Friday 4 May 2018

BELAJAR JEDA


Diswap Komunikasi Positif Sesi 2 πŸš€πŸš€πŸš€
πŸ‘©πŸ»‍πŸŽ“πŸ‘¨πŸ»‍πŸŽ“ WAG Belajar Parenting πŸ‘©πŸ»‍πŸ’»πŸ‘¨πŸ»‍πŸ’»
🧠🧠🧠 BELAJAR JEDA 🧠🧠🧠 oleh Yunda Fitrian

Kemarahan NW (30 tahun) terhadap GW, putranya, menggelegak. Ia murka mendapati anaknya yang berusia lima tahun itu lagi-lagi mengompol. Dalam kondisi marah, NW memukul GW dan mengikat tangannya dengan tali rafia.

Masih kesal karena anaknya tak henti menangis, ia menyemprotkan obat pembasmi nyamuk ke wajah GW. Terakhir NW menutup wajah sang anak dengan plastik kresek lalu meninggalkannya untuk membeli lauk ke luar kosan.

Ketika kembali, ia mendapati anaknya sudah tak bernyawa. Seolah baru menyadari akibat perbuatannya, NW menelepon ibunya dengan panik lalu memesan ojek online untuk membawa anaknya ke rumah sakit. Pihak rumah sakit tak dapat menolong, GW dinyatakan sudah meninggal sebelum sampai ke RS.


Saat emosi mengambil kendali, kita kehilangan akal sehat. Bagian terburuknya adalah melakukan sesuatu  yang akan kita sesali seumur hidup karena menuruti ledakan emosi sesaat.

Kemarahan yang memuncak adalah tunggangan terbaik syaitan.  Manusia yang sedang marah akan sangat mudah melakukan perbuatan syaitan karena hati nuraninya sedang gelap.

Emosi marah itu sendiri sejatinya tidak buruk. Marah ada untuk melindungi diri kita. Seorang ayah harus marah ketika anaknya diganggu oleh lelaki jahat, misalnya. Seorang Muslim w ajib marah saat nama Allah direndahkan.

Maka marah hanya butuh dikelola, bukan dihilangkan. Bukan pula ditumpuk dalam diam hingga menggunungkan dendam. Saat jiwa sedang labil dan ada kesempatan, kemarahan itu berubah jadi amukan yang menyeramkan.

Emosi tidak sama dengan ekspresi emosi. Marah tidak sama dengan ungkapan marah. Emosi marah bisa diungkapkan dengan beragam cara yang tepat dan sehat.

Mengungkapkan emosi ibarat membuang sampah. Jika dibuang sembarangan akan mengundang penyakit bagi banyak orang. Jika disembunyikan lama-kelamaan akan mengganggu kesehatan diri sendiri.


 Islam yang sempurna mengajarkan umatnya mengendalikan kemarahan. Ayat Alquran, hadits, hingga rekam jejak hidup Rasulullah SAW banyak menyinggung tentang keutamaan mengendalikan marah.

Jika kita simak hadits tersebut, dapat disimpulkan kunci mengelola kemarahan adalah BELAJAR JEDA. 

🧠 Mengapa belajar jeda?

Sebab titik kritis puncak kemarahan sebetulnya hanya berlangsung beberapa menit saja. Jika kita gagal mengendalikannya, setan menunggangi lalu kita ikuti bisikannya, segala jenis kejahatan mampu kita lakukan seketika.

Setelah emosi tertumpah hingga habis, barulah manusia sadar akan perbuatannya. Ada yang saat itu juga kembali mengikuti nuraninya, ada pula yang kemudian melanjutkan keterlanjurannya berbuat kejahatan karena takut hukuman manusia.

Secara ilmiah, penjelasannya tergambar dari penelitian tentang otak manusia. Manusia memiliki 3 bagian otak, yaitu neokorteks sebagai pusat berpikir, limbik sebagai pusat emosi, dan reptil sebagai pusat survival. Lebih lanjut pernah saya bahas lengkapnya di sini http://jejakyundafitrian.blogspot.co.id/2015/04/putus-mata-rantai-generasi-senggol.html

Ketika emosi memuncak, yang bekerja di otak adalah limbik dan reptil. Neokorteks kekurangan energi untuk bekerja. Ia butuh JEDA waktu untuk membaca situasi dan memilih respon yang sesuai dengan nilai yang ia yakini. Jika hal itu dapat dilakukan, ia akan mampu  bekerja kembali mengendalikan limbik dan reptil.


 Bagaimana cara BERJEDA?

🍨 LAKUKAN KEBALIKAN

Prinsip belajar jeda bisa kita temukan dalam berbagai hadits berikut:
“Jika seseorang dalam keadaan marah, lantas ia ucapkan, ‘A’udzu billah (Aku meminta perlindungan kepada Allah)’, maka redamlah marahnya.” (HR. As-Sahmi)

“Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu.” (HR. Abu Daud)

“Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud)



Ilmu psikologi pun menemukan hal yang tak jauh berbeda. Mengendalikan emosi bisa dilakukan dengan melakukan KEBALIKAN dari yang kita rasakan.

Contoh, saat marah yang kita rasakan adalah dada terasa PANAS. Maka lakukan sesuatu yang membuat kita merasakan sensasi DINGIN, misalnya dengan berwudhu.

Napas sesak ketika marah karena SEMBARANGAN menarik dan menghembuskannya. Maka ciptakan KETERATURAN. Mulailah fokus menarik dan menghembuskan napas perlahan sampai terasa diri lebih tenang.

🍨🍨 MENGHINDAR

Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengindari objek kemarahan. Jika objek kemarahan kita adalah anak yang tantrum, sebelum kita ikut tantrum pergi sejenak menenangkan diri.
Sembunyilah sampai kita mampu menguasai diri. Lebih baik anak dibiarkan mengamuk sendiri daripada kita di sampingnya tapi hanya ikut ngamuk bersama.

🍨🍨🍨 LUAPKAN ENERGI

Jika cara ini belum dapat dilakukan, coba alirkan kemarahan dengan meluapkan energi marah dalam diri. Caranya lakukan suatu perbuatan yang melibatkan sensasi FISIK terhadap diri sendiri, bukan terhadap anak. Misalnya dengan memukul bantal, meninju air, atau berteriak dengan mulut dibekap kain tebal.

Pak Dodik Mariyanto, seorang praktisi parenting melakukan gigit lidah saat marah agar tak mampu melontarkan kata-kata buruk pada anaknya. Saya sendiri pernah menghancurkan gayung di kamar mandi karena sangat marah pada anak-anak. Setelah merasa lelah dan tenang, saya keluar kembali bertemu anak-anak tanpa ada lagi energi untuk marah.

Lakukan apapun yang tidak membahayakan diri, tidak dilihat anak, dan tidak menyalahi ajaran agama. Jangan sampai energi marah yang demikian besar kita lampiaskan pada anak-anak sampai membahayakan jiwa mereka.

🍨🍨🍨🍨 SUGESTI

Ketika lidah tak mampu lagi terbendung untuk berucap, ucapkanlah sugesti untuk meredakan kemarahan. Sebagaimana pernah diajarkan Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat:

“Jika seseorang dalam keadaan marah, lantas ia ucapkan, ‘A’udzu billah (Aku meminta perlindungan kepada Allah)’, maka redamlah marahnya.” (HR. As-Sahmi)


Jika dada masih terasa sesak dan ingin terus melontarkan kalimat kemarahan, ucapkanlah kalimat sugesti positif berupa doa pada anak kita, meskipun dengan nada tinggi. Itu lebih baik daripada mengeluarkan sumpah serapah.

Mungkin ada yang pernah mendengar kisah Ibunda dari Imam Masjidil Haram Syaikh Ahmad Sudais yang waktu kecil pernah dimarahi ibunya? Sudais kecil pernah disumpahi sang ibu yang memarahinya dengan berkata, ‘pergi kamu jadi imam di masjidil haram sana!”.


🍨🍨🍨🍨🍨 DIAM


“Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad)

Jangan pernah membahas apa yang membuat kita marah sebelum benar-benar tenang. Maka setelah rasa marah dialihkan dengan cara-cara di atas, ada baiknya kita DIAM dulu sampai siap mengungkapkan pesan kemarahan kita dengan bicara baik-baik.

Diam, bukan berarti menumpuk kemarahan begitu saja. Sebab menumpuknya hanya akan mengundang masalah baru yang akan menjadi bom waktu.

Waktu DIAM tersebut kita gunakan untuk berpikir cara paling efektif menyampaikan pesan kemarahan. Apakah harus disampaikan hari ini juga? Bagaimana kata-kata yang tepat untuk menyampaikannya?

Selain itu kita dapat memikirkan apa masalah yang kita hadapi sebenarnya. Apakah masalah itu berasal dari diri kita sendiri atau dari luar? Apakah yang kita lakukan ketika menyikapinya membuat masalah selesai atau malah bertambah rumit?

Jika pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab, insyaAllah kita siap mengelola marah dengan lebih bijak. Menempatkannya sesuai fitrahnya sehingga marah tak akan meninggalkan luka jiwa. Inilah anak tangga kedua dari komunikasi positif di keluarga. Selamat MencobaπŸ’ͺ🏻πŸ’ͺ🏻✊🏻✊🏻




*Berita ibu membunuh anak dikutip dari
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/11/21/08372461/penyesalan-nw-ibu-yang-tega-bunuh-anaknya-karena-sering-ngompol
*Hadits dikutip dari https://rumaysho.com/16156-5-kiat-meredam-marah.html

No comments:

Post a Comment