sini jauuh di dalam tanah. Bukan dalam hati lagi. Sebab saya tahu bisa jadi 10 tahun lagi pun jawabannya masih sama. Sebab saya sudah mengerti, bisnis ini sudah sangat mendarah daging dalam hidup suami.
Ya sudah, saya kubur saja mimpi kuliah ke luarnegeri rapat rapat supaya tak menghantui.
Saya coba cari inspirasi supaya gak ngambek apalagi mangkel dalam hati.
Saya tatap tiga bidadari. Saya cermati kanan kiri.
Apa iya saya harus ke luar negeri? Masih ada yang harus saya kerjakan di sini. Banyak.
Apa iya saat ini hanya dengan kuliah ke luar negeri saya berhasil menggapai mimpi?
Apa saya sanggup setangguh mereka yang melanglang buana di negeri orang?
Lalu saya jadi malu sendiri.
Kalau Allah belum memberikan jalan menggapai suatu impian, mungkin saya memang hanya perlu memantaskan dan memasrahkan diri.
Bukan mendengki. Atau merutuki hari. Menyesali diri. Atau menyalahkan suami.
Yang perlu dilakukan hanya memantaskan diri melalui ikhtiar dan memasrahkan hati melalui tawakal.
Ikhtiar pun bentuknya macam macam.
Tidak melulu dengan mengejar ambisi. Tapi juga dengan mencari hikmah dan terus berbagi inspirasi.
Tidak berhenti di satu titik lantas mogok dari ikhtiar mencari kebaikan jika titik itu ternyata tak mampu tercapai.
Maka sayapun memohon kepada Allah agar diberikan yang terbaik.
Jalan untuk menjadi manusia bermanfaat dengan cara yang Allah ridhoi.
Cara yang paling tepat untuk seorang Yunda Fitrian dengan segala atribut dan keunikannya.
Tentu tidak harus sama dengan orang lain.
Maka ikhtiar demi ikhtiar saya jalani.
Mimpi demi mimpi saya rajut kembali.
Dengan kompromi, mereka tidak perlu mati.
Sebab setiap perempuan punya potensi yang berjodoh dengan mimpi.
Sekalipun kini prioritas hidupnya adalah sebagai ibu dan istri.
Dengan doa dan sujud mengiringi, saya minta restu orangtua dan suami, anak anak tak terkecuali.
Ada, pasti ada jalan untuk saya mewujudkan mimpi.
Segala puji bagi Allah. Dengan izinNya saya dipertemukan dengan berbagai kesempatan.
Saya diberikan kesehatan dan kekuatan untuk belajar lebih banyak lagi di universitas kehidupan.
Saya damaikan hati dari konflik batin bertema kekecewaan.
Saya bersihkan diri dari kotoran dengki akan jalan kesuksesan orang lain.
Saya akan meraih mimpi dengan keunikan saya sendiri.
Dengan apa yang Allah hadirkan dalam kehidupan sehari hari.
Maka di sinilah saya hari ini.
Menjadi ibu dari 3 bidadari.
Istri dari seorang suami yang baik hati.
Anak dari orangtua yang bijak bestari.
Berjalan tenang merangkai mimpi.
Lewat menuliskan kata dan menggaungkannya menjadi inspirasi.
Lewat meluangkan waktu bermain dengan anak tetangga dan anak sendiri.
Melalui kesediaan untuk terus belajar di sana sini.
Menjadi tempat bercerita bagi sesama perempuan yang ingin mencari solusi.
Berbagi apa yang Allah sempat titipkan sehari hari.
Mencoba bermanfaat dengan hal hal sederhana yang ada di depan mata sendiri.
Dengan semua itu, saya merasa hidup kembali.
Tentu saya belum selesai merajut mimpi, tapi setidaknya saya merasa damai dalam diri.
Siap melanjutkan hari dengan lebih baik lagi.
Untuk sampai di sini saya tidak melakukannya seorang diri.
Melainkan dengan dukungan seorang lelaki yang telah berjanji di hadapan langit dan bumi.
Akan menjadi pemimpin yang bersinergi.
Yang bukan hanya sibuk di luar lalu lupa anak istri.
Bukan hebat di muka publik tapi tak dicintai dalam rumah sendiri.
Dalam pernikahan, kepemimpinan suami berarti menjaga prioritas bernama keutuhan rumahtangga. Dengan tetap memberikan istri ruang untuk mengasah potensi.
Jika kepemimpinan itu lantas mengerdilkan potensi istri, akankah lahir dari rahimnya anak anak yang berani bermimpi?
Sebab tiap anak dalam diam mengamati ibu dan ayahnya sehari hari. Mereka tumbuh sebagaimana orangtua mencontohkan diri.
Jangan sampai seorang ibu atau istri dibiarkan stres sendiri. Potensinya layu, mukanya kuyu.
Dia yang dulu dipilih jadi istri karena kecerdasannya, kini dibiarkan merana karena sibuk dengan urusan rumahtangga. Tidak punya waktu buat diri sendiri apalagi mimpi mimpi.
Ah tapi kebanyakan lelaki hanya paham bahasa langsung alias kalimat denotasi yak..jadi saya langsung saja kasih contoh kongkret deh.
Sederhananya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan suami jika ingin istri tetap sehat jiwa raga semangat menggapai mimpi:
-Mau bantu istri menyederhanakan tugas domestik. Sebab sungguh ini menyita energi. Caranya beragam bisa dengan memberikan istri asisten rumahtangga, menggunakan teknologi seperti mesin cuci, dll yang mempersingkat waktu dalam pekerjaan domestik. Tak lupa suami bersedia berbagi pekerjaan rumahtangga seperti cuci piring, cebokin anak angkat jemuran.
Luar biasa hebat suami seperti ini. Tidak akan berkurang kemuliaan seorang suami ketika turun tangan membantu pekerjaan istri. Justru makin mulia, bahkan bonus makin disayang istri. Siapaa yang setujuu?
-Beri istri kesempatan menyendiri untuk merefresh hati. Bahasa kekiniannya me time. Jangan sampai urusan anak beres, istri baru mau santai, eh giliran anak mertua yang mengganggu..hehe.
Me time bukan cuma waktu santai sendiri dalam rumah, bisa juga dengan mengizinkan istri keluar rumah sendiri atau diantar, buat sekadar ketemu teman, ikut pengajian, arisan, atau jalan ke tempat favoritnya. Gimana buibu, setujuu?
-Beliin istri buku bergizi dan bayarin ikut seminar yang bagus! Bahasa singkatnya, investasi leher ke atas. Bukan cuma memanjakan dengan perhiasan fisik, tapi isi jiwa istri dengan nutrisi inspirasi.
Istri yang sehat jiwa akan menularkan kebahagiaan pada anak dan suami kok..jadi semua akan kembali ke keluarga sendiri. Bukan untuk kesenangan pribadi.
-ungkapkan penghargaan dan cinta setiap hari. Apa susahnya bilang terimakasih sayang sudah jaga anak hari ini, terimakasih sudah masak..Tak ketinggalan ajak istri diskusi yang berbobot. Apa impiannya, apa yang bisa dilakukan agar hidup terasa bermakna.
Susah, gengsi, canggung? Keluar dari zona nyaman memang tidak mudah. Tapi itulah yang membuat kualitas hidup meningkat.
Terus buat para istri yang suaminya jauh dari mau melakukan hal hal begini, gimana?
Ya tentu butuh waktu dan perjuangan tersendiri memang.
Mungkin dengan kondisi begitu, justru istri menjadi tangguh dan teruji.
Tetap berikhtiar dan tawakal. Sebab segala sesuatu ada ukurannya di sisi Allah. Sebagai hamba, tugas kita adalah berbaik sangka padaNya senantiasa.
Memberikan yang terbaik pada tiap kesempatan yang Dia tawarkan. Mencari hikmah dari semua keadaan.
Semoga ridho Allah mampu kita raih, dalam apapun peran yang dijalani dalam hidup ini.
Selamat melanjutkan mimpi, wahai para istri 
Semangat mendukung istri, wahai para suami

1 comment: